Oleh: Bintang Rizki Sakinah ~
           Otonomi daerah dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan pemerintahan. Dengan otonomi daerah pengambilan keputusan lebih dekat kepada rakyat yang dilayani. Rentang kendali pemerintahan menjadi lebih dekat, sehingga pemerintahan dapat lebih responsif terhadap kebutuhan, potensi dan kapasitas daerah yang spesifik, dengan begitu diharapkan pelayanan masyarakat akan lebih baik karena dengan otonomi daerah, daerah dapat lebih mengetahui kebutuhan dan prioritas keinginan rakyat di daerahnya.
Undang-undang otonomi daerah baik pada UU Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 89 dan sebagai penggantinya UU Nomor 32 Tahun 2004 masih banyak mengandung kelemahan yang akhirnya banyak menimbulkan persolan perselisihan antardaerah, terlebih khusus lagi menimbulkan persoalan batas wilayah.
Dengan demikian tentu diperlukan produk hukum yang mampu untuk memberikan jawaban serta mampu mencegah munculnya perselisihan antar daerah dalam hal ini penulis lebih cenderung dalam bentuk undang-undang ketimbang produk hukum di bawah undang karena persoalan batas wilayah yang muncul sering menimbulkan banyak persolan seperti politik, ekonomi, budaya, agama, ras dan lain sebagainya.
Penyebab Terjadinya Konflik
Peristiwa kecil dapat berujung pada pertikaian besar karena ketidakmampuan masyarakat menggunakan kearifan lokal masing-masing untuk mencegahnya: Kedua belah pihak tidak mampu mencegah masalah pribadi yang diangkat menjadi masalah kelompok, sebaliknya tidak juga mereka mampu menurunkan masalah kelompok menjadi masalah pribadi. Untuk mengatasi hal tersebut, kearifan lokal dan pendidikan budi pekerti perlu diperhatikan masing-masing pihak, disamping itu ketegasan pihak berwajib yang tidak berpihak sangat diperlukan.
Tindakan atau cara-cara bertindak yang bijaksana (code of conduct) sangat diperlukan. Contoh konkrit dari code of conduct adalah beberapa orang anggota kelompok etnis O (A,C,D, dan E) melakukan tindakan merugikan/melukai beberapa anggota kelompok etnis B (G,H dan I). Agar tindakan itu tidak meluas menjadi pertikaian etnis, L tokoh.pemimpin kelompok etnis B melaporkan A, C, D, dan E yang melakukan tindakan itu, kepada Polisi, dan segera memberitahukan pula kepada Z, pemimpin.tokoh etnis B bekerjasama dengan Z berusaha menyelesaikan persoalan itu dengan menyerahkan persoalan itu kepada Polisi. Cara bertindak code of conduct, sebagai cara yang tidak menaikkan/mengangkat masalah pribadi menjadi masalah kelompok dilengkapi dengan wawasan pendidikan standar. Sepanjang 15 pertikaian 1960-an dan 1990-an cara-cara seperti itu telah dilakukan oleh sebagian kecil para tokoh dari pihak terkait dalam lingkungan kecil (RT, dusun dan tetangga), tetapi tidak dilakukan secara menyeluruh oleh tokoh/pemimpin dari pihak yang bersangkutan dalam skala kecamatan, kabupaten dan provinsi. Karena itu, kemungkinan pertikaian di masa depan mungkin saja terjadi lagi.[1]
Sejak berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999, Indonesia sering disebut dalam era otonomi daerah. Daerah otonom diberi kewenangan dengan prinsip luas, nyata dan bertanggung jawab. Daerah melaksanakan kewenangan masing-masing dalam lingkup batas daerah yang ditentukan, artinya kewenangan suatu daerah pada dasarnya tidak boleh melampaui batas daerah yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Apabila batas daerah tidak jelas akan menyebabkan dua kemungkinan akibat negatif yaitu :
1.     Suatu bagian wilayah dapat diabaikan oleh masing-masing daerah karena merasa itu bukan daerahnya atau dengan kata lain masing-masing daerah saling melempar tanggung jawab dalam menyelenggarakan pemerintahan, pelayanan masyarakat maupun pembangunan di bagian wilayah tersebut.
2.     Daerah yang satu dapat dianggap melampaui batas kewenangan daerah yang lain sehingga berpotensi timbulnya konflik antardaerah.
Faktor strategis lainnya yang menyebabkan batas daerah menjadi sangat penting adalah karena batas daerah mempengaruhi luas wilayah daerah yang merupakan salah satu unsur dalam perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) dan bagi hasil sumber daya alam (SDA). Kekaburan batas daerah juga dapat menimbulkan dampak negatif yang lebih luas lagi dari sekedar potensi konflik antardaerah karena potensi strategis dan ekonomis suatu bagian wilayah, seperti dampak pada kehidupan sosial dan penyelenggaraan administrasi pemerintahan bahkan mungkin juga menimbulkan dampak politis khususnya di daerah-daerah perbatasan. Era otonomi dimulai sejak berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Hal itu ditandai dengan pelaksanaan asas desentralisasi yang dilaksanakan dengan pemberian otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah. Prinsip tersebut sangat berbeda dengan pelaksanaan asas desentralisasi sebelumnya dengan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab saja (UU Nomor 5 Tahun 1974), sehingga masih terkesan sentralistis.