Saya tidak punya data berapa pengguna Traveloka yang betul-betul uninstallaplikasi Traveloka setelah ajakan boikot ini, tapi hasil social listening kami dari seluruh netizen yang posting di medsos mereka dan seluruh artikel berita online atau obrolan di blog (mulai 12 Nov - sekarang) tentang #uninstallTraveloka sebagai berikut:
Jumlah postingan medsos                     4.555
Jangkauan pembicaraan                      13 juta netizen
Sentimen positif vs negatif                    1:8
 Artinya, dari 8 obrolan tentang Traveloka di medsos sejak 12 November lalu, cuma satu obrolan yang positif atau tidak mencemooh Traveloka.
Sebagai praktisi Public Relations yang baru saja pensiun sebagai jurnalis, saya menyayangkan sikap Traveloka dalam merespons (atau tepatnya tidak mau mendengar) ajakan boikot.
Pertama, karena #uninstallTraveloka sudah viral sejak tanggal 12 November selama tiga hari kedepan dan menjadi trending topicselama 2 hari. Manajemen bahkan tidak membuat pernyataan atau konferensi pers khusus menanggapi ajakan boikot ini. Pernyataan konfirmasi wawancara hanya dimuat di beberapa media yang saya yakin hasil dari permintaan konfirmasi beberapa wartawan ke humas Traveloka. Artinya, kalau media tidak meminta konfirmasi, maka kita tidak akan dapat kejelasan bahwa pendiri Traveloka sebenarnya bahkan tidak hadir di acara Kanisius.Â
Ketiga, setelah kita tahu bahwa aksi walkout adalah hoax, Traveloka memilih tidak aktif untuk meluruskannya atau melakukan kontra narasi. Bukankah kita sebagai netizen yang berlogika sehat, ingin mencegah peredaran hoax merajalela seperti pilkada lalu yang akhirnya memecah belah masyarakat?
 Andai Traveloka, Grab dan UBER mau mendengar suara, keluhan, kritikan dari stakeholders internal dan eksternalnya, lalu bertindak tepat dan cepat, saya yakin ketiga krisis ini tidak akan terjadi. Secara pribadi, saya berharap sekali perusahaan teknologi yang sudah besar ini memberi contoh, menjadi pendengar yang baik, supaya para startup yang masih kecil tertular budaya menjadi pendengar yang baik. Karena bagaimanapun merekalah masa depan ekonomi Indonesia, sehingga sudah panggilan jiwa saya untuk menjaga dan mengingatkan mereka di masa pertumbuhan, supaya tidak layu sebelum berkembang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H