Halaman 21 ...
"Namun ... dalam posisiku saat ini, aku tak berani berasumsi hingga sejauh itu". "Karena itulah aku ... uhm.. kami ... memerlukan mata dan telinga kalian untuk menilai kondisi yang ada disana". Rustam kemudian menangkupkan kedua tangannya di depan mulut sambil menguap. Garis-garis kelelahan makin tertampak jelas wajahnya.
..
"Terkait dengan kemungkinan yang kau kemukakan ...", ujar Rustam sambil menatap Bara. "Ada baiknya kalian tidak sampai lengah disana". "Karena apabila itu benar merupakan sebuah serangan, maka tentunya akan ada pihak disana yang akan berupaya menghalangi segala bentuk upaya guna mengatasi masalah tersebut". "Demikian saja kiranya, ...setelah ini ... kalian dapat segera menuju ke ruang pemberangkatan". "Apakah masih ada yang perlu ditanyakan ?"
Keempat orang yang ditanya menggeleng.
"Baikla, ... briefing ini kuakhiri". Rustam kemudian beranjak berdiri, menjauh dari meja. "Oh, ya ... ada sesuatu yang hampir saja terlupa ...". "Apakah kau masih menyimpan hasil penelitian dari ayahmu ?", tanyanya kepada Bara. Â "Terutama mengenai biodaptor*, ... kalau aku tidak salah ingat mengenai namanya", ia menambahkan
*Biodaptor, sebuah tehnologi untuk membuat sebuah "alat" penghubung antar jenis tanaman yang berbeda. Sehingga dimungkinkan untuk menempelkan sebuah cabang dari satu jenis tanaman yang berbunga atau berbuah pada jenis tanaman lainnya (terutama jenis tanaman pepohonan). Yang mana berguna tidak hanya dapat memperpendek waktu tanam dari tanaman berbunga atau berbuah itu, tetapi juga mengurangi tingkat kegagalan penanaman disebabkan perbedaan jenis tanah yang diperlukan bagi tanaman berbunga atau berbuah itu. Err... ini masih sebatas imajinasi saja lho.:)
"Err..., ya..., saya masih menyimpan semua barang beliau". "Kiranya hasil penelitian beliau, mungkin ada besertanya", Bara menjawab dengan pikiran bertanya-tanya.
"Kalau begitu, cepatlah kau pulang dan mengambilnya". "Waktu pemberangkatan kurang lebih 2 jam lagi dari sekarang", imbuhnya cepat.
"Uhmm, kalau saya boleh bertanya, pak ...". "Untuk apa saya harus membawanya ?", Bara bertanya masih belum pulih dari keheranannya.
"Uhmm..., itu ... mungkin diperlukan disana". "Satu, dengan itu kamu bisa menjadikannya sebagai alat untuk mempermudah dirimu saat berbaur dengan orang-orang tertentu disana". "Dua ..., kau juga perlu sesuatu untuk dikerjakan, ... bilamana ... kasus yang ada saat ini berhasil dipecahkan". "Kau tentunya menyadari bahwa keahlian dan pengalamanmu sebagai seorang prajurit, akan menjadi kurang berguna disana ..., manakala hal itu terjadi", Rustam menjelaskan dengan hati-hati. "Lagipula, akan sangat sayang sekali, bila penelitian itu tidak dituntaskan, melihat segala potensi yang ada terkait penelitian tersebut", lanjutnya menambahkan. "Terus terang, waktu aku melihat pilihan yang diberikan oleh panitia ... Â mengenai siapa-siapa saja yang harus berangkat, aku terkejut sewaktu melihat namamu". "Tetapi kemudian aku teringat bahwa saat kau melamar kerja disini kau sebutkan punya minat dalam bidang botani, dan pernah bekerja dengan ayahmu ... meski kau tidak meneruskan pendidikan pada bidang itu". "Kiranya itu yang menjadi faktor yang diperhitungkan oleh para panitia, terkait misi infiltrasi yang mungkin terjadi pada kasus ini".Â
Bara menunduk, berpikir sejenak, dan kemudian mengangguk, mengiyakan apa yang dikatakan oleh atasannya itu.
"Dan kalian ...", ujar Rustam sambil melihat kepada Parjo, Emily, Lesti satu persatu. "Tentunya kalian belum lupa dengan latar belakang pendidikan kalian, sebelum bekerja disini ?"Â
Serempak ketiganya mengangguk.
"Baiklah, ... itu saja". "Sementara kalian ...", ujar Rustam menatap tiga rekan Bara lainnya. "Pulanglah juga, bila ada sesuatu yang hendak kalian bawa kesana". "Mengenai jenisnya, kalian tentunya masih ingat persyaratan mengenai itu, khan ?" tanyanya sambil melambaikan tangan mempersilahkan mereka pergi.
Serempak keempatnya mengangguk lagi, dan kemudian langsung bergegas meninggalkan ruangan.
...
5.30 pagi. Setelah melihat DeWe-nya, Bara kemudian memasuki ruang tunggu. Dilihatnya para rekannya telah berada disana. Setelah berbincang sejenak, keempatnya kemudian bersama memasuki ruang pemberangkatan. Saat akan memasuki ruang itu, langkah Bara terhenti. Ia menubruk Parjo, yang entah mengapa berhenti mendadak. "Hei, mengapa kau berhen...", ucapan Bara terputus saat ia melongok, ingin melihat apa yang membuat langkah Parjo terhenti. Ia melihat sesosok wanita cantik sedang menyalami Parjo. Ia kemudian menoleh melihat wajah rekannya itu. Yang seperti terkesima akan sesuatu. Mulutnya agak terbuka, matanya menatap syahdu kepada wanita yang menyalaminya itu, ... yang mana terlihat sedang berusaha melepaskan genggaman tangan si Parjo.Â
Lesti menoleh, dan sejenak kemudian ia kemudian sadar apa yang sedang dialami oleh rekannya yang satu itu. Ia kemudian menjewer telinga si Parjo sambil menuntunnya menjauh dari pintu. Sambil berbuat demikian ia berkata dengan nada bercanda, "Hei, apa tak kau ingat mengenai tes yang terakhir ?"
Emily yang menyaksikan itu tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Bara berusaha sebisa mungkin menyembunyikan tawanya, ketika ia menyadari pula apa yang sedang terjadi.
"Lah, mengapa aku baru tahu kalau ada bidadari ada disini ?", ujar Parjo sambil tersenyum simpul.
"Apakah itu berarti kau akan membatalkan niatmu untuk pergi kesana, Jo ?", Lesti bertanya dengan nada bercanda.
"Aduh...", sahut si Parjo. "Tahu 'gini ...", ada raut penyesalan sekilas tertampak di wajahnya. Â "Ah, sudahlah ..., apa boleh buat ...". Kemudian ... "Maafkanlah ... daku, cintaku tak 'nyampai bukan karena babemu yang galak, 'yang, tetapi semata karena masalah jarak dan waktu", tutur Parjo berbunga-bunga sambil berlutut dengan bertumpu pada sebelah kaki dihadapan wanita itu.
Yang dimaksud, menutup mulut dengan kedua tangannya untuk menyembunyikan geli dan tawanya.
Setelah itu, Parjo kemudian duduk di kursi disebelah Bara. "Tahu 'gini, mungkin aku dulu akan lebih memilih untuk bergabung sama tim fisikawan yang mengurusi masalah transportasi itu", omelnya.
Ketiga rekannya yang lain, masih belum dapat menuntaskan rasa gelinya. Dan untuk sesaat, rasa tegang yang membebani, menghilang dari pikiran mereka saat itu.
Bersambung ...
Peeeace 4 all
 Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H