Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa untuk menyelenggarakan otonomi diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri, yang didukung oleh perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah dan juga disebutkan disebutkan bahwa penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah. Semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah. Sumber keuangan tersebut antara lain berupa:
1.     Pendanaan dari Pemerintah sesuai dengan urusan pemerintah yang diserahkan.
2.     Kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi daerah.
3.     Bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional di daerah, dan dana perimbangan lainnya.
Sumber keuangan lainnya adalah pendapatan asli daerah (PAD) adalah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 2004 yaitu merupakan bagian dari pendapatan daerah yang menjadi penunjang pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Menurut UU tersebut pendapatan daerah merupakan semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Pendapatan daerah terdiri dari PAD, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah (hibah atau dana darurat dari Pemerintah).
Pendapatan asli daerah sendiri terdiri atas hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan (antara lain bagian laba dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau hasil kerjasama dengan pihak ketiga), serta lain-lain PAD yang sah (antara lain: penerimaan daerah di luar pajak dan retribusi daerah seperti jasa giro, hasil penjualan aset daerah). Adapun komponen PAD yang dekat dengan permasalahan ini yaitu perolehan pajak daerah, retribusi daerah dan juga hasil kerjasama dengan pihak ketiga.
Munculnya konflik atau benturan kepentingan antardaerah, pada dasarnya merupakan refleksi dari kesalahpahaman, kegamangan, dan egoisme daerah dalam melaksanakan otonomi. Otonomi sering dipersepsikan lebih dari sekedar dapat mengatur rumah tangganya sendiri, namun hingga tidak mau dicampuri oleh pihak lain walaupun dalam konteks koordinasi dan sinkronisasi. Peningkatan daya saing daerah yang diamanatkan Undang-undang lebih dipersepsikan secara negatif, sehingga daerah enggan menjalin sinkronisasi antardaerah.
Batas wilayah daerah seringkali menjadi pemicu konflik antar pemerintah daerah yang saling bertetangga ke Pemerintah Pusat. Konflik dalam penegasan batas daerah yang dimaksud merupakan konflik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang melibatkan dua pihak lembaga pemerintahan daerah. Pentingnya batas wilayah daerah otonom yang tegas adalah demi:
1.     kejelasan cakupan wilayah dalam pengelolaan kewenangan administrasi pemerintahan daerah.
2.     menghindari tumpang tindih tata ruang daerah.
3.     efisiensi – efektivitas pelayanan publik.