Mohon tunggu...
Bintan Nisrina Qatrunnada
Bintan Nisrina Qatrunnada Mohon Tunggu... Mahasiswa - Bintan Nisrina Qatrunnada Nurlliana

Lahir di Jakarta, 06 Desember 2001

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tuna Wisma

17 Januari 2022   22:34 Diperbarui: 17 Januari 2022   22:40 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Hawa dingin menyergap malam itu. Gumpalan kapas di langit seketika mengubah warna mereka menjadi hitam pekat. Sunyi, sesekali terdengar suara angin berlari sana -- sini. Seperti membawa berita, kawannya, hujan sebentar lagi akan datang.

            Aku duduk tergeletak di lantai, merenggut dengan keras kepala hingga beberapa helai rambutku rontok. "Kenapa begitu bising?" tidak ada suara namun pikiranku sesak. Lantas aku menjerit upaya memecah kebisingan, suara dari kepalaku hilang.

            9 Febuari 2021, sudah seminggu sejak kejadian itu. Kejadian yang memicu suara aneh di kepalaku. Tepatnya saat aku luntang -- lantung kehilangan rumah, bukan sebagai tempat tinggal namun, sebagai tempat "pulang". Namun kini yang tersisa hanya aku, dan penyesalan.

            Bicara tentang penyesalan, mungkin denganku tidak akan ada habisnya. Karena bagaimana cara menerima perasaan sedih ketika tahu yang terbaik dalam hidup ada di belakang kita? Yang akan keluar hanya kalimat "Seandainya waktu itu ...".

            Tapi kadang kala aku berfikir, bahwa aku tidak mendapat keadilan. Bagaimana mungkin suatu kesalahan divonis dalam waktu tiga hari. Mengabaikan perjuanganku dalam  19 bulan terakhir. Lupa bahwa aku pernah dipaksa menenggak obat setiap hari, menghamburkan puluhan juta untuk pengobatan agar aku bisa bertahan di "rumah" itu. Dan lupa bahwa aku datang dengan tujuan besar. Membawa harapan orangtuaku, harapan mereka yang mengenalku.

            Namun apa daya ketika nasi sudah menjadi bubur? Ratusan pembelaan yang keluar dari mulutku dibungkamkan dengan secarik kertas bertanda tangan. Kuingat saat itu seorang berbisik kepadaku "Jika jatuh pada lubang yang sama, maka kau tak ada bedanya dengan keledai. Bodoh, karena tidak dapat menghindari lubang yang pernah kau jatuh didalamnya. Bahkan keledai tidak sebodoh itu".

            Tapi bagaimana ketika memang aku lebih buruk daripada keledai? Karena saat itu seperti berdiri di ujung tebing atau gedung yang tinggi, banyak orang yang takut akan berdiri disana. Tapi ketika kamu melihat ke bawah, ketinggian itu sangat menggairah, angin merayu setiap langkah untuk terus maju dan terjatuh. Diriku tahu bahwa aku akan melangkah maju dan terjatuh. Tanpa sayap, tanpa pengaman.

Didepan tidak ada jalur keluar. Ingin sekali melangkah mundur tapi bisikan angin tersebut mendorongku untuk terus, melangkah lagi. Berharap kepakan sayapku dapat bangun di tempat lain. Memang pemikiran yang lebih bodoh daripada keledai. Tapi apakah kamu pernah merasakan hal seperti itu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun