Wabah pandemi Covid-19 yang di hadapi masyarakat global telah memaksa iklim dan perubahan di segala bidang, mulai dari ekonomi, politik, pendidikan sampai pada tatanan sosial masyarakat paling bawah, Â Indonesia sendiri sedang mengalami hal serupa, dengan segala ketidakpastian, Covid-19 hadir seperti hujan tanpa awan, sehingga negara kelimpungan menanganinya, ini berlaku umum, dan di rasakan semua negara-negara di dunia.
Seperti yang terlihat dari tarik ulur kebijakan pemerintah kita, mulai dari Pemberlakuan Pembatasan Berskala Besar (PSBB) oleh pemerintah pusat di daerah-daerah yang kurva peningkatan positif Covid-19 yang tidak terencana dengan baik, sampai penerapan kebijakan New Normal yang tidak efektif dan bahkan  menimbulkan polemik baru di tengah masyarakat, menjadi catatan lain yang mengiringi langkah bangsa menghadapi masa krisis.
Memang harus di pahami, dalam masa krisis, tidak ada kebijakan yang baik, apalagi di sebut kebijakan paling baik, kebijakan dan langkah-langkah yang di ambil oleh pemerintah adalah kebijakan yang buruk dari yang buruk, artinya semua tidak dapat di ukur keberhasilannya seketika, yang di perlukan adalah tanggap dan kecepatan eksekusi, apabila tidak sesuai maka akan di evaluasi secepatnya, begitulah seterusnya, dan hal demikian hampir di lakukan oleh semua negara di dunia dalam menghadapi krisis seperti saat ini, ada yang berhasil dan ada yang tidak berhasil.
Amerika Serikat misalnya, yang kita kenal sebagai negara maju di dunia, menjadi kiblat negara-negara berkembang sekaligus sebagai tempat belajar, namun dalam menghadapi Covid-19, Amerika Serikat justru menjadi salah satu negara dengan penanganan Covid-19 terburuk di dunia, sampai presiden Donald Trump menyalahkan dan mengkambing hitamkan organisasi kesehatan dunia World Health Organization (WHO) karena lamban memberi peringatan bahaya Covid-19, sekaligus untuk menutupi ketidakmampuannya dalam menangani wabah Covid-19.
Dampak Covid-19 memang luar biasa, dan dirasakan betul oleh bangsa ini, membuat para pelaku kebijakan dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah mulai sadar, membuka mata, merefleksikan tentang vitalnya penguatan sektor kesehatan, dan di tengah geliat Covid-19 yang tak berujung, isu penguatan sektor kesehatan pun kembali menyeruak ke publik, kembali di gaungkan oleh semua pihak, mulai dari presiden Jokowi, politikus, akademisi sampai pegiat media sosial menyuarakan hal yang sama.
Dan yang menarik isu yang berkembang sejauh ini adalah, pemerintah pusat dan semua pihak justru menyoroti spesifik penguatan kesehatan skala prioritas, yaitu penguatan instansi pusat kesehatan masyarakat (PUSKESMAS) yang memiliki peran penting dalam mempelopori peningkatan derajat kesehatan masyarakat, karena keberadaannya yang tersebar dan menyentuh kesehatan dasar masyarakat hingga ke sudut negeri.
Pertanyaan menggelitikpun bermunculan, kenapa baru sekarang Puskesmas kembali di soroti ? tentu setelah pemerintah merasa kewalahan menghadapi Covid-19, sektor kesehatan negeri ini sangat rapuh, meskipun selama ini penguatan puskesmas terus di tingkatkan, dengan pemenuhan ketenagaan setiap tahun, penyaluran anggaran Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang besar dan sebagainya.
Misalnya di era presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menempatkan tenaga dokter dan bidan di puskesmas seluruh Indonesia untuk menanggulangi kematian ibu dan anak yang tinggi saat itu, dan kebijakan yang sama di lakukan oleh presiden Jokowi saat ini dengan menempatkan 9 (sembilan) profesi kesehatan di daerah terpencil dan sangat terpencil di seluruh Indonesia, mulai dari profesi farmasi, dokter, dokter gigi, perawat, Kesehatan lingkungan, promosi kesehatan, Gizi, Bidan dan Analis teknik laboratorium medik yang terhimpun dalam program Nusantara Sehat kementerian kesehatan.
Belum sampai di situ, setiap daerah, dalam hal ini provinsi, kabupaten dan kota juga memberlakukan lebijakan kontrak daerah, menempatkan tenaga-tenaga kesehatan di setiap puskesmas dalam pemenuhan ketenagaan dengan aturan dan kebijakan daerah sendiri yang di biayai dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), artinya penguatan sektor kesehatan setiap waktu terus berbenah.
Apakah cukup ? Tentu tidak, penguatan sektor kesehatan sejauh ini, seperti pribahasa "Jauh panggang dari pada api", masih nampak kekurangan dimana-mana, begitu banyak pekerjaan rumah pemerintah yang harus di tuntaskan di bidang kesehatan secara menyeluruh, terkhusus penguatan puskesmas yang menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan standar bagi masyarakat.
Penegasan penguatan sektor kesehatan sebagai prioritas pernah di sampaikan oleh presiden Joko Widodo pada saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (MUSREMBANGNAS) pada hari Kamis (30/04/2020) lalu melalui video Converence dari istana merdeka yang tersambung langsung dengan pejabat kementerian sampai para gubernur, bupati dan walikota seluruh Indonesia.
Presiden spesifik menyoroti beberapa hal, mulai dari bahan baku farmasi yang sampai saat ini 95% masih di impor, fasilitas rumah sakit (Puskesmas) yang masih kurang, alat-alat kesehatan yang terbatas, jumlah rasio ketenagaan seperti dokter, perawat, ahli tenaga medik laboratorium dan tenaga kesehatan lain yang sangat kurang (tidak merata) yang jumlahnya tidak sebanding dengan populasi penduduk, menjadi perhatian serius pemerintah kedepan.
Sejauh ini reaksi masyarakat, terutama pegiat media sosial sangat beragam dalam menanggapi pernyataan presiden Jokowi terkait penguatan sektor kesehatan, banyak opini yang bersilewaran, ada yang sinis, pesimis  namun tidak sedikit yang optimis, dan hal ini sah-sah saja, bahkan sebuah kewajaran dimana peran puskesmas yang sedikit terabaikan selama ini, misalnya pemenuhan ketenagaan yang tidak merata, fasilitas serta alat-alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan bahkan ada puskesmas yang sama sekali tidak memiliki alat pemeriksaan laboratorium, ambulance dan sebagainya.
Dan yang terbaru isu penguatan puskesmas kembali di suarakan oleh pihak istana dan elit politik di acara Mata Najwa beberapa waktu lalu (02/07/2020) yang di hadiri oleh politisi wakil ketua umum partai Gelora Fahri Hamzah, kepala staf kepresidenan Moeldoko, wakil ketua umum partai Gerindra Arief Puyono dan direktur eksekutif Indo barometer M. Qodari dengan tema, "Di balik jengkelnya Jokowi".
Fahri Hamzah menyampaikan secara spesifik pentingnya peran puskesmas di masa krisis pandemi Covid-19 ini (part 6);
"(Pemerintah) harus melakukan investasi besar di bidang kesehatan sekarang, kenapa ngk betul-betul di pakai memperbaiki seluruh infrastruktur dalam sistem kesehatan kita secara menyeluruh, misalnya di Puskesmas, kita memiliki 34 Provinsi, 514 Kabupaten dan Kota, 7.000 Kecamatan, 8.000 Kelurahan, 74.957 Desa dan di setiap kecamatan semua ada Puskesmas, bahkan di setiap Desa (Kelurahan) ada Puskesmas seperti di DKI Jakarta, dan Puskesmas inilah yang seharusnya di tingkatkan kapasitasnya". tuturnya.
Lebih lanjut Fahri Hamzah mengatakan;
"Saya usulkan supaya alat PCR (Alat test Covid-19) di fasilitas di Puskesmas, cuma 1 miliar setiap kecamatan, kalau ada 10 ribu Puskesmas di seluruh Indonesia, belanja cuma 10 triliun, jadi waktunya bangsa Indonesia melengkapi Puskesmas di kecamatan dengan laboratoriumnya, sehingga masyarakat tidak lagi memeriksa Lab di Kabupaten atau Provinsi, ini waktu sebenarnya, krisis inilah yang di identifikasi supaya orang (Nakes) bekerja sesuai protokol krisis yang di harapkan". tuturnya dengan nada meninggi.
Gayung bersambut, di waktu bersamaan Moeldoko menanggapi pernyataan Fahri Hamzah;
"Hal itu sudah di sampaikan oleh presiden pada saat sidang kabinet, ini adalah saat yang tepat untuk melakukan restrukturisasi dan reformasi di bidang kesehatan, baik terkait SDM-nya, jumlah dokter, perawat, farmasi, ahli tenaga laboratorium medik dan tenaga kesehatan lain yang tidak sebanding dengan populasi penduduk Indonesia, ini menjadi perhatian serius pemerintah, berikutnya bagaimana mengoptimalisasi, memberi penguatan terhadap Puskesmas-puskesmas, itu sudah dipikirkan oleh pemerintah, ini saat yang tepat bagi pemerintah untuk melakukan reformasi dan strukturisasi (bidang kesehatan)". ucap Moeldoko di acara mata Najwa.
Tentu menjadi angin segar bagi kita semua, dengan keseriusan pemerintah tersebut, tinggal kita melihat dan mengawal bersama kebijakan seperti apa yang di terapkan oleh pemerintah dalam penguatan sektor kesehatan ke depan, terkhusus untuk Puskesmas, namun terlepas dari itu semua, masih banyak orang tidak memahami peran dan substansi puskesmas, padahal puskesmas memainkan peran penting dalam mewujudkan Indonesia sehat.
Puskesmas merupakan instansi kesehatan yang berorientasi pada Promotif dan Preventif, artinya fungsi atau kerja puskesmas adalah pencegahan, yaitu mencegah orang sehat agar tidak sakit, dan menjaga orang sehat agar tetap sehat dengan melakukan intervensi melalui komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) secara masif dimasyarakat.
Tentu sangat berbeda dengan peran rumah sakit atau klinik, yang berorientasi pada Kuratif dan Rehabilitasi, yaitu pengobatan dan penyembuhan orang (pasien) sakit, maka tidak heran jika hanya instansi puskesmas yang memiliki wilayah kerja, artinya bertanggung jawab terhadap kesehatan masyarakat dalam wilayah kerjanya agar tetap sehat, sedangkan rumah sakit, klinik atau instansi kesehatan lainya tidak memiliki hal demikian, maka sepatutnya puskesmas mendapat perhatian lebih.
Vitalnya peran puskesmas dalam mewujudkan Indonesia sehat sewajarnya mulai di perhatikan, pemenuhan ketenagaan, fasilitas, alat kesehatan sesuai dengan klasifikasi pelayanan standar harus sesegara mungkin di penuhi oleh pemerintah, bukan karena dalam penanganan Covid-19, tapi dalam konteks peningkatan derajat kesehatan masyarakat secara menyeluruh, memenuhi pelayanan kesehatan yang standar yang di amanatkan oleh undang-undang, yang merata dan di rasakan oleh semua lapisan masyarakat di bumi pertiwi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H