Mohon tunggu...
Bima Marzuki
Bima Marzuki Mohon Tunggu... Journalist -

Public Relations Specialist - Ex TV Journalist (Kompas, RCTI, Berita 1, TV7)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kenapa Traveloka "Dibully"?

27 Desember 2017   16:01 Diperbarui: 27 Desember 2017   21:42 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hasil screenshot pencarian google

Saya tidak punya data berapa pengguna Traveloka yang betul-betul uninstallaplikasi Traveloka setelah ajakan boikot ini, tapi hasil social listening kami dari seluruh netizen yang posting di medsos mereka dan seluruh artikel berita online atau obrolan di blog (mulai 12 Nov - sekarang) tentang #uninstallTraveloka sebagai berikut:

Jumlah postingan medsos                                        4.555

Jangkauan pembicaraan                                           13 juta netizen

Sentimen positif vs negatif                                       1:8

 Artinya, dari 8 obrolan tentang Traveloka di medsos sejak 12 November lalu, cuma satu obrolan yang positif atau tidak mencemooh Traveloka.

Sebagai praktisi Public Relations yang baru saja pensiun sebagai jurnalis, saya menyayangkan sikap Traveloka dalam merespons (atau tepatnya tidak mau mendengar) ajakan boikot.

Pertama, karena #uninstallTraveloka sudah viral sejak tanggal 12 November selama tiga hari kedepan dan menjadi trending topicselama 2 hari. Manajemen bahkan tidak membuat pernyataan atau konferensi pers khusus menanggapi ajakan boikot ini. Pernyataan konfirmasi wawancara hanya dimuat di beberapa media yang saya yakin hasil dari permintaan konfirmasi beberapa wartawan ke humas Traveloka. Artinya, kalau media tidak meminta konfirmasi, maka kita tidak akan dapat kejelasan bahwa pendiri Traveloka sebenarnya bahkan tidak hadir di acara Kanisius. 

Sumber: www.merahputih.com
Sumber: www.merahputih.com
Kedua, pilihan Traveloka untuk tidak mendengar ajakan boikot yang menjangkau 13 juta netizen (setara 5 % penduduk Indonesia) bisa jadi bumerang. Kejadian ini bisa "ditangkap" oleh pesaing sebagai rapuhnya Traveloka dalam menghadapi krisis. Kalau ada kompetitor jahat yang aji mumpung, mereka bisa menyerang Traveloka dengan isu lain di medsos. Benar/salah isunya jadi nggak penting karena Traveloka akan membiarkan mereka diserang begitu saja.

Ketiga, setelah kita tahu bahwa aksi walkout adalah hoax, Traveloka memilih tidak aktif untuk meluruskannya atau melakukan kontra narasi. Bukankah kita sebagai netizen yang berlogika sehat, ingin mencegah peredaran hoax merajalela seperti pilkada lalu yang akhirnya memecah belah masyarakat?

 Andai Traveloka, Grab dan UBER mau mendengar suara, keluhan, kritikan dari stakeholders internal dan eksternalnya, lalu bertindak tepat dan cepat, saya yakin ketiga krisis ini tidak akan terjