Sejak masih piyik, aku memang sering menulis. Entah di lembaran paling belakang buku sekolah, diary bekas pemberian saudara, kertas kosong yang biasa dipakai Bapakku mengetik, hingga permukaan bangku sekolah.
Dulu, belum ada kompasiana, belum ada blogger, wordpress, bahkan friendster pun belum lahir. Dulu menulis murni bukan untuk mencari "like" atau "emoticon" simpati dari follower yang membaca di linimasa. Dulu aku menulis karena sepertinya aku suka menulis.
Hingga usia remaja, sepertinya hasrat untuk terus menulis kian kuat, meski tak ada unsur kosa kata atau tata bahasa terstruktur. Kadang aku tiba-tiba menulis puisi "kelas tinggi" karena aku sendiri bahkan tidak tahu arah maknanya. Kadang terpikir, kok lucu sendiri, mungkin dulu aku sok menjadi filsuf.
Masuk kuliah, jadilah aku anak penurut. Jalani kuliah sebagai seorang mahasiswa teknik meski sepertinya bukan ini yang aku inginkan. Lulus kuliah pun galau. Kayanya bukan ini yang juga aku cari. Melamar kerja di perusahaan kelas tinggi kok sepertinya juga tidak sesuai hati.
Alhasil, menganggurlah aku sekitar satu tahun. Hingga akhirnya, suatu hari Bapak membaca sebuah lowongan pekerjaan di koran langganan. Kala itu, Pikiran Rakyat membuka beberapa lowongan.
Yang aku ingat, ada lowongan sebagai periset dan wartawan. Harapan Bapak, aku jadi periset, diam di kantor dan melakukan banyak riset penting untuk mendukung pemberitaan. Sepertinya zona nyaman buat anak perempuanku, mungkin itu pikirnya.
Eh, ternyata si denok ini malah memilih lowongan wartawan. Apa mau dikata berkas lamaran sudah meluncur ke meja HRD perusahaan media itu. Singkat kata, setelah perjuangan berkompetisi dengan ribuan pelamar lainnya, aku terpilih sebagai calon penulis di media itu.
Modal hobi gak cukup, Kawan. Ternyata jadi wartawan susah, gak boleh asal nulis. Cerita pun tak hanya asal melankolis. Harus ada tata bahasa, kaidah pemenggalan, penentuan angle berita atau artikel, dan unsur 5W1H.
Jadilah aku seorang calon wartawan sebuah media besar di Jawa Barat. Banyak cerita dan pengalaman yang buruk sekaligus menyenangkan selama jadi wartawan.
Hingga akhirnya, akupun ketagihan jadi wartawan di Ibu Kota. Hijrahlah aku ke Media Indonesia, kembali menggantungkan nasib dari menjahit informasi dalam sebuah rangkaian kata-kata.
Keingintahuan untuk mendalami profesi ini, khususnya dalam bidang ekonomi, membawaku menjadi seorang penulis di Kontan, salah satu anggota Kompas Group.
Di sini, hobi sekedar suka menulis, dan tahu beberapa kaidah aturan sebagai wartawan tidaklah cukup. Aku serasa jadi anak piyik yang naif di tengah kerumunan jurnalis militan dan narasumber necis yang sibuk bertukar istilah ekonomi kelas tinggi.
Hingga, tiba pada suatu ketika, aku merasa jauh dari hasrat yang aku idamkan. Aku tak lagi menikmati tulisanku. Aku hanya menulis hanya demi sebuah "headline".
Kembali, sebuah keputusan aku jalani. Aku tinggalkan sebuah profesi yang menurutku paling mewakili hasrat kecilku untuk selalu menulis. Aku tak lagi menulis untuk mencari nafkah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H