Mohon tunggu...
Bink Bintang Samawy
Bink Bintang Samawy Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Membumikan nilai dan norma yang kian terserak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kekerasan, Wajah Indonesia?

20 April 2012   18:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:21 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia tersohor dengan keramahan, kesopanan, toleran, dan negeri yang masih memegang teguh adat ketimurannya. Dunia pun mengakuinya, Indonesia mampu mempertahankan dan memprioritaskan etika dalam segala hal. Terutama, ketika bertemu bangsa lain. Yang terjadi belakangan ini, negeri yang terkenal asri nan ramah, tercoreng dengan berbagai tindakan kekerasan dan kriminalitas. Ironisnya, kekerasan tersebut sudah menjadi bagian dalam masyarakat kita. Inikah wajah baru manusia Indonesia era modern.

Secara historis, manusia tidak bisa lepas dari kekerasan. Sebagai makhluk yang dianugerahi akal dan nafsu, terkadang manusia lebih mengedepankan nafsunya, akal sehat yang menjadi barometer seakan tidak berfungsi. Habil dan Qabil misalnya, keduanya merupakan putra nabi Adam as, mereka terlibat dalam pembunuhan yang dilatarbelakangi masalah wanita (cinta). Ikatan persaudaraan tidak sanggup menjadi alasan seseorang untuk hidup dalam kedamaian, tentram dan nyaman diantara mereka. Sampai saat ini, kekerasan yang dilatarbelakangi oleh cinta kini sering menghiasi wajah bangsa kita, bahkan nyawa dengan mudah melayang. Padahal, bukankah sesama muslim bagai satu tubuh, satu jiwa dan satu rasa.

Dari beberapa kasus kekerasan di masyarakat, sebagaimana yang dilansir dari Kompas (18/02/12),kekerasan yang terjadi pada bulan Februari tahun ini, didominasi oleh kasus pembunuhan, penjambretan disertai pemerkosaan, dan penusukan dengan pelaku seorang siswa SD di daerah Depok, Jawa Barat. Sedangkan, yang mengalami kenaikan cukup siginifikan dari tahun 2010-2011 adalah perampasan uang negara (korupsi) dengan jumlah 585 kasus di tahun 2010, untuk tahun 2011 sebanyak 1.232 kasus. Sementara yang paling mengerikan adalah kekerasan transnasional, yang meliputi pencucian uang, terorisme, dan penjualan manusia, yakni mencapai 16.138 kasus pada tahun 2011.

Kondisi tersebut cukup mencengangkan, kekerasan hampir kita temuidalam semua lini kehidupan.Dampak terbesarnya, masyarakat menjadi terbiasa bersandingan dengannya, hal ini menimbulkan sikap yang cukup pragmatis dalam masyarakat.Muncul semacam persepsi ‘berbuatlah dahulu, masalah penjara atau akibatnya belakangan.’ Persepsi semacam itu sudah menjalar pada sebagian masyarakat kita. Hal ini patut disayangkan, mengingat Indonesia merupakan bangsa yang beradab dan mengagungkan nilai kemanusiaan. Pemerintah dalam hal ini penegak hukum harus sigap dan bersikap seadil-adilnya dalam menangani setiap kasus, hukum jangan dibuat ajang transaksi, karena hukum itu buta. Tidak mengenal kasta dan strata. Dengan penegak hukum yang adil, diharapkan pelaku kekerasan gerah dengan putusan hukum dari sang hakim.

Disamping itu, salah satu yang menjadi pemantik kekerasan itu munculadalah masalah kemiskinan. Keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan, emosimudah sekali menguap yang berujung pada kriminal yang berbau kekerasan. Sebut saja kasus yang pernah terjadi di suatu daerah, seorang anak tega menghabisi bapaknya hanya karena keinginan sang anak yang minta dibelikan motor tidak dipenuhi. Akal sehat tentu tidak bisa menerimanya, sang anak tega membunuh orang yang selama ini membesarkannya. Kriminalitas berbanding lurus dengan kemiskinan yang terjadi di suatu daerah, dalam hal ini nabi Muhammad Saw.pernah mengingatkan, kemiskinan merupakan suatu yang paling aku khawatirkan dari umatku.

Kemiskinan menimbulkan beragam problematika di tubuh bangsa ini, seperti khamr yang menjadi induk dari segala kejahatan. Negara yang paling bertanggungjawab bersikap apatis melihat rakyatnya yang tidak bisa menikmati kehidupan yang layak. Dampaknya pengangguran merata, anak-anak putus harapan sekolah, kerja brutal, kesenjangan sosial, dan membuka lahan baru dalam dunia kekerasan dan kriminalitas.

