Mohon tunggu...
Bintang Putera
Bintang Putera Mohon Tunggu... -

Pengamat budaya, pecinta filsafat dan aktivis hak anak dan anti perdagangan manusia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apakah karena Ini Presiden RI Mendapat Penghargaan?

24 Mei 2013   12:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:06 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah presiden Republik Indonesia paling berprestasi sejauh ini. Seperti yang ditulis oleh Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat (AS), Dr. Dino Patti Djalal, Presiden SBY sebelumnya telah menerima penghargaan dari “UNEP, ILO, World Movement for Democracy, US-ASEAN Business Council, WWF/WRI/TNC, dan lain-lain.”

Namun yang dimaksud dengan “PENGHARGAAN” di atas bukan salah satu dari penghargaan-penghargaan “sebelumnya” itu. Yang dimaksud adalah World Statesman Award 2013 (penganugerahan negarawan dunia) yang akhir-akhir ini begitu santer dibicarakan di virtual social network.

Jangan dulu berkesimpulan.

Masyarakat Indonesia, atau lebih tepat beberapa warga negara Indonesia, bukannya senang karena pemimpin negara mereka mendapat penghargaan.

Beberapa warga Indonesia justru begitu semangat mengritik (atau menasihati) organisasi Appeal for Conscience Foundation (ACF) yang berbasis di New York, AS, karena telah menetapkan bahwa Presiden Indonesia layak menerima penghargaan – meminjam bahasa Sindonews.com – “[a]tas jasa-jasanya dalam meningkatkan perdamaian, toleransi beragama dan menyelesaikan konflik antaretnik.”

Menurut sejumlah orang, penghargaan ini bertentangan dengan realita lapangan yang menunjukkan kekacauan, pelarangan dan perombakan rumah ibadah, dan konflik antar kelompok yang terus mewarnai stasiun TV beberapa politikus yang siap mencalonkan diri di 2014 nanti.

Tak kurang dari Romo Magnis Suseno SJ, seorang teolog, filsuf, tokoh yang disegani di lingkungan Gereja Roma Katolik dan dikagumi oleh masyarakat Indonesia (paling tidak berbicara atas nama diri sendiri), yang mengirimkan surat terbuka kepada ACF dengan nada kecaman sekaligus daftar peristiwa menyakitkan di negara yang menganut Pancasila ini.

Tapi sepertinya penilaian ACF tidak didasarkan pada rentetan kejadian tragis yang menunjukkan wajah Indonesia yang tak elok, atau jikalau bisa diterima, yang masih sedang tumbuh dalam pendidikan karakter budaya sebuah negara-bangsa yang menaungi bangsa-bangsa ini.

Dalam perayaan Natal Nasional umat Kristiani tahun lalu (2012) yang diselenggarakan di Jakarta Convention Center (Jumat, 27/12), presiden ke-6 Indonesia yang dipercayakan menjadi "Ketua Bersama High Level Panel yang ditunjuk Sekjen PBB untuk merumuskan arah pembangunan dunia pasca-MDG" (Millennium Development Goal) ini mengatakan demikian:

Di tengah-tengah hadirnya tantangan untuk mewujudkan kehidupan antarumat beragama yang rukun dan damai, kita perlu terus meneguhkan semangat yang dimiliki Bangsa Indonesia untuk mengelola perbedaan, berdasarkan prinsip Bhineka Tunggal Ika. Berbeda-beda namun satu jua. (Antaranews.com.)

Apakah ungkapan Presiden RI waktu Natal lalu ini yang menjadi dasar penilaian ACF?

Ataukah karena Ambon telah kembali ke pela-gandong-nya (terima kasih pada Gubernur Sarundajang), Poso terkendali, Papua memberi harapan, Aceh terintegrasi, dan transformasi Indonesia dari (meminjam ungkapan Dubes), negara terpuruk (messy state) … berubah menjadi negara yang disegani, sebagai anggota G-20; "major democracy" [negara demokrasi besar], "emerging economy" [ekonomi yang sedang tumbuh], "pivotal state" [negara penting], "next Asian giant" [raksasa Asia berikutnya],” “environmental power” [kekuatan lingkungan hidup], dan lain sebagainya.”

Tapi kalau pun ini semua masuk sebagai point pemberian penghargaan ini (ini semua menjadi spekulasi karena ACF tidak merinci faktor-faktor atau penilaian untuk pemberian penghargaan ini), bagaimana dengan faktor-faktor atau penilaian dari Romo Magnis misalnya, sekalipun dengan segala hormat beliau keliru menuliskan

Apakah Anda tidak tahu bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama masa pemerintahannya yang sekarang ini telah berusia 8 ½ tahun tidak pernah sekali mengatakan kepada masyarakat Indonesia, bahwa mereka harus menghormati kelompok minoritasnya (Forumkeadilan.com, terjemahan saya)?

[Di sini saya lebih senang mengikuti pemikiran Gubernur Sarundajang, bahwa “[s]ejak dulu para founding fathers … mengakui adanya kelompok Mayoritas dan [k]elompok Minoritas, tetapi sejak lahirnya bangsa ini para founding fathers juga telah membuang jauh-jauh adagium 'Diktator Mayoritas dan Tirani Minoritas'.” [Rhemamanado.com]]

Pada akhirnya saya harus mengakui bahwa upaya untuk menjawab pertanyaan “Apakah karena ini Presiden RI mendapat penghargaan?” menghadapi jalan buntu, dan kita semua harus diizinkan untuk bisa mengekspresikan kegalauan, rasa frustrasi, dan keprihatinan atas masalah-masalah dan konflik antar umat beragama yang memiriskan hati (sambil terus melebarkan ruang dialog dan relasi antarumat beragama, supaya kita dapat mencegah intervensi negara yang terlalu dekat terhadap soal-soal keberagamaan kita).

Termasuk untuk merasa gerah ketika politikus memainkan anjing hitamnya di bumi Indonesia tercinta.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun