Traveloka dibully di media sosial lewat ajakan boikot dengan melakukan uninstall aplikasi tersebut. Tanya kenapa? Sebagian orang mungkin akan menjawab;Â "makanya jangan main-main dengan mayoritas" dan kubu seberang balas menjawab; "itu kan hoax"
Padahal bukan itu. Traveloka dibully di media sosial lewat ajakan boikot karena mereka kurang mendengarkan suara publik. Komunikasi, yang jadi makanan sehari-hari seorang PR Profesional bukan cuma proses berbicara ke audiens yang dituju. Tapi komunikasi yang baik selalu dimulai dengan mendengarkan secara baik pula. Dengan mendengar, komunikator bisa meracik "ramuan komunikasi" yang cocok untuk audiensnya.
Masalahnya banyak perusahaan teknologi yang sedang tumbuh jadi besar, lebih senang berbicara ketimbang mendengar. Ketidakmauan untuk mendengar ini, akhirnya berkembang menjadi krisis yang menyerang mereka.
Kasus skandal pelecehan seksual UBER misalnya, dimana pada Februari 2017 mantan karyawan UBER bernama Susan Flower curhat di blognya berjudul Reflecting On One Very, Very Strange Year At Uber,bercerita tentang pelecehan seksual yang ia terima dari bosnya selama jadi karyawan UBER.Â
Di tahun pertamanya, Susan Flower mengadukan ke HRD tentang pelecehan seksual yang ia alami, dan pihak HRD berkali-kali mengabaikannya. Ternyata ia bukan satu-satunya karyawan wanita UBER yang menerima pelecehan seksual dari atasannya, dan bukan satu-satunya yang diabaikan oleh HRD.
Tidak sampai 24 jam, tulisan ini menjadi sasaran empuk kritikan media online sepeti The New York Times, The Guardian, Mashable, Huffington Post dan CNN. Hujan kritikan dan cemoohan dari media dan publik internasional berlanjut sampai Juni 2017, membuat pemegang saham meminta CEO dan pendiri UBER - Travis Kalanick mundur dari jabatannya.
Sebelum unjuk rasa berlangsung dan berubah menjadi konsumsi media nasional, saya sudah dengar keluhan para driver Grab 2-3 minggu sebelumnya. Saya dengar langsung cerita dari 3-4 mitra driver yang berbeda, dan juga menemukan banyak curhat di media sosial dari mitra driver yang merasa dipersulit mencairkan uangnya.Â
Manajemen Grab (terlihat) memilih tidak mendengar keluhan para mitranya. Bahkan setelah unjuk rasa kedua tanggal 27 Juni melibatkan sekitar seribu orang (sumber: Kompas), manajemen baru merespons tanggal 6 Juli atau sembilan hari kemudian, setelah media terlanjur mengupas dan menayangkan berbagai cerita negatif dari para driver mitra. Pernyataan dalam konferensi pers 6 Juli dimana manajemen menyatakan driver yang dibekukan adalah mereka yang curang, tidak meredakan isu, malah seperti menyiram bensin ke api unggun. Tidak ada emphaty dari manajemen.Â
Hasilnya, saat ini banyak iklan Grab di Instagram yang mengajak publik menjadi mitra driver Grab, dibully oleh (yang diduga) mantan atau masih aktif sebagai mitra Grab, bercerita bagaimana mereka dicurangi oleh manajemen dalam hal pencairan uang.
Kembali ke Traveloka, yang dibully dengan #uninstallTraveloka di Twitter setelah ada isu bahwa pendiri Traveloka ikut walkout saat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berpidato di acara ulang tahun Kanisius di Jakarta. Bagi sebagian orang (termasuk saya) yang mengutamakan kemudahan yang ditawarkan aplikasi Traveloka, ajakan boikot ini seperti angin lewat Tapi sayangnya, tidak semua masyarakat menilai sebuah produk dari cuma dari fungsi dan kegunaannya.Â
Saya tidak punya data berapa pengguna Traveloka yang betul-betul uninstallaplikasi Traveloka setelah ajakan boikot ini, tapi hasil social listening kami dari seluruh netizen yang posting di medsos mereka dan seluruh artikel berita online atau obrolan di blog (mulai 12 Nov - sekarang) tentang #uninstallTraveloka sebagai berikut:
Jumlah postingan medsos                     4.555
Jangkauan pembicaraan                      13 juta netizen
Sentimen positif vs negatif                    1:8
 Artinya, dari 8 obrolan tentang Traveloka di medsos sejak 12 November lalu, cuma satu obrolan yang positif atau tidak mencemooh Traveloka.
Sebagai praktisi Public Relations yang baru saja pensiun sebagai jurnalis, saya menyayangkan sikap Traveloka dalam merespons (atau tepatnya tidak mau mendengar) ajakan boikot.
Pertama, karena #uninstallTraveloka sudah viral sejak tanggal 12 November selama tiga hari kedepan dan menjadi trending topicselama 2 hari. Manajemen bahkan tidak membuat pernyataan atau konferensi pers khusus menanggapi ajakan boikot ini. Pernyataan konfirmasi wawancara hanya dimuat di beberapa media yang saya yakin hasil dari permintaan konfirmasi beberapa wartawan ke humas Traveloka. Artinya, kalau media tidak meminta konfirmasi, maka kita tidak akan dapat kejelasan bahwa pendiri Traveloka sebenarnya bahkan tidak hadir di acara Kanisius.Â
Ketiga, setelah kita tahu bahwa aksi walkout adalah hoax, Traveloka memilih tidak aktif untuk meluruskannya atau melakukan kontra narasi. Bukankah kita sebagai netizen yang berlogika sehat, ingin mencegah peredaran hoax merajalela seperti pilkada lalu yang akhirnya memecah belah masyarakat?
 Andai Traveloka, Grab dan UBER mau mendengar suara, keluhan, kritikan dari stakeholders internal dan eksternalnya, lalu bertindak tepat dan cepat, saya yakin ketiga krisis ini tidak akan terjadi. Secara pribadi, saya berharap sekali perusahaan teknologi yang sudah besar ini memberi contoh, menjadi pendengar yang baik, supaya para startup yang masih kecil tertular budaya menjadi pendengar yang baik. Karena bagaimanapun merekalah masa depan ekonomi Indonesia, sehingga sudah panggilan jiwa saya untuk menjaga dan mengingatkan mereka di masa pertumbuhan, supaya tidak layu sebelum berkembang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H