Hilangnya Orientasi

Salah satu penyebab kriminalitas dan kebrutalan yang terjadi di masyarakat adalah karena mulai hilangnya orientasi, sebagian masyarakat diwarnai segala hal yang bersifat kebendaan materi dan nilai moral yang baik mulai ditinggalkan. Sebagaimana yang pernah dipaparkan oleh sosiolog UGM, Yogyakarta, Tadjuddin Noer Effendi. Menurut pengamatannya, masyarakat pesimis melihat kondisi bangsa kita saat ini. Berbagai kebobrokan dan ketidakpuasan dari kinerja pemerintah menjadi faktor yang prinsipal dari ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah. Sehingga masyarakat kian tidak percaya diri dan melupakan terhadap nilai dan norma, masyarakat terlalu berpikir praktis dan singkat dalam mengambil suatu tindakan. Proses tidak begitu berharga, yang terpenting hasil akhir meski dengan menghalalkan beragam cara.

Setidaknya, masyarakat telah kehilangan orientasi moral, yakni suatu sikap dan pemikiran yang dimiliki individu manusia dalam menentukan baik dan buruknya perilaku seseorang. Dalam hal ini, orientasi moral meliputi; Pertama; Orientasi normatif, mempertahankan kewajiban taat pada peraturan yang berlaku. Kedua; orientasi kejujuran, yang menekankan keadilan dengan fokus pada kesamaan. Ketiga; orientasi utilitarisme, menekankan kesejahteraan dan kebahagiaan tindakan moral seseorang pada orang lain. Keempat; orientasi perfeksionisme, menekankan orientasi pada pencapaian martabat dan otonomi, kesadaran serta keharmonisan dengan orang lain1).

Dari kondisi yang mengenaskan di atas, setidaknya harus ada perubahan mindset dan mental dari masyarakat sendiri. Sebagaimana yang disinggung di atas, perlu pemupukan sikap dan perilaku sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat, agar tercipta masyarakat yang beradab, santun, ramah dan jauh dari kekerasan. Namun, untuk mencapai itu semua tidak semudah rumus matematika yang sudah baku, banyak rintangan yang mesti dihadapi, karena realitanya masyarakat sekarang nyaris kehilangan identitasnya. Berawal dari ruang lingkup keluarga, pembentukan pribadi manusia yang ramah bisa terwujud. Selain itu, sosialisasi dari keluarga memiliki peran besar dalam mengenalkan dan mendidik anak bangsa agar memiliki pribadi keindonesiaan yang kuat. Sebagaimana nabi Saw. dalam sabdanya, bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, orangtua lah yang menjadikan mereka bersikap seperti Yahudi ataupun Nasrani.

Para pendahulu, telah bersusah payah mengajari rakyat Indonesia untuk bersikap seperti apa yang tertuang dalam butir-butir Pancasila. Mereka menggagas dan merumuskan dengan sempurna. Kalau boleh mengatakan, Pancasila merupakan ‘kitab saku’ yang wajib dipahami, diresapi dan diamalkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Realita berkata lain, kita telah menafikan kitab saku ini dalam kehidupan. Sehingga lambat laun, bangsa kita akan meninggalkan jatidirinya.

Kalau saja Pancasila kita aplikasikan, kekerasan paling tidak bisa diminimalisir. Kita bisa memetik pelajaran dari kitab saku ini. Pertama; sebagai bangsa yang berketuhanan, kekerasan mutlak tidak diperbolehkan oleh agama manapun. Karena, secara fitrah, manusia mendambakan ketenangan dan keselamatan dalam hidup. Apalagi Islam, yang mengangkat tinggi bendera perdamaian dan kasih sayang terhadap semua makhluk. Kedua;manusia yang adil dan beradab, secara sederhana rakyat Indonesia dituntut untuk menjadi manusia yang bisa bersikap adil terhadap siapapun, ditunjang dengan etika yang baik. Manusia yang beradab ialah manusia yang mampu memanusiakan manusia, demikian kata Habib Lutfi bin Yahya. Ketika manusia mampu menghargai kemanusiaan, kekerasan akan terminimalisir. Ketiga; Persatuan. Kesatuan dan kesamaan derajat kunci memperkokoh persatuan dalam keberagaman bangsa.

Walhasil, Indonesia diharapkan bisa menemukan kembali wajahnya yang ramah, asri dan toleran. Dengan membentuk masyarakat yang kembali patuh kepada norma sosial, agama, budaya, hukum negara, tradisi yang berlaku dalam masyarakat, di samping itu Pancasila juga bisa dijadikan benteng bagi semua lapisan masyarakat, selain keimanan dan kepasrahan kepada ajaran yang diyakininya. Wallahua’lam bishawaab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun