Mohon tunggu...
Ubing Haris
Ubing Haris Mohon Tunggu... -

penulis amatiran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memahami "Bahasa" Pejabat

4 Januari 2014   17:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:09 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Batas dunia seseorang adalah batas bahasanya.” Itu kata teman yang sukanya baca buku-buku filsafat. Mungkin betul juga, seseorang yang setiap harinya masih harus bergulat untuk mencari makan untuk besok, tak mungkin akan berbicara tentang musik Super Junior. Sebaliknya, sang remaja yang membeli tiket dua jutaan rupiah untuk bisa nonton konser si boys bandasal Korsel itu, pasti tak akan bisa memahami bahwa uang sejumlah itu bisa dipakai hidup selama tiga bulan!

Mungkin absurd, mungkin juga tidak. Kalau diingat-ingat, jangan-jangan, batalnya konser Lady Gaga, beberapa waktu lalu itu, sebenarnya juga karena masalah “bahasa” yang tak nyambung. Apalagi “bahasa” yang dipakai sudah menyinggung “dunia sini” dan “dunia sana”—dunia “setan” dan dunia “malaikat.”

Bahasa memang bisa jadi rumit. Bagi seorang kawan yang bekerja di dunia iklan, bahasa adalah alat untuk membujuk. Bagi ibu guru, bahasa berguna untuk memperjelas pelajaran—meski ada juga dosen yang menutupi ketidakmampuannya dengan memakai bahasa yang berbelit-belit. Makin bingung sang mahasiswa, makin merasa pintar sang dosen. Sementara seorang yang hari-harinya selalu terobsesi untuk menghasilkan kekayaan yang lebih banyak lagi, akan selalu terpikat dengan kata-kata yang selalu berkaitan dengan uang, untung, mendadak kaya…

Bahasa adalah baju bagi jiwa. Dus pilihan-pilihan kata seseorang adalah pilihan orientasinya. Seorang anggota dewan, menurut sebutan resminya adalah anggota dewan perwakilan rakyat. Namun, kita lebih suka menyebut semua mereka yang kerjanya duduk di kursi empuk sambil membahas uang sewa apartemen, uang reses, dan jatah kunker ke luar negeri itu, sebagai pejabat. Maka tak perlu heran bila mereka juga lebih suka berperilaku sebagaimana mereka disebut.

Jangan kaget pula kalau pejabat-pejabat ini kemudian lebih suka membahas siapa duduk di mana, siapa dapat komisi apa, serta siapa berani menyumbang berapa, ketimbang harus memikirkan bagaimana supaya para pedagang kaki lima bisa mencari nahkah dengan jenak tanpa dioprak kesana kemari. Atau membahas bagaimana caranya agar biaya pendidikan makin terjangkau rakyat banyak.

Tak perlu heran pula bila kita setiap hari mendengar banyak jalan-jalan yang setiap hari macet terus karena kendaraan yang lewat lebih banyak ketimbang lebar jalan yang dilewati. Sementara para pejabat itu lebih suka membahas proyek-proyek besar dengan biayanya triliunan rupiah yang sebenarnya bisa dipakai membangun sekian ribu pemukiman.

Memang, yang dibahas sama-sama soal kemacetan lalu lintas. Karena kemacetan lalu lintas juga bisa berdampak serius pada bapak-bapak pejabat tadi; mereka bisa telat sampai di kantor, dan bisa stres di jalan. Kalau begini yang rugikan juga rakyat banyak, mana mungkin mereka bisa membahas nasib rakyat dengan baik bila sampai di gedung mereka yang mentereng itu sudah dalam keadaancapek, stres dan pusing tujuh keliling? Apalagi kalau di jalan-jalan mereka masih harus menyaksikan kaki lima bertebaran di mana-mana, apa nggak mumet?

Marilah kita bersama-sama menjaga agar kesehatan mereka---para bapak-bapak itu---agar selalu dalam kondisi prima. Sebab itu, jangan terlalu banyak bertanya kalau uang makan mereka ratusan, bahkan mungkin ribuan kali lipat jumlahnya dibanding orang normal. Mereka kan butuh gizi, stamina, dan banyak suplemen agar selalu jos memikirkan rakyat banyak, ya kita-kita ini. Kalau toh ada di antara mereka perutnya nggak muat lagi di celana mereka, mari kita urunan belikan seragam mereka yang lebih besar lagi. Sebab itu, kalau ada uang seragam pejabat yang jumlahnya sampai miliaran, mungkin ini penyebabnya: kain yang biasanya bisa dijadikan 50 baju untuk kita-kita ini, cuma bisa jadi satu baju bagi mereka.

Begitu pula dengan kursi mereka. Kalau anggaran kursi bisa sama dengan uang yang dipakai untuk membangun ribuan sekolah SD, itu karena tempat duduk yang biasa-biasa saja tak akan cukup untuk badan bongsor mereka. Apalagi, kalau dengar bisik-bisik antarmereka, untuk bisa duduk di kursi itu biayanya sangat mahal. Harganya miliaran rupiah. Belum lagi gontok-gontokannya. Jadi? Lagi-lagi, kita harus maklum. Bukankah kita ini rakyat yang penuh maklum, he..he..he..

Kita juga jangan cemburu kalau mendengar mereka juga dicarikan rumah yang bagus untuk disewa atau dibeli. Supaya mereka bisa jenak memikirkan kita-kita ini---karena kita ini cuma jelata, yang pikirannya cuma hal yang cetek-cetek saja, dan tak pernah serius pula. Mereka harus kita lengkapi dengan fasilitas rumah yang serba ada. Kulkas, ac, mobil, stereo set, pokoknya yang nyamanlah. Jangan sampai mereka terganggu dan memikirkan bagaimana harus mencari duit untuk kebutuhan rumah tangga, bagaimana harus tampil keren dengan mobil terbaru, bagaimana agar sang istri tersayang (disebut tersayang karena biasanya banyak sayang-sayang yang lain) bisa beli tas Hermes di Singapore (minimal), atau Paris, sana. Apalagi, mereka masih juga harus menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri, atau kalau toh sekolah di dalam negeri, harus cari yang uang sekolahnya selangit—karena sekolah yang gini bisa bikin bangga orang tua, karena gengsinya ikut naik. Pokoknya, bikin mereka senyaman-nyamannyalah. Kalau mereka tidak nyaman dan mereka harus ngompreng kesana kemari, yang rugi kan kita juga…

Kita juga harus membangunkan mereka gedung yang megah, tempat mereka bisa bekerja dengan maksimal tanpa terganggu deru mobil dari luar, teriakan mahasiswa yang demo, atau rengekan-rengekan rakyat yang lapar. Oh ya, jangan lupa, kursi mereka juga harus sesuai dengan ergonomic tubuh mereka. Kalau produk dalam negeri yang pakai hitung-hitungan ergonomic belum ada, bolehlah impor dari Eropa… Kalau toh suatu ketika di layar teve kita melihat di antara mereka ada yang tidur saat sidang, yang dimaklumi saja. Bukankah mereka terlalu capek karena terus menerus memikirkan nasib kita-kita ini yang makin sulit cari kerjaan, sulit cari angkutan, bingung menyekolahkan anak…

Hindarkanlah mereka dari rasa tak nyaman. Janganlah disoal kenapa mereka dapat uang sewa atau beli rumah yang aduhai jumlahnya sementara banyak di antara tetangga-tetangga kita, saudara-saudara kita, mau nunut di rumah susun saja bolak balik diusir.

Kembali ke soal bahasa tadi. Agaknya kita-kita masih juga tak bisa paham bahasa bapak-bapak yang ingin kita manjakan tadi. Sehingga kita juga tak paham apa bedanya mendandani jalan-jalan kecil rusak yang hanya butuh biaya kecil, dengan membangun proyek seperti Hambalang yang triliunan rupiah itu. Juga tak paham pentingnya mencarikan anggaran rumah atau sewa apartemen buat bapak-bapak itu tadi yang sampai miliar-miliaran, daripada membangun RSS untuk mereka yang belum punya rumah.

Sebab itu, marilah kita pahami bahasa mereka tadi. Bagi mereka dari segi bahasa tak banyak bedanya. Proporsalnya mungkin juga sama. Kata-kata penyusunnya juga sama. Repotnya juga sama. Bedanya cuma jumlah rupiahnya!

Tapi, sudahlah. Kurang baik berpanjang lebar nggosipin bapak-bapak di atas sana. Apalagi, di musim angin ribut dan ramai petir seperti akhir-akhir ini, suara lirih dari orang yang kurang makan jadi nyaris tak terdengar. Akan lebih baik kalau kita memikirkan kerja. Tapi, kerja yang bagaimana?

Marilah kita kerja, kerja, kerja…

Eh, ya kerja apa ya? Repot juga, karena tulang sudah dibanting, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, tapi harga terus melangit. Pakai minyak tanah, disuruh pakai gas, setelah semua pakai gas, harga gas di tendang sampai ke langit-langit. Memangnya kita disuruh pakai kayu bakar? Serupiah dua rupiah yang didapat dengan kerja ditelan begitu saja oleh kenaikan harga yang berlipat-lipat. Daripada kembali pakai kayu, saya kok cenderung memakai kayu itu untuk nggebuk koruptor…

Memang sih, kerja, kerja, kerja…

Sebuah ajakan yang simpatik. Cuma, kita tak tahu, itu ditujukan buat siapa. Apakah untuk orang yang gila kerja, atau orang yang kurang kerjaan. Atau justru si pengajaknya kerja, kerja, kerja yang dapat kerjaan…

Bisa jadi itu juga ditujukan untuk kita-kita yang masih asyik bermain-main dengan kata-kata. Nah…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun