Halaman 7 ...
"???"Â
Secara serempak Parmin, Eliana dan Rachel saling berpandangan. Entah apa yang ada dalam benak mereka, tetapi tiada sudut bibir yang turun teramati pada mereka.
"Ehem..., itu bermakna paling atau sangat atau baik ?", Parmin menebak, sambil berusaha menyembunyikan senyumnya.
"Bukan", Tu menjawab.
"Shoe ... sepatu atau sew ... menjahit  ...", Eliana mengambil giliran kedua.
"Nope", Tu menukas.
"Shu ... minuman ?", Rachel turut mengambil giliran.
"Wha..., ya 'nggak lah", sahut Tu sambil tersenyum lebar.
"Su ... untuk ?", tanya Rachel yang penasaran.
"'Nggak juga, khan nanti hampir sama dengan to pula". "Khan agak percuma jadinya berganti nama", urai si Tu.
"Shu ... yang berarti buku ?", tanya Rachel yang semakin penasaran.Â
"Apakah saya mirip seperti itu ?", Tu balik bertanya, sambil berakting memajang muka netral dan polos nan membisu kepada Rachel.
"Ha ha ha, 'nyerah deh saya", Parmin mengujar. "Apa maknanya ?", imbuhnya. Rasa penasaran telah menggugah rasa keingintahuannya. Â Â
"He he he ..., itu spontanitas saja sebetulnya, ketika tadi anda menanyakan". "Saya teringat sesuatu yang kiranya sangat berkesan bagi diri saya", jawab si Tu. Â
"Rahasia atau bukan ?", tanya Rachel yang rasa penasarannya belum memudar jua. "Ceritain ... dong, ... kalau bukan rahasia ?", imbuhnya.
"Mmm..., itu terjadi kurang lebih 2 atau 3 tahun yang lampau". Tu terlihat menerawang, mengingat masa lalu. "Waktu itu saya sendiri mulai mendeteksi ada tanda-tanda ... telah sampai pada batasan ... yang ada dalam diri saya". "Suatu ketika saya memutuskan untuk jalan-jalan, melepaskan penatnya pikiran". "Dimana kemudian saat jalan-jalan itu, entah mengapa saya tertarik pada sebuah bangunan, yang ternyata adalah sebuah Ge-eM*".Â
*Ge-eM ... Graha Makanan alias rumah makan. Â
Setelah membasahi bibir, Tu melanjutkan.  "Saya masuk, dan kemudian pesan makanan". "Nah, pada saat saya menunggu makanan tersaji itu, saya melihat sebuah karya kaligrafi berujuran besar tepampang di dinding, persis berseberangan dengan posisi saya duduk". "Entah mengapa, dalam posisinya seperti  itu ... karya itu seakan mengajak saya bercakap".Â
"Dan ketika itu saya turuti, maka ... terjadilah". "Err... itu terjadi dalam hati, tentunya", imbuh si Tu sambil tersenyum kecil. "Percakapan dalam batin itupun terus berlangsung, bahkan saat makanan dan minuman telah tersaji". "Dan terus berlangsung jua, saat saya menyantap makanan dan minuman itu".
 "Hingga sesaat sebelum makanan itu habis, ... kalau saya tidak salah dalam mengingatnya ..., percakapan itu baru berhenti, disebabkan pada saat itu saya telah mendapatkan suatu kesimpulan mengenai apa yang sedang terjadi pada diri saya". "Pada saat saya membayar, saya memberanikan diri untuk menanyakan arti dari kaligarafi itu kepada si kasir". "Si kasir menjawab tidak mengetahui, tetapi ia kemudian mengambil inisiatif memanggil karyawan lainnya dan menanyakannya".Â
"Karyawan yang ia panggil itu ternyata juga tidak tahu, tetapi kemudian ia menawarkan diri untuk menanyakannya kepada pemilik Ge-eM yang sedang berada di kantor". "Pemilik Ge-eM yang dimaksud, ternyata langsung turun dari kantornya di lantai atas". "Dan setelah berbincang sebentar, akhirnya saya mengetahui huruf yang ada  di karya kaligrafi itu berikut maknanya". "Su...yang secara sederhana dapat diartikan sebagai ... terbangun (awake)". Demikian si Tu bercerita.
"Wow, kiranya saat ini saya memahami makna dari  kalimat ... sebuah keindahan bersembunyi pada suatu yang tampak sederhana", kata Rachel sambil mengusap hidungnya. "Su ...",ujarnya sambil memandang Tu.
"Apakah kau akan mengganti namamu ?", Parmin bertanya.
"'Nggaklah, walau mungkin aku akan menggunakannya sebagai nickname", Â jawab Tu sambil tersenyum lebar.
Bersambung ...
Peeeace 4 all
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H