Label yang diberikan oleh masyarakat kepada aktor dapat mengubah pandangan aktor akan perilakunya, yang awalnya wajar menjadi tidak wajar. Mereka yang di cap sebagai anak jurusan A dengan karakteristik tertentu lama kelamaan akan bersikap seperti cap itu sendiri.Â
Meski pada kenyataannya sikap asli mereka tidaklah seperti itu. Begitu pula anak yang sudah diberi doktrin bahwa siswa jurusan A anaknya seperti ini jurusan B anaknya seperti itu. Hal ini akan mempengaruhi pola pikirnya dan munculah generasi diskriminatif jurusan yang baru.Â
Tidak hanya dari masyarakat, diskriminasi ini juga terlihat dari pemerintahan sendiri. Jurusan IPA selalu lebih banyak dibandingkan IPS dan Bahasa merupakan jurusan dengan kelas paling sedikit. Dari 116 SMA di Jakarta, hanya 14 sekolah yang membuka kelas bahasa.Â
Jika anda ingin melihat lagi contoh kasusnya, cobalah ketikan nama Nosa Sandi Prasetyo. Seorang anak jenius yang berhasil meretas sistem keamanan Google dan mendapatkan reward sebesar USD 7,500,00. Ironisnya, Nosa tidak dapat masuk ke jurusan Teknik Informatika di PTN seperti yang dia ingikan karena ia berasal dari jurusan IPS. Akhirnya ia meneruskan studinya ke universitas swasta.
Hal ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat. Diskriminasi dan stigma buruk masyarakat akan terus tumbuh jika tidak ada upaya menghentikannya. Korban dari masalah ini adalah para anak sendiri.Â
Mereka dipaksa menjadi apa yang bukan mereka inginkan. Bidang keilmuan Indonesia tidak akan berkembang secara merata jika hanya satu bidang yang dikembangkan dan dihebatkan.Â
Untuk memperbaikin sistem penjurusan dalam pendidikan ini kita dapat mencontoh Finlandia. Negara dengan sistem pendidikan paling maju di dunia. Mereka tidak menggunakan sistem penjurusan. Selama 9 tahun di sekolah dasar mereka tidak mendapatkan ujian.Â
Hanya satu kali ketika mereka berumur 16 tahun. Finlandia menyerahkan pengaturan kurikulum sepenuhnya ke guru. Oleh karena itu guru di Finlandia harus memiliki gelar minimal S2. Tidak ada kelas reguler maupun spesial. Semua anak memiliki kesempatan yang setara.
Jika Indonesia mampu menciptakan penyetaraan ini maka semua pandangan negatif masyarakat akan sirna. Sistem pendidikan Indonesia akan berubah menjadi lebih baik dan masalah yang selama ini terjadi dapat terselesaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H