Mohon tunggu...
Noer Ardiansjah
Noer Ardiansjah Mohon Tunggu... lainnya -

Hanya serupa peternak mimpi yang masih asyik dengan mimpinya. Lebih seringnya sih, bermimpi tentang kamu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Satria Dirgantara (Sejarah Kota Depok) II

13 Januari 2015   20:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:14 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1421079102202986163

[caption id="attachment_364225" align="aligncenter" width="300" caption="wikipedia"][/caption]

II.

Rupa Sadhya

Tanpa ragam kata, rasa

Tanpa ragam hentian, laku

Seberapa pun bijak kita dalam urusan dunia

Tetap saja ia akan tiba

dengan semua jawaban atas suka maupun duka

Waktu

Selain hari Jumat dan Minggu, hari Sabtu juga merupakan salah satu dari sekian banyak hari yang paling saya nanti. Penuh dengan tawa, suka, bahkan cinta. Bukan berarti di hari itu saya akan memadu kisah mesra dengan seorang wanita terkasih, melainkan waktu yang di mana saya bersama beberapa kawan untuk lepas berbagi senyum terhadap sesama, malaikat-malaikat kecil yang rela diberai asa.

Sudah kurang lebih dua puluh empat bulan kami saling menguatkan rasa, adik-adik yang belajar berjamaah di rumah saudari Dara. Seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya, bersama beberapa kawan, saya mendirikan sebuah organisasi kecil yang mencoba peduli terhadap pendidikan di sekitaran stasiun Kuto Dangu. Dengan memberi nama Organisasi Pemuda Peduli Pendidikan, kami terus berupaya merangkul adik-adik di sana untuk ikut bergabung menimba ilmu bersama.

Bicara anak kecil, saya jadi teringat suatu peristiwa di sebuah ruko yang terletak di Jalan Argopuro pada bulan Ramadan 1430 Hijriah lalu.

Sore hari saya bersama kawan karib, Himawan, sedang asyik menikmati hidangan berbuka puasa. Di sela-sela waktu tersebut, dari kejauhan terlihat sosok anak kecil pemungut botol dan sampah plastik. Anak itu datang menghampiri perlahan untuk mengharap baik budi agar kiranya ada penderma yang mau memberikan sesuatu kepadanya.

Ya! Kemudian kami berdua dan juga orang-orang yang ada di sana lekas memberikan sedikit uang untuk anak kecil itu. Sambil memberi ribuan, saya menatap mata sang anak kemudian bertanya kepadanya tentang keluarga dan tempat tinggalnya.

Setelah banyak melakukan percakapan, lantas saya mempunyai kesimpulan bahwa ternyata, pejuang kecil tersebut merupakan anak yang cerdas. Karena meski umurnya baru delapan tahun, namun sudah duduk di bangku Sekolah Dasar kelas lima. Normalnya, untuk menduduki bangku sekolah kelas lima dibutuhkan mereka yang berumur sebelas tahun.

Dia adalah anak pertama dari lima bersaudara. Coba bayangkan, anak pertama saja umurnya baru delapan tahun. Berarti adik-adiknya umur berapa? Pastilah masih sangat muda. Ayahnya pekerja serabutan dan ibunya seorang pembantu rumah tangga.

Lantas saya pun melemparkan pertanyaan lagi kepada si pejuang kecil, “Dik, kamu tadi puasa ndak?”

Kesatria muda itu menjawab, “Puasa,Om!”

Sambil tersenyum saya berkata, “Dik, kamu tahu kan kalau berbohong itu dosa, dan tempatnya orang berdosa adalah di neraka?”

Dengan tegas ia menjawab, “Iya, tahu Om!”

Selang beberapa menit kemudian, giliran sang anak yang memberikan satu pertanyaan kepada saya.

“Om, tahu gak? Allah kan paling tidak suka sama orang yang punya tato. Kalau Allah tidak suka tapi kita tetap ngelakuinnya, berarti kita kan dosa ya? Nah tempatnya orang berdosa itu kan di neraka ya Om?”

Saya terperanjat, menatap mata sang anak. Pertanyaannya yang barusan merupakan penutup dialog antara saya dengan anak kecil yang menjalankan takdirnya sebagai pemungut botol bekas.

Di saat kita tertawa terbahak-bahak,

di lain sisi ada mereka yang menangis tersedu-sedu

Di saat kita menangis kesakitan,

di lain sisi ada mereka yang tertawa kegirangan

Seperti itulah cermin kenyataan,

selalu menawarkan warna kehidupan

Terkadang cerah, terang bahkan tidak jarang kelam

Di saat kita hidup serba berlebihan,

di lain sisi ada mereka yang kekurangan

Di saat kita hidup serba kekurangan,

di lain sisi ada mereka yang berlebihan

Seperti itulah cermin keadilan, selalu menawarkan sisi kesabaran

Terkadang kita mengeluh,

rela bahkan banyak yang menuai angkara murka

Semua itu adalah pilihan,

sebelum akhirnya kita menghadap keabadian

Wadah dari segala rasa,

sebelum akhirnya kita isi dengan surge atau neraka

Menanggapi pembahasan tato, tentang hal ini masih banyak menuai pro dan kontra. Banyak dari masyarakat luas yang beranggapan bahwa tato itu merupakan salah satu ciri fisik dari para pelaku tindak kejahatan, klasik memang. Bahkan ada pula dari golongan yang agamis berkata bahwa, Orang yang bertato dilarang keras untuk melakukan ibadah”, pokoknya orang yang memiliki rajah sudah tidak bisa masuk surga, dan percuma juga mendirikan ibadah, karena air suci tidak akan masuk lewat pori-pori.

Duhai! Siapa saja manusia, jangan duluan kerasukan, meracau tanpa menghiraukan perasaan. Jauh terhina bagi jiwa yang pandai memilukan rasa, asa. Sudah berapa banyak mereka rangkaikan sumpah serapah? Entah sesiapa saja anak manusia yang telah terlena dalam buaian doktrin sesembahan. Apa Tuhan telah merasuki jiwa-jiwa mereka? Ataukah malah justru setan yang sedang bergelayutan dalam kata dan juga tindakan? Coba sandarkan diri dalam cermin kehidupan.

Lihat, siapakah bayangan yang ada dipantulan? Sang Hyang Agung yang penuh dengan cahaya atau seonggok daging yang sudah menjelma dan bernyawa?

Sang Penyayang Sejati tidak pernah bersekutu apalagi bersama daging, Dia adalah kekuatan yang tidak tertandingkan dan tidak bisa disatukan dengan apapun. Dia adalah Dzat dengan segala kemurnian, tidak bisa dioplos seperti minuman atau dengan sebuah goyangan.

Saya tidak sepenuhnya meyakini bahwa yang ahli agama berhak mengetuk palu keputusan. Yang bisa menentukan ‘surga milik saya dan neraka kamu penghuninya.’

Jangankan untuk memutuskan, berakhir dengan kebahagiaan pun belum tentu. Bisa saja mereka mati diracun, dibunuh. Seperti kisah manusia keji yang telah membunuh 99 orang, lalu menggenapkan menjadi 100.

Singkat kisahnya, tatkala pemuda yang keji itu menghadap ke seorang ahli agama, ia menceritakan segala kejahatan yang telah dilakukannya. Karena dinyatakan akan masuk neraka, pemuda itu lalu mengirim nyawa sang ahli agama ke dalam pangkuan-Nya. Dengan berjalan gontai dan penuh dengan keputusasaan, ia langkahkan kakinya bersama angin yang berhembus dan mati di persimpangan jalan.

Ke mana akhirnya pemuda itu berlabuh? Para malaikat penjaga dua pintu saling berebut.

“Dia akan aku masukkan ke neraka?”

“Tidak! Dia akan aku kirim ke surga!”

Mungkin seperti itulah perdebatan terjadi sampai pada akhirnya Sang Kuasa mengambil pemuda tersebut ke surga.

Rupa patilasan terdiam siapa melulu bertanya

Kita hendak ke mana?

Di manakah kerajaan kita?

Rupa patilasan terdiam siapa melulu bertanya

Apalagi yang kau punya?

Berapakah mahar untuk sebuah kematian?

Rupa patilasan yang diam manusia melulu bertanya

Meredam sukma diluka cedera

Rupa patilasan yang diam manusia melulu bertanya

Hari ini siapakah gilirnya?

Maaf, saya terlalu lantang sekali berbicara, seolah-olah seperti orang yang sedang kerasukan Tuhan. Hei, tapi bagaimana kalau memang saya ini telah dirasuki?

“Tidak mungkin! Mana ada Tuhan merasuki jiwa-jiwa hambanya! Pada baris sebelumnya engkau katakan, bahwa Tuhan tidak bersekutu atau menyatu bersama seonggok daging!”

Iya, tadi kan hanya sebuah alasan saya untuk menyudutkan mereka. Dan yang barusan itu merupakan penguat kebenaran dari sebuah alasan, saya. Seperti yang dikatakan orang bijak terdahulu, 'hidup ini hanya dipenuhi dengan asumsi-asumsi belaka.' Pada kenyataannya, dunia ini hanya dipenuhi oleh bualan-bualan mereka yang pandai memfatwakan sesuatu dengan label kebenaran.

Setelah mengantungi segenggam doa dan restu yang diberikan oleh guru pembimbing keagamaan, tibalah waktu untuk saya menyambangi tempat yang dibicarakan oleh banyak orang memiliki nilai cerita terpendam.

Keesokan hari sebelum mengajar, ditemani oleh Ibnu dan Qois, saya telah bersiap raga menggiring kaki ke suatu daerah yang banyak dikenal oleh masyarakat umum, Makam Keramat Beji. Setibanya di lokasi, disambut dengan rintikan air hujan.

Saya pun berkata, “Alhamdulillah, pas sekali kita sampai hujan pun turun. Ya Rabb, turunkanlah kepada kami hujan yang bermanfaat.”

Ibnu dan Qois, “Aamiin Allahumma aamiin.”

“Sedari pagi saya belum makan, bagaimana kalau kita makan dulu sebelum masuk?” tanya saya.

“Sama nih, saya juga belum makan.” Jawab Ibnu.

“Boleh banget. Makan mie ayam kayaknya enak nih ya?” timpal Qois.

Selesai menyantap satu mangkok mie ayam, tanpa berniat mengulur waktu, kami bertiga maju ke dalam kompleks Makam Keramat Beji. Mengenai tempat ini, banyak yang bilang tentang keangkerannya.Sebab, di sekitar area itu terdapat juga tempat pemakaman umum dan banyak pohon-pohon beringin besar berdiri kokoh yang agak menakutkan.

“Maaf Pak, numpang tanya,” ucap saya kepada salah satu pengurus masjid area makam keramat. “Kalau boleh tahu, letak Makam Keramat Beji di mananya ya? Dan siapa juru kunci yang harus kami temui?”

“Oh, kalian lurus saja. Cari nama Embah Puji Sakti Aji, nanti kalian naik ke tangga sana.” Jawabnya sambil menujukkan arah tangga itu.

“Terima kasih ya, Pak.” Ucap kami serempak.

Sambil bercanda ringan, kami menaiki tangga kecil yang menuju ke tempat tujuan.

“Tempatnya seram juga ya. Pantas saja banyak orang-orang yang enggan ke sini.” Ucap Qois.

“Seram atau tidaknya kan tergantung imajinasi kita, Is. Jangan terlalu dibawa takut, kita bertiga.” Ujar Ibnu yang mencoba membangkitkan keberanian kami.

Sampai di atas, kami melihat ada sebuah kamar.

Ucap Qois, “Nah, mungkin Embah Puji Sakti Aji ada di dalam.”

“Iya, coba dipastikan terlebih dulu.” Jawab Ibnu.

“Ya sudah, biar saya yang maju.” Ucap saya.

Melangkah dengan jantung berdebaran, saya mencoba memastikan barangkali di dalam kamar itu ada Embah Puji Sakti Aji yang sedang rehat.

Tok tok tok...

“Assalamualaikum..”

Tok tok tok...

“Assalamualaikum..”

Di waktu bersamaan dengan ketukan terakhir, datanglah seorang lelaki dan bertanya, “Kalian mencari siapa,Dik?”

Saya menjawab, “Maaf,Mas. Kami mencari Embah Puji Sakti Aji. Kalau berkenan, di mana ya kami bisa menemuinya?”

“Oh, kalian mencari Embah Aji? Beliau sedang rehat di rumahnya. Coba saja kalian ke sana.” Jawabnya.

Saya berdeham. “Kalau rumahnya di mana,Mas?” tanya saya lagi.Soalnya kami baru kali pertama sowan ke sini.”

“Kamu keluar dari sini, kemudian lurus saja sampai keluar gang. Nanti ketika kalian melihat warung, tepat di depannya ada pohon rambutan, di sanalah rumah Embah Aji.” Jawabnya lagi sambil berlalu.

“Oh, terima kasih ya,Mas.” Ucap kami bertiga.

Suasana yang tenang memang agak menambah sedikit keangkeran daripada tempat itu sendiri. Tetapi karena sudah besar niat, kami tidak terlalu menghiraukan apa yang telah orang-orang katakan. Dan kami pun memiliki keyakinan, bahwasanya kita hidup di alam ini memang berdampingan dengan makhluk lain, lebih khusus makhluk yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Jadi, boleh dibilang, masing-masing alam saja. Selama kita tidak mengusik keberadaannya, otomatis mereka pun enggan untuk mengusik kita.

Berjalan masih diiringi dengan candaan Qois dan Ibnu. Ya, mereka berdua memang dikenal sosok yang periang. Kendatipun terkadang, bercandaan mereka melewati batas-batas kesopanan. Mungkin memang seperti itulah potret pemuda saat ini, tidak hanya Qois dan Ibnu. Banyak di luar sana yang memiliki selera humor yang tinggi. Saking tinggi selera humornya, sehingga agak sedikit berlebihan.

“Nah itu pohon rambutan yang tadi dimaksud. Barangkali, di rumah itulah Embah Aji tinggal.” Ucap Ibnu.

“Bisa jadi. Coba kamu pastikan, Dirga.Timpal Qois.

Lagi, sayalah yang menghampiri rumah tersebut.

“Assalamualaikum ... Assalamualaikum ...”

Alaikumussalam,jawab penunggu rumah.

“Maaf,Bu, kami mengganggu sebentar. Apa benar di sini rumah Embah Aji?” tanya saya.

Sambil tersenyum, ibu itu berkata, “Oh iya benar,Nak.Saya adalah istrinya. Kalau boleh tahu, kalian ini siapa? Mari, silakan duduk.”

Seperti itulah keramahan yang kami dapatkan dari seorang wanita tua yang tidak lain adalah istri dari Embah Aji saat tiba di rumahnya.

“Saya Dirga,Bu. Ini Qois dan Ibnu. Adapun tujuan kami ingin bertemu dengan Embah Aji prihal Makam Keramat Beji,Bu.”

“Oh, kalian mau tirakat ya? Tunggu sebentar. Ibu akan panggilkan bapak. Kalian mau minum apa?”

“Yah, ndak usah repot-repot,Bu. Mungkin kami nanti langsung menuju lokasi bersama Embah.”

“Oh, ya sudah. Tunggu sebentar ya,Nak.”

Sambil menanti sosok Embah Aji. Antara kami bertiga, mata saling bersitatap. Penuh dengan gemetar di dada. Dan kemudian, terlihat sesosok lelaki tua dengan kopiah hitam di kepala, senyum yang penuh dengan karisma.

“Ayo kita langsung ke Patilasan.”

Kaget? Ya jelas. Terperanjat bercampur senang tentunya. Tanpa basa basi, Embah Aji langsung mengajak kami ke .. Patilasan? Bukankah makam beda dengan patilasan?Dari sini hati saya sudah mulai bertanya-tanya, menurut orang-orang, bahkan guru pembimbing keagamaan bilang kalau tempat itu adalah Makam Keramat Beji.

Lalu kenapa Embah Aji menyebut dan mengajak kami ke patilasan? Hmm, pertanyaan ini baiknya akan saya lemparkan kepada Embah Aji nanti. Barangkali jawaban dari pertanyaan itu akan memuaskan hati.

Kami bertiga berjalan tepat di belakang Embah Aji. Dan kali ini, Qois maupun Ibnu tidak bercanda seperti biasa. Kami bertiga hanya mampu terdiam seraya mengikuti langkah cepatnya Embah Aji.

“Kreek.” Suara pagar tempat keramat itu yang dibuka oleh Embah Aji.

Kemudian setelah masuk, saya duduk persis di depan Embah Aji. Sedangkan Qois dan Ibnu, mereka mengapit saya di tengah.

Embah Aji berdeham,Ada keperluan apa kalian bertiga datang ke patilasan ini?” ucap Embah Aji sambil melemparkan senyuman untuk kami.

Bisa ditebak, siapa pemuda yang menimpali percakapan ini?

Iya, kali ini Ibnulah yang menimpali.

“Begini,Mbah. Kemarin malam, seusai jam pengajian bersama guru, kami sedang membahas sejarah Depok. Lantas kami diperintahkan untuk sowan ke tempat ini.” Ucap Ibnu.

“Iya Mbah, benar. Sudah dua kali pertemuan, seusai mengaji kami membahas tentang asal muasal nama kota Depok.” Tambah saya.

“Apa yang kalian dengar tentang Depok?” tanya Embah Aji.

“Oh iya, sebelumnya perkenalkan,Mbah.Saya Dirga. Ini Qois dan Ibnu.” Sambil berjabat tangan dengan Embah Aji.

Ibnu dan Qois secara bersamaan menatap saya. Saya tahu, itu merupakan sebuah kode dari mereka untuk saya menjelaskan tentang asal muasal nama Depok kepada Embah Aji.

“Jadi begini,Mbah. Sebelum memaparkan sedikit informasi dari yang saya dapat tentang Depok. Sejak awal saya sudah memendam sebuah pertanyaan yang menjadi pikiran ketika tadi ketika di rumah. Embah bilang, ‘ayo kita ke patilasan.

Adakah beda arti antara patilasan dan makam,Mbah?” tanya saya.

“Ya jelas beda. Kalau bicara makam, sudah pasti di tempat itu ada jasad manusia mulia yang bersemayam. Sedangkan patilasan, tidak.” Jawab Embah Aji.

“Nah, sejak saya kecil, tempat ini tuh disebut orang banyak adalah Makam Keramat Beji. Dan barusan,Embah bilang patilasan. Itu bagaimana,Mbah?” ucap saya.

“Iya, memang banyak dari mereka yang menyebut tempat ini adalah Makam Keramat Beji. Dan itu sebenarnya sudah sangat salah. Ketidaktahuan dan kesalahan mereka terus berkembang sehingga menguatkan opini yang ada selama ini. Jadi intinya, tempat ini adalah Patilasan Mbah Raden Wujud Beji Sumur Tujuh Beringin Kurung. Bukan Makam Keramat Beji. Bisa jadi mereka menyebut makam, karena di bagian barat terdapat Tempat Pemakaman Umum.” Jelas Embah Aji.

“Oh, jadi ini adalah Patilasan Mbah Raden Wujud Beji ya,” saya mendeham serta melanjutkan kata, “Eyang Raden Wujud Beji itu siapa, Mbah?” tanya saya yang sedikit kebingungan.

“Beliau adalah perwujudan dari berbagai rupa leluhur yang menyatu menjadi satu, ‘sekabeh jadi kahiji’. Asal siloka dari kata kampung Beji Keramat Beji, Embah Raden Wujud Beji Sumur Tujuh Beringin Kurung. Tempat ini adalah pusat dari berkumpulnya para leluhur kita. Dan di sini juga terdapat tiga dari tujuh sumur peninggalan bersejarah. Sumur yang ada merupakan sumber dari kehidupan.” Jawab Embah Aji.

Sambil mengangguk-angguk, saya berkata,“Ya ya ya, berarti selama ini apa yang orang-orang sebut merupakan sebuah kekeliruan besar ya,Mbah?”

Senyum Embah Aji deras mengalir ramah. Seraya berkata, “Benar. Bersyukurlah, kalian ini adalah sebagian dari mereka yang dipanggil oleh Eyang untuk berkunjung ke sini. Kalian merupakan orang-orang yang dipilih oleh Eyang. Tidak semua orang, yang Eyang pilih agar tergerak hati melangkahkan kaki ke sini. Banyak dari mereka yang tinggal di dekat sini tapi belum pernah berkunjung. Karena apa? Karena mereka tidak dipanggil oleh Eyang Raden Wujud Beji. Kebanyakan yang sowan ke sini adalah mereka yang tinggal sangat jauh.”

“Nah, Eyang Raden Wujud Beji ini ada hubungannya ndak, sama Ki Ageng Getas Pendawa,Mbah?” timpal Ibnu.

“Karena yang tadi Embah bilang, di sini merupakan tempat perkumpulan semua leluhur kita.”

“Berarti nama Depok memang berasal dari nama panggilan beliau dong,Mbah? Dari yang saya dapat, Ki Ageng Getas Pendawa memiliki nama lain yaitu, Raden Depok. Kalau memang begitu adanya, berarti sejarah yang kita dapat selama ini adalah karangan orang-orang dulu, ketika zaman kolonial Mbah?” tanya Ibnu lagi.

Embah Aji diam sesaat, membakar sebatang rokok. Kemudian berkata, “Memang apa yang kalian dapat?”

“Yang tersebar di masyarakat umum kan, Depok ini merupakan akronim dari bahasa Belanda yang intinya menyangkut tentang pendirian Gereja Pertama. Jadi, tempat ini adalah tempat di mana orang-orang Nasrani mengembangkan ajaran mereka. Itu terjadi saat Cornelis Chastelin membeli sebidang tanah yang kemudian tempat ini beliau dirikan gereja untuk mereka yang ingin mendalami agama Nasrani. Di lain versi yang saya temukan adalah, nama Depok sendiri bukan berasal dari akronim tersebut. Melainkan diambil dari nama Raden Depok.

Dan beliau ini merupakan salah satu tokoh penyebar agama Islam. Karena, besar kemungkinan dakwah beliau sudah ke mana-mana. Oleh sebab itu, nama Depok pun tersebar diberbagai kota di Indonesia; seperti di Solo, Semarang, Yogyakarta, bahkan sampai juga di Nusa Tenggara. Bagaimana menurut Embah?” jelas saya.

“Iya iya. Jadi begini, Embah juga tidak mau banyak bicara sebelumnya, takut salah. Depok inikan diambil dari kata padepokan yang memiliki arti tempat perkumpulan. Dan di mana titik tempat perkumpulan leluhur-leluhur itu? Di sinilah mereka berkumpul dan menyatu dalam satu wujud, yakni Eyang Raden Wujud Beji.

Kalau bahas masalah agama, Embah tidak berani panjang lebar. Seperti yang tadi Embah bilang, takutnya salah. Di Indonesia sendiri kan tidak hanya mereka yang memeluk agama Islam atau Nasrani. Masih ada Budha, Hindu, dan Konghucu. Makanya kalau ditanya prihal agama, Embah lebih memilih untuk tidak membahas lebih dalam.”

“Wow, panjang juga ya pemaparan tentang Depok. Ragam cerita pula.” Ucap Qois.

“Ga, Dirga! Coba kamu lihat jam.” Bisik Ibnu.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore, tidak terasa begitu cepat berlalu. Apa daya kami hanya sebagai manusia, yang tidak mampu menahan lajunya waktu, padahal pembahasan belum seberapa. Di hari Minggu, sayadan Ibnu mempunyai tanggung jawab, yaitu mengajar di organisasi yang telah kami bangun bersama kawan-kawan lain.

Ya, Jumat malam jadual kami mengaji. Sabtu dan Minggu adalah jadual kami untuk malaikat-malaikat kecil di sekitaran Stasiun Kuto Dangu.

“Wah, pembahasannya menarik juga ya Embah. Ingin hati berlama di sini, sambil mendengarkan lebih dalam tentang leluhur bersama Embah. Tapi, jam setengah empat nanti kami ada jam mengajar. Mau ndak mau, kami mohon undur diri.” Ucap saya.

“Oh kalian mengajar? Kalau memang ada waktu, sepulang mengajar, kalian kembali saja lagi ke sini. Jika memang seandainya ada yang ingin kalian tanyakan.” Jelas Embah Aji sambil melemparkan senyum.

“Wah, boleh juga tuh Nu, Ga.” Balas Qois.

Iya juga sih. Kami selesai mengajar jam setengah enam,Mbah. Insya Allah, bada isya kami ke sini lagi. Boleh kan,Mbah?” ucap Ibnu.

“Boleh. Kalau memang kalian mau ke sini, datang saja. Jangan direncanakan. Insya Allah,Embah selalu ada di tempat, kapan pun itu. Nanti juga sekalian kalian mandi di sumur bawah.”

“Wah!Siap,Mbah.” Jawab kami serempak.

Binar dikala senja terhampar megah dari ujung bentala

Luapan rasa menghempas sukma semoga bersilih asa

Antara kita dan mereka membilai rangkaian aksara

Asrama cinta mengobarkan api yang kian membara

Luruh runtuh gelap dalam gulita

Alhamdulillah sampai di tempat mengajar jam tiga lewat delapan belas, kurang lebih. Di lokasi sudah ada Rosyidah, Dara, dan Ningrum. Mereka ini adalah sisa dari sekian banyaknya relawan pengajar yang sudah bertumbangan.

Jelasnya mengenai OPPD seperti ini.

Pada bulan April tahun 2012, saya sedang berkunjung ke rumah Sugi. Dia merupakan seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta Jakarta. Bersamanya, saya sering berbagi cerita tentang tokoh-tokoh pergerakan Indonesia. Kebetulan, ketika itu bahasan kami tentang Pahlawan Indonesia yang sedikit terlupakan, Tan Malaka. Dari rumah, saya sudah membawa kertas fotokopian artikel tulisannya yang berjudul, ‘SI Semarang dan Onderwijs.’ Mengutip dari tulisan Tan Malaka, ‘Kemerdekaan rakjat hanjalah bisa diperoleh dengan didikan kerakjatan menghadapi kekoeasan kaoem modal jang berdiri atas didikan jang berdasarkan kemodalan.’

Dari sinilah kemudian timbul keinginan untuk mendirikan sebuah perpustakaan kecil yang di mana bertujuan menjadi ruang baca bagi anak-anak jalanan di Kota Depok. Adapun langkah pertamanya adalah mengumpulkan buku-buku bekas yang masih layak baca. Tidak sampai di sini, kami pun membuat sebuah akun di media jejaring sosial dengan nama awal, Relawan Buku.

Menyambangi tongkrongan kawan-kawan di daerah Maharaja Siliwangi, menjelaskan semua visi misi dengan sebuah gerakan, “Gemar Baca untuk Anak Jalanan”.

Alhamdulillah, kami tidak membutuhkan waktu lama untuk menggalang buku-buku bekas yang masih layak pakai. Setelah terkumpul, saya diajak Sugi ke rumah Dara, wanita muda yang merupakan seorang pengajar di sebuah sekolahan umum. Niatnya, ingin membicarakan lebih dalam tentang pendirian perpustakaan. Akan tetapi, dia menjelaskan bahwa dana yang dibutuhkan untuk membangun sebuah perpustakaan tidaklah kecil. Dari mana mendapatakan uang itu?

Akhirnya Dara berkata, “Bagaimana kalau untuk sementara waktu, kalian membantuku mengajar di sini?”

“Di sini? Di rumah ini?” timpal saya sambil keheranan.

“Iya, di rumah ini. Jadi gini loh, Dirga.Di rumah ini, aku menyediakan tempat untuk adik-adik yang ingin belajar bersama. Di sini aku mengajak adik-adik sekitaran rumah untuk datang, tanpa dikenakan biaya. Bisa dibilang seperti tempat bimbingan belajar gitu, deh. Kebetulan sekali aku kekurangan tenaga pengajar.”

“Di rumah ini kamu menggelar pendidikan gratis,Ra?”

“Iya gratis.”

“Berapa anak yang belajar di sini.”

“Alhamdulillah baru delapan anak.”

“Yang belajar di sini adik-adik yang mampu-kah atau campuran?” tanya Sugi.

“Campuran, tidak hanya mereka yang kurang mampu. Yang keadaan ekonominya menengah pun belajar di sini.” Jawab Dara.

“Setiap hari apa kamu membuka jam pengajaran?” tanya Sugi.

“Baru hari Sabtu dan Minggu.Sabtu mulai dari jam tiga sampai jam lima. Dan Minggu dari dua sampai jam lima.”

“Pengajarnya siapa saja?”

“Hanya aku. Dan aku memang butuh tenaga bantuan, karena jadual kuliah dan mengajar di sekolah terkadang suka berbenturan, Sugi.”

“Oh, ya ya. Bagaimana Dirga? Apa kamu ada minat untuk mengajar? Sambil kita mencari akal untuk mencari uang, lebih baik bantu Dara terlebih dulu.” Tanya Sugi.

Sesaat saya berdeham, “Boleh juga. Tapi ..” ucap saya.

“Tapi apa?” tanya Sugi.

“Saya kan ndak punya keahlian untuk mengajar.”

Tiba-tiba suasana menjadi hening. Lalu Dara berkata, “Sebenarnya yang menjadi masalah bukan bisa atau tidaknya kita mengajar. Yang paling penting adalah niat. Kalau kamu sudah niat, insyaAllah nanti pasti bisa. Lagi pula materi yang diajarkan adalah pelajaran Sekolah Dasar.”

“Wah, iya juga. Kita kan pernah SD, jadi ndak perlu khawatir ya?”

“Ya sudah, Minggu depan kita balik lagi deh.” Jelas Sugi

“Iya, kalau bisa ajak kawan-kawan yang lain. Lalu kita gemparkan pendidikan gratis deh di sini.” Kata Dara sambil memberikan senyuman.

Rencana yang menurut saya sangat mulia, mencoba peduli terhadap sesama tanpa ada rasa pamrih, 'Sepi ing Pamrih'. Karena memang benar, kalau bukan kita, siapa lagi yang mau peduli akan pendidikan bangsa ini.

Setelah pertemuan dengan Dara, saya dan Sugi kembali lagi menyambangi tempat tongkrongan kawan-kawan di daerah Maharaja Siliwangi. Kali ini bukan untuk membicarakan penggalangan buku, melainkan mengajak mereka untuk terjun langsung menjadi pengajar sukarela.

Alhamdulillah, kawan-kawan yang tergerak hati untuk ikut mengajar ada sekitar dua puluhan lebih. Semangat semakin mencuat, sampai pada suatu hari dibuatlah agenda rapat pengajar sekaligus membahas program kegiatan belajar mengajar oleh Rivandi.

Pertemuan besar diadakan di tempat Dara, rumah yang sekaligus menjadi tempat bernaung adik-adik untuk menimba ilmu bersama. Dari rapat ini barulah timbul nama, Organisasi Pemuda Peduli Pendidikan, atau biasa kami singkat OPPD. Program kerja dibuat, keanggotaan semakin dimantapkan. Jumlah pengajar dan anggota jadi bertambah, seingat saya ada tiga puluhan. Perjalanan organisasi ini cukup menarik, mulai dari kisah cinta antarsesama pengajar, ketidaksamaan pemikiran, bahkan sampai kisah putus cinta pun berbaur di dalam organisasi itu.

Semua berjalan lancar, namun hanya beberapa bulan saja. Seiring berjalannya waktu, banyak dari pengajar yang tidak bisa lagi mengisi jam pengajaran.

Ya, namanya juga kehidupan. Setiap manusia pasti memiliki kesibukan masing-masing. Ada yang menyatakan mundur lantaran kuliah, ada yang berkata karena terbentur masalah pekerjaan, dan ada juga yang mundur lantaran kisah cintanya sesama pengajar pupus di tengah jalan. Ya, mau memaksakan agar tetap bertahan, tiada daya. Semua itu adalah pilihan. Lagipula ini kan hanya pekerjaan sosial.

Jumlah pengajar rutin yang bertahan hingga saat ini sebanyakempat orang, ditambah limarekan yang terkadang masih banyak membantu. Ya, inilah sisa-sisa pilihan semesta. Sebahagian dari merekaada yang kuliah dan bekerja, namun masih dipilih oleh energi alam ini untuk terus berbagi. Semoga kebaikan Sang Hyang Agung selalu terlimpahkan untuk semuanya.

Selesai mengajar, kami tidak langsung pergi. Ada sebuah ritual penting yang tidak bisa dilewatkan begitu saja ketika usai kegiatan belajar dan mengajar di Organisasi PemudaPeduli Pendidikan.

Makan! Iya makan!

Di OPPD ada seorang wanita belum terlalu tua yang sangat bijaksana. Tidak lain dan tidak bukan, beliau adalah orang tua perempuan dari saudari Dara. Sebahagian dari kami, ada yang memanggilnya Tante, bahkan ada juga yang menyebutnya, Cah. Kenapa sampai bisa muncul sebutan,Cah? Hanya Qois yang tahu maksudnya. Ya, karena darinyalah nama itu ada.

Seusai isya berjamaah, saya beserta Qois dan Ibnu bersiap melanjutkan misi yang sempat tertunda. Melangkahkan kaki ke Patilasan Mbah Raden Wujud Beji. Mengenai gambaran tempat ini, seperti yang sudah saya jelaskan di awal, memang agak sedikit menakutkan. Di antara rindangnya pohon-pohon beringin besar menjulang, terdengar suara genit binatang malam.

“Benar, semakin malam semakin ngeri juga ini tempat.” Ungkap Qois

Yaelah Is, dibawa tenang saja. Jangan dibawa takut.” Jelas Ibnu

Di sepanjang langkah menuju patilasan mereka terus melakukan percakapan, tapi tidak dengan saya, yang hanya diam sambil mengamati pohon-pohon besar itu dikala malam, seraya berkata di dalam hati, Inilah tempat yang sedari saya kecil banyak yang bilang angker. Bahkan dari dulu pula, saya ndak berani menuju tempat ini. Namun sekarang, saya merasakan kenyamanan ketika berada di sini.

“Assalamualaikum,Embah.” Ucap kami serempak.

Alaikumussalam. Syukurlah kalian datang lagi. Ya sudah, sebelum masuk ke patilasan. Kita ke bawah dulu, ke sumur untuk membersihkan badan.” Jawab Embah Aji.

Benar, Embah Aji yang tidak pernah basa-basi langsung mengajak kami turun ke bawah menuju tiga sumur yang berada di area patilasan. Menuruni anak tangga selangkah demi selangkah dan masih pula diiringi sahut-sahutan binatang malam.

“Di sinilah terdapat tiga sumur yang dikeramatkan, kalian tanggalkan seluruh pakaian dan lekaslah mandi. Jangan lupa, berdoa kepada Sang Kuasa agar dilimpahkan karomah daripada leluhur-leluhur kita. Embah tunggu di sini.”

Satu persatu masuk ke dalam sumur yang sudah dibuatkan sebuah bangunan pelindung, dimulai dari saya, kemudian disusul Ibnu dan Qois. Karena memang pada dasarnya kami ini suka bercanda, sebelum menanggalkan pakaian, kami meski berleha-leha sambil bercanda ria. Padahal di luar sana, Embah Aji sedang menanti.

Sampai pada akhirnya, Ibnu melihat seperti ada sesosok makhluk yang berdiri menatap kami. Cuma tetap, dia tidak menjelaskan semuanya kepada kami. Mungkin dia berpikir, kalau seandainya diceritakan, pasti akan mengubah suasana dan membuat saya dan Qois panik tiba-tiba, mungkin saja.

Beberapa saat kemudian, tepatnya setelah selesai membasahi badan.

“Ga, kamu tadi merasakan sesuatu tidak ketika di dalam sana?” tanya Ibnu.

“Seperti ada yang memerhatikan kita ya?timpal saya.

“Berarti benar apa yang saya lihat. Tadinya saya berpikir itu hanya halusinasi saja.” Jelas Ibnu.

Di saat kami saling bertukar cerita, Qois masih asyik mengambil gambar melalui telepon genggamnya. Sementara, Embah Aji dengan sabar melihat dan menanti kami untuk kembali menuju patilasan. Sampai pada akhirnya.

“Bagaimana tadi ketika kalian mandi? Segar bukan?” tanya Embah Aji.

“Iya,Mbah, segar. Kebetulan sore ini kami memang belum mandi.” Jawab Ibnu.

“Ya sudah, sekarang siap-siap untuk tirakat ya. Sama-sama kita mengirimkan Al Fatihah untuk leluhur-leluhur yang mulia.”

Kurang lebih dua jam kami berada di dalam patilasan bersama Embah Aji. Kemudian menuju ruang tengah untuk kembali bercerita tentang Eyang Raden Wujud Beji. Banyak petuah yang Embah Aji sampaikan, dengan harapan, agar kami bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Menjadi generasi yang mencintai serta menghargai perjuangan leluhur-leluhur kita yang belakangan ini sudah agak tersingkirkan oleh perkembangan zaman. Banyak dari para pemuda yang lupa akan pengorbanan sang leluhur. Dengan masuknya budaya asing ke bumi pertiwi, membuat para leluhur luput dari pikiran kita semua. Bahkan tidak sedikit dari kita yang justru membanggakan leluhur dari bangsa lain, membanggakan sejarah dan budaya negara lain.

Semoga dengan adanya bab ini, bisa menstimulasi semangat kita untuk ikut peduli dengan sejarah, budaya leluhur, dan juga ikut andil dalam menjaga cagar budaya bangsa ini, semoga saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun