Sudah dua tahun setelah diberlakukan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11% pada tahun 2022 lalu, muncul rencana kenaikan PPN menjadi 12% di akhir tahun 2024 ini. Hal ini menimbulkan banyak kontroversi publik yang merasa bahwa kebijakan ini cukup memberatkan, terutama di tengah kondisi ekonomi yang sedang sulit. Dikutip dari situs media Tempo.co, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menyatakan, langkah pemerintah dalam menaikkan PPN ini tidak serampangan. Keputusan ini diambil demi meningkatnya pendapatan negara, mengurangi ketergantungan terhadap utang, dan menyesuaikan tarif pajak dengan standar internasional. Menteri Keungan, Sri Mulyani, juga menjelaskan bahwa kenaikan tarif PPN ini sudah sesuai dengan aturan yang tercantum dalam Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 7 tahun 2021.
Kritik Terhadap Kenaikan PPN
Berbagai kritik terkait kebijakan inipun bermunculan, para pakar ekonomi memaparkan ancaman yang dapat terjadi dari kenaikan PPN di tengah perlambatan ekonomi. Salah satunya Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listyanto, mengatakan bahwa ancaman turunnya pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh kenaikan PPN menjadi 12% adalah nyata adanya. Kenaikan PPN yang dilakukan dengan tanpa memedulikan keadaan ekonomi di lapangan akan semakin menekan daya beli dan konsumsi masyarakat kelas menengah.Â
Peneliti Indef lainnya, Ahmad Heri Firdaus juga turut menyampaikan keresahannya terkait dampak kenaikan PPN. Ia mengungkapkan dampak berantai yang dapat terjadi dari sektor industri, dimulai dari biaya produksi yang meningkat. Industri membeli bahan baku kemudian diolah menjadi barang setengah jadi, prosesnya ini mendapat PPN. Lalu ketika barang tersebut dibeli oleh industri lain atau sampai pada konsumen akhir dikenakan PPN juga yang berimbas pada kenaikan harga.
Selain itu, bahkan kritik dari kalangan pengusaha pun muncul. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Adhi S Lukman, mengatakan, sektor usahanya yaitu makanan dan minuman akan menjadi salah satu yang terkena imbasnya. Ia berharap pemerintah mengkaji kembali kebijakan ini, menurutnya dengan meningkatnya tarif PPN walau hanya 1 persen, akan terasa sangat berat sekali, terlebih untuk kebutuhan pangan.
Rencana kebijakan pemerintah dalam menaikkan PPN menjadi 12% berdasarkan apa yang dijelaskan, telah menuai ragam kontroversi terkait kehadirannya. Meskipun begitu, pemerintah mengeklaim bahwa kebijakan tersebut telah dipertimbangkan dengan hati-hati dan sesuai dengan regulasi yang ada. Namun, pernyataan tersebut menggambarkan bahwa pertimbangan dalam rencana kenaikan PPN dilakukan menggunakan kacamata kuda tanpa memperhatikan realitas ekonomi yang terjadi saat ini. Pemerintah seolah-olah dikejar setoran untuk mencapai target penerimaan pajak dengan standar internasional tanpa memedulikan kondisi masyarakat yang sedang sulit. Studi yang dilakukan oleh Feb & Dunci (2023) menunjukkan bahwa pada kenaikan PPN sebelumnya dari 10% menjadi 11%, telah memberi dampak signifikan terhadap daya beli masyarakat yang memiliki tingkat pendapatan rendah sebesar 34,4%.Â
Saya rasa masyarakat Indonesia pun tidak merasakan timbal balik yang cukup signifikan dari pajak yang mereka bayarkan. Beberapa diantaranya adalah kualitas layanan publik yang masih kurang, transportasi publik yang belum baik, kualitas pendidikan belum merata, sulitnya akses terhadap air bersih dan permasalahan-permasalahan lainnya.
Pendekatan Keynesian Terhadap kenaikan PPNÂ
Fenomena ini dapat dikaji dengan pendekatan ekonomi politik keynesian, dimana pemerintah memiliki kuasa dalam kebijakan ekonomi negaranya, dalam hal ini menaikkan pajak. Ekonomi politik Keynesian adalah sebuah pendekatan dalam ilmu ekonomi yang diperkenalkan oleh John Maynard Keynes. Pendekatan ini mengkritik gagasan pasar yang mampu mengatur dirinya sendiri, seperti yang dianut oleh para pemikir klasik dan neoklasik sebelumnya. Teori ekonomi politik Keynesian menekankan pentingnya peran pemerintah dalam mengelola perekonomian guna mencapai tujuan tertentu, seperti mengatasi resesi dan menekan angka pengangguran (Purba et al., 2024). Dalam hal ini pemerintah Indonesia melakukannya untuk mengurangi ketergantungan terhadap utang, menaikkan pendapatan, dan menyesuaikan dengan standar internasional.
Keynesianisme menekankan beberapa konsep utama, seperti keseimbangan (equilibrium), persaingan (competition), uang (money), ekspektasi (expectation), dan likuiditas (liquidity). Teori Keynesian menjelaskan bahwa siklus bisnis cenderung berfluktuasi antara periode ekspansi dan kontraksi. Pada fase resesi, terjadi penurunan permintaan, sehingga pemerintah diharapkan mengambil langkah-langkah untuk mendorong permintaan dan memulihkan pertumbuhan ekonomi (Purba et al., 2024). Tiga bentuk penerapan teori Keynes yang dijadikan kebijakan oleh pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi adalah kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan pengawasan langsung (Sukirno, 2016). Menaikkan tarif pajak, dalam hal ini yaitu PPN, merupakan kebijakan fiskal yang dapat menekan inflasi sebagaimana mestinya. Pajak kemudian dialokasikan untuk mendanai kebutuhan pembangunan dan penyerapan tenaga kerja (Purba et al., 2024).
Dampak Terhadap Daya Beli Masyarakat
Namun, Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% diprediksi akan memberikan tekanan tambahan terhadap daya beli masyarakat, khususnya kelompok menengah ke bawah. Dalam konteks ekonomi Indonesia, konsumsi rumah tangga merupakan salah satu pilar utama pertumbuhan ekonomi yang berkontribusi sebesar 51% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan kenaikan PPN, harga barang dan jasa akan meningkat, yang secara langsung mengurangi kemampuan masyarakat untuk membeli kebutuhan pokok maupun barang sekunder (Helmizar et al., 2022)Â
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga di Indonesia mengalami perlambatan pertumbuhan sejak pandemi COVID-19, dan meskipun telah ada pemulihan, daya beli sebagian besar masyarakat masih belum kembali ke tingkat sebelum pandemi. Kenaikan PPN, meskipun terlihat kecil secara persentase, akan berdampak besar pada pengeluaran rumah tangga, terutama untuk kebutuhan esensial seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan. Hal ini karena barang-barang tersebut mendominasi alokasi anggaran sebagian besar keluarga di Indonesia.
Sebagai contoh, sebuah keluarga dengan pendapatan Rp5 juta per bulan yang sebelumnya mengalokasikan sekitar Rp3 juta untuk kebutuhan sehari-hari, kini harus membayar tambahan pajak sekitar Rp30 ribu untuk belanja dengan nilai yang sama. Jumlah ini mungkin terlihat kecil untuk kalangan menengah ke atas, tetapi untuk keluarga berpenghasilan rendah, kenaikan ini dapat berarti pengurangan akses terhadap barang lain, seperti tabungan pendidikan atau biaya kesehatan.
Selain itu, kelompok masyarakat yang rentan seperti buruh informal, petani, dan nelayan, yang pendapatannya tidak stabil, akan merasakan beban yang lebih besar. Ketika harga barang meningkat, mereka tidak memiliki fleksibilitas pendapatan untuk menutupi selisih tersebut, yang berpotensi memperbesar tingkat kemiskinan dan ketimpangan ekonomi.
Perbandingan dengan Negara-negara ASEAN
Menurut Ferdian (2021), tarif PPN di Indonesia saat ini masih relatif rendah dibandingkan dengan banyak negara lain. Namun, jika dilihat di kawasan Asia Tenggara, tarif tersebut tergolong cukup tinggi, berada di bawah Filipina yang menetapkan tarif sebesar 12%. Dengan rencana kenaikan tarif menjadi 12%, Indonesia akan menyamai Filipina.Â
Berdasarkan data tersebut, jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, terlihat jelas bahwa tarif PPN Indonesia relatif lebih tinggi. Dimana Timor Leste 2,5%, Myanmar 5%, Laos & Thailand 7%, Singapura 9%, Kamboja, Malaysia, dan Vietnam sebesar 10%.
Persepsi Masyarakat Terhadap Kenaikan PPN
Topik kenaikan tarif PPN tengah ramai diperbincangkan di media sosial, khususnya pada aplikasi X/Twitter. Berbagai opini publik muncul dengan dipenuhi pendapat kontra terhadap kebijakan tersebut. Bahkan, tagar-tagar provokatif seperti #TolakPPN12Persen dan #PPNmemperkuatOligarki sempat menjadi trending topic. Meskipun demikian, muncul juga tagar tandingan yang mendukung kenaikan PPN seperti tagar #PPNMemperkuatEkonomi. Tagar tersebut kemudian diduga berasal dari gerakan yang dibuat oleh buzzer pemerintah.Â
Hal ini menunjukkan, besarnya animo publik terhadap penolakan kebijakan kenaikan PPN memang sangat besar. Maka pemerintah panik dan memerlukan opini tandingan agar rencana pengimplementasian kebijakannya dapat terlaksana dengan lancar.Â
Ditambah dengan isu skandal instansi kepolisian yang sedang ramai-ramainya dihujat karena ulahnya belakangan, memperkuat alasan masyarakat untuk menolak kebijakan ini. Hal ini disebabkan oleh persepsi bahwa pajak yang dibayarkan akan dialokasikan juga kepada instansi kepolisian yang menggunakan senjata api untuk membunuh rakyat yang tidak bersalah. Sebagaimana belakangan diketahui, kasus polisi membunuh siswa SMA dengan berdalih memisahkan tawuran, padahal hal itu tidak pernah terjadi. Selain itu kasus polisi menembak seseorang yang diduga pencuri di depan anak dan istrinya, semakin menambahkan keresahan masyarakat bahwa senjata api yang polisi pegang, yang dibeli dari hasil setoran pajak kepada APBN, telah disalahgunakan sebagai senjata pembunuh manusia dengan sewenang-wenang.Â
Penutup
Kebijakan menaikkan PPN menjadi 12% menimbulkan pertanyaan mengenai kesesuaiannya dengan prinsip ekonomi Keynesian, yang menekankan pentingnya peran pemerintah dalam mendorong aktivitas ekonomi, khususnya saat terjadi perlambatan. Menurut teori Keynesian, pemerintah seharusnya menerapkan kebijakan fiskal ekspansif, seperti meningkatkan pengeluaran dan mengurangi pajak, guna mendorong konsumsi masyarakat dan investasi. Â
Namun, kenaikan PPN ini justru dapat melemahkan daya beli masyarakat dan mengurangi konsumsi rumah tangga, yang merupakan kontributor utama dalam Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Langkah ini bisa dianggap tidak sejalan dengan prinsip Keynesian, yang berfokus pada peningkatan aktivitas ekonomi melalui pengeluaran pemerintah daripada membebani masyarakat dengan pajak yang lebih tinggi. Â
Di sisi lain, pemerintah berpendapat bahwa kenaikan tarif ini diperlukan untuk mengurangi ketergantungan pada utang dan meningkatkan pendapatan negara. Namun, langkah tersebut berpotensi menimbulkan efek sebaliknya jika masyarakat mengurangi pengeluarannya akibat kenaikan harga barang dan jasa, sehingga memperburuk perlambatan ekonomi. Dalam pandangan Keynesian, kebijakan ini dinilai kurang tepat karena seharusnya fokus pemerintah adalah mendorong konsumsi dan investasi agar perekonomian tetap bergerak, bukan menambah beban pajak.
Keberhasilan pendekatan Keynesian juga bergantung pada bagaimana pemerintah mengalokasikan hasil dari kenaikan pajak. Jika pendapatan tambahan ini tidak dimanfaatkan untuk sektor produktif seperti infrastruktur, pendidikan, atau kesehatan, maka kebijakan ini akan semakin sulit untuk dibenarkan dari perspektif Keynesian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H