Mohon tunggu...
Binti Munir
Binti Munir Mohon Tunggu... Guru - Guru dan penulis 45 antologi dan 3 buku solo

Penulis dengan nama Pena "Atiek Munir", yang memiliki hobi membaca, menulis, traveling dan memotret. Kadang bersemangat bila bertemu dengan orang-orang yg sefrekuensi. Kadang bisa bersemangat pula di saat sendirian.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ku Tunggu Kehadiranmu

2 Oktober 2024   12:02 Diperbarui: 2 Oktober 2024   12:05 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku adalah buah jambu air, buah yang saat dimakan keluar air. Orang Inggris menyebutnya Water Apple beda tipis ya tulisannya dengan buah apel yang orang Inggris menyebutnya aple. Hehehe...

Aku berwarna hijau dan rasanya manis. Maka dari itu banyak orang yang menyukaiku. Aku tumbuh di pekarangan rumah asri nan sederhana.

Berawal dari sebuah benih kemudian di semai dan di siram air, aku tumbuh dan berbunga. Aku ingat setiap pagi petaniku selalu mengucapkan bismillah dan sebelumnya mengucapkan salam kepadaku. 

Begitu rutin yang ia lakukan. Di pupuknya diriku hingga aku merasa begitu berharga sekali. Tak habis-habisnya aku bertasbih pada Rabbku.

Pagi itu turun hujan, tetesannya menyentuh daunku. Seketika aku  bermandikan air hujan Karena aku tersiram air hujan sore itu aku tak dimandikan oleh petaniku.

Aku tumbuh besar dan berbuah lebat. Aku yakin ini adalah keberkahan dari yang merawatku yang selalu melibatkan Rabbku saat menyirami ku.

Yang merawatku adalah seorang nak gadis yang manis dan baik hati. Ia adalah anak Sholihah yang berbakti pada ibunya. Sering ku lihat Ia mengajak ibunya jalan-jalan dengan kursi rodanya. Mungkin kedua kaki ibunya sakit hingga tak mampu berjalan.

Ketika buahku panen pun Ia tak segan-segan membagi-bagikan kepada para tetangga. Pernah suatu ketika petaniku terciduk olehku sedang membagikan buahku kepada pemulung. Baiknya petaniku.

Sore itu ketika aku tengah asyik bertasbih kepada Rabbku dari atas aku melihat di bawah kerumunan orang di pekarangan rumah petaniku. Ada apa gerangan? Aku mulai tak tenang. Angin menyampaikan salam lewat hembusannya. "Ayah dari petanimu meninggal mendadak," Ujarnya.

Aku termangu sesaat. Melihat ke bawah nampak petaniku menangis tersedu. Baru kali ini aku melihat petaniku menangis. Biasanya Ia selalu tersenyum manis. Tak pernah ada wajah duka di wajahnya.

Malam kian larut. Satu persatu tamu undangan tahlilan malam pertama pulang. Menyisakan duka petaniku yang amat dalam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun