Sore itu, kuputuskan mengeluarkan fixie kuning dari rumah untuk berkeliling santai. Dua puluh menit mengayuh dari kejauhan terlihat gapura kokoh di kiri jalan, di depannya terpampang jembatan aspal yang menopang lalu lalang kendaraan. Gapura bertuliskan "Pintu Masuk 1 Bang Pitung Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan" itu terlihat kokoh dan megah dengan instrumen kayu khas betawi di bagian atasnya serta dihiasi kumpulan tukang ojek dan makanan yang singgah di bawahnya. Tanpa berpikir, ku kayuh kencang si Kuning memasuki kawasan tersebut dengan harap menemukan penjual minuman untuk melepas dahaga selepas marathon bersepeda.
Melewati gapura, jejeran warung menyambut bersamaan dengan makanan-makanan ringan tradisional khas ibukota sebut saja keripik singkong, rengginang, kembang goyang hingga dodol betawi terlihat disana. Beberapa rumah dengan teras yang luas dengan hiasan segitiga di tiap pinggir atapnya juga menyambutku seakan-akan mengatakan selamat datang di tanah Betawi.
Lima menit mengayuh ke dalam perkampungan, sampai juga di titik awal dari danau Setu Babakan. Memasuki area danau harus ekstra berhat-hati karena kondisi jalan yang menurun dan langsung bermuara dengan persimpangan jalan. Jika tetap memacu kendaraan mungkin akan membahayakan para pengunjung dan kendaraan yang berjalan pelan berlalu lalang. Pandangan menoleh ke kanan, terlihat seorang pria mengipas arang sambil membolak-balikan penggorengan. Pria tersebut sesekali menawarkan untuk membeli kerak telor yang dijualnya.
Dengan wajah lelah dan nafas terengah-engah, aku sandarkan fixie di pohon bercabang dua yang terletak bersebelahan dengan tugu dan duduk santai di tembok pembatas di belakangnya. Perlahan, rasa lelahku mulai hilang. Angin sepo-sepoi, pemandangan hijau serta riak kecil danau seakan menghapus semua keringan yang ada. Beberapa orang terlihat di inggir Setu yang mengering sambil menarik mata pancing, ada juga pekerja berkostum oranye yang membersihkan sisa sampan di pinggir Setu.
Aku menemukan dua buah perahu kayuh di sisi kiri danau. Perahu dengan corak hitam kuning yang sudah mengusam itu memiliki kepala naga di bagian depan. Loketnya pun disediakan, 10.000/orang adalah harga yang dipatok untuk menaiki sang naga terapung.
Aku yang terduduk santai dikejutkan lonceng yang muncul seakan menepuk tubuh yang sedang bersanar. Aku menoleh dan sebuah gerobak bertuliskan es potong pelangi berhenti tepat di depan fixieku. Dengan wajah ramah, penjual bertopi menawarkan jajanannya. Hanya dengan 2ribuan es coklat sudah berada dalam genggaman. nyam nyam
Setelah es dihabiskan, Ku kembali mengayuh si Kuning memasuki lebih dalam kawasan. Perjalanan terhenti ketika Seorang pria berpakaian serba hitam terlihat duduk di depan pintu masuk kawasan jajanan. Pria tersebut memberikan sebuah karcis berwarna merah muda kepada motor dan mobil sebagai tanda parkir pengunjung. Beruntunglah karena pakai sepeda jadi tidak perlu membayar karcis parkir selembaran.
Hanya beberapa kayuhan saja, diriku sudah dihimpit oleh warung yang menyediakan beragam makanan. Uniknya diseberang warung terdapat lesehan kecil yang beralaskan tikar dan bertopi payung. Sebuah meja kecil dan bangku panjang yang menghadap langsung ke arah Setu juga melengkapi lesehan kecil itu. Variasi jajanan di tempat ini membuat siapapun pusing memilihnya. Sebut saja ketoprak, toge goreng, mie ayam, soto betawi dan banyak lagi seakan memanggil perut para pengunjung yang datang.
Ada juga panggung pentas beserta rumah adat yang berada dibagian atas kawasan perkampungan. Pengunjung bisa menggunakan tangga yang disediakan pengelola untuk mencapainya. Setiap Sabtu dan Minggu biasanya disajikan pertunjukan seni khas betawi seperti lenong, gambang kromong, tarian, dan banyak lainnya.
Tak terasa waktu sudah semakin sore, matahari terlihat sudah mulai bersembunyi dibalik senja. Aku susuri jalan kembali menuju pintu keluar. Terlihat penjual mulai memasukan barang dagangannya dan menutup warungnya.
Saat berjalan pulang tersadar bahwa ternyata rekreasi itu tidak harus mahal. Bahkan tanpa merogoh kocek dalam aku dapat mendapatkan sebuah pelajaran budaya yang sangat berharga.
Setu seluas 30 hektare ini menjadi kebanggan bagi anak betawi. Sudah saatnya kita anak bangsa mulai mencintai budaya yang kita miliki agar tidak luntur oleh derasnya arus globalisasi. Jika bukan kita siapa lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H