Mohon tunggu...
Binti Novita Sari
Binti Novita Sari Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa IAIN Jember

Tidak bisa melaksanakan semuanya, tapi bukan berarti harus meninggalkan semuanya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Politik Hukum Islam

19 Desember 2021   10:32 Diperbarui: 19 Desember 2021   10:34 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Politik Hukum Islam

Oleh Naila Margaretha

S20191049

Semua manusia mempunyai keinginan atau hasrat dikala umur sudah mendekati remaja. Hal wajar tertanam pada diri tiap-tiap keinginan untuk berbahagia dengan pendamping nya. Tidak bisa dipungkiri bahwa kisah seperti ini sudah menjadi cerita saat nabi Adam dan hawa bertemu. Menjadi kisah antara dua insan saling mencari untuk saling melengkapi. Dari kisah zaman nabi sudah ada hal seperti itu dengan berjalan nya waktu dikala zaman serba elektronik pada saat ini.

Banyak insan yang saat ini digelapkan dengan adanya perkawinan muda dengan tidak adanya pemahaman dari lingkungan mereka. Perkawinan sudah menjadi hal Sunah untuk ada pada diri sendiri yang mana tujuan dari perkawinan untuk mengembangbiakkan kelanjutan generasi setelahnya. Paling utama adalah untuk melaksanakan ibadah yang mana untuk melaksanakan Sunnah Rasul dengan melengkapi iman. Garis besar pada perkawinan ini cakupannya umum karena perkawinan pada dasarnya dimiliki oleh berbagai macam jenis seperti hewan, manusia, tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya. Jika perkawinan menurut KHI adalah sebuah akad yang mana sangat mempunyai kekuatan besar dan kuat atau bisa disebut "misaqon gholidzon" untuk menaati dan melaksanakan perintah Allah sebagai ibdah.1

Karena itu manusia ciptaan yang sungguh luar biasa sampai pada saat ini makhluk Allah yang dikatakan paling sempurna. Maka dari itu manusia adalah manusia yang berakal yang mempunyai keinginan lebih dari pada makhluk Allah yang lainnya. Maka bagi manusia perkawinan merupakan hal yang perlu didahulukan guna untuk kelangsungan dan memperoleh momongan. Masyarakat pada umumnya ketika mereka lingkup hidup di sekelilingnya mendukung untuk melakukan pemahaman perkawinan secara tidak langsung lingkungan seperti itu menjadi pemicu utama akan hal perkawinan tersebut. Bisa dipengaruhi oleh lingkungan, pemahaman, pengetahuan atau kepercayaan dan keagamaan yang ada pada kepercayaan daerah tersebut.

Di negara Indonesia ketentuan terkait permasalahan perkawinan sudah mendapat pengaturan hukum secara nasional, ini juga menjadi bagian dari hukum positif itu sendiri. Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ini di resmikan sejak tanggal 2 Januari 1974 setelah di sahkan UU tersebut, kemudian pada tanggal 01 Oktober 1975 mulailah secara efektif bagi masyarakat Indonesia untuk menaati Undang-Undang tersebut. Dari berjalannya peraturan yang sedemikian rupa pasti banyak juga permasalahan yang ada pada masyarakat itu sendiri. Selanjutnya menuju soal permasalahan perkawinan. Dimana kasus atau jenis yang berkaitan dengan perkawinan semakin rumit, dan layak untuk diperbincangkan, karena masalah perkawinan ini berhubungan dengan kemaslahatan pasangan, juga perbuatan hukum yang menimbulkan sebab dan musabab. Salah satu adanya permasalahan yang wajib untuk di tindak lanjuti terkait perkawinan beda agama. Saat ini menjadi fenomena di Indonesia, entah dari kalangan artis, masyarakat awam dan makhluk insan lainnya.

Perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama ini dinamakan dengan "perkawinan beda agama". Bertemunya dua insan yang saling mempunyai tujuan baik untuk kelanjutan hidupnya. Merupakan ikatan lahir batin antara dua insan tersebut yang berbeda agama Negara menjadi bersatunya dua peraturan yang berlainan tentang asas-asas perkawinan, tata cara pelaksanaan hukum sesuai agama masing-masing. Dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia, kekal dan berdasarkan ketuhanan yang maha Esa.2

Tidak menutup kemungkinan di negara Indonesia yang notabene masyarakat nya adalah bukan menganut agama Islam saja. Perkawinan beda agama dan antar agama dan aliran kepercayaan akan terjadi. Misalnya kasus yang masih hangat yang terjadi di Jawa Tengah Sleman pada tahun 2019 Elizabeth (Kristen) Yudha (Islam) mereka sudah resmi menjadi suami istri pada 29 September 2019 lalu. Mereka yang awalnya berkeinginan untuk melegalkan perkawinan akhirnya proses yang dilakukan di Indonesia dengan cara legalitas. Prosesnya seperti di Indonesia ini pemerintah akan memberikan legalisasi dan akan di legalkan di Indonesia.

Demi mendapatkan legalitas, perkawinan di atas menggunakan dasar hukum Pasal 56 ayat (1) Undang-undang perkawinan, yang berbunyi:

"Perkawinan yang dilangsungkan di Negara negara Indonesia atau antara dua orang warga negara Indonesia dengan warga negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang ini".

Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Menurut Pasal 1 undang-undang ini, perkawinan diartikan sebagai suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.  Dari rumusan pasal 1 dijelaskan bahwa apa tujuan dan untuk apa tujuan perkawinan. Sehingga jelas bahwa perkawinan tidak lepas dari adanya tujuan perkawinan itu sendiri.

Terjadi pada permasalahan di atas tentang perkawinan ilegal dan atau bisa disebut dengan perkawinan beda agama sudah dijelaskan berdasar ketentuan pasalnya. Berdasar ketentuan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya". Dari rumusan pasal 2 ayat 1 tersebut menyatakan ketika perkawinan tersebut dilakukan dengan beda agama yaitu persyaratan atau sarat sah dari perkawinan tersebut sesuai ketentuan dari agama masing-masing.

Hazairin menafsirkan bahwa dengan demikian hukum yang berlaku menurut undang-undang ini pertama-tama adalah hukum masing-masing agama dan kepercayaan bagi masing-masing pemeluknya. Jadi bagi warganegara Indonesia yang beragama Islam apabila hendak melaksanakan perkawinan supaya sah harus memenuhi ketentuan-ketentuan tentang perkawinan yang telah diatur dalam Hukum Perkawinan Islam. Demikian juga bagi mereka yang beragama Kristen, Hindu, Budha dan yang lainnya, hukum agama merekalah yang menjadi dasar pelaksanaan yang menentukan sahnya perkawinan.

Dalam hal ketentuan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dijelaskan bahwa ketika kedua nya ingin melangsungkan perkawinan dengan sah apabila jika dari kedua agama nya sudah memenuhi persyaratan dan rukun nikah, ijab qobul apabila untuk agama Islam, atau atas persetujuan pendeta/pastur atau  telah melaksanakan ritual untuk agama non Islam lainnya, maka perkawinan tersebut di anggap sah ketika di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Artinya jika dianggap sah hanya melewati mata agama dan kepercayaan masyarakat perlu untuk diketahui bahwa juga adanya pencatatan perkawinan. Agar supaya pada saat ada permasalahan dengan pihak ketiga, mudah untuk ditemukan karena ada kepastian hukum dan bukti yang kuat. Selanjutnya agar lebih menjamin untuk ketertiban masyarakat. Agar ketentuan undang-undang yang tujuan nya membina perbaikan lebih efektif, menurut Sidus Syahar.

Mengupas soal pencatatan perkawinan di Indonesia sudah di jelaskan bahwa untuk agama Islam lembaga yang bertugas mencatat tersebut adalah kantor urusan agama (KUA) jika pencatatan perkawinan terhadap orang non Islam berada pada lembaga Kantor Catatan Sipil (KCS). Mengenai peristilahan dari catatan sipil sendiri bukanlah dimaksud sebagai suatu catatan dari orang-orang sipil atau golongan sipil sebagai lawan dari kata golongan militer, akan tetapi, catatan sipil itu merupakan suatu catatan yang menyangkut kedudukan hukum seseorang. Dan dilihat dari kelembagaan catatan sipil, lembaga ini tugas utamanya melakukan pencatatan sipil. Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, pencatatan sipil adalah pencatatan peristiwa penting yang dialami oleh seseorang dalam register pencatatan sipil pada instansi pelaksana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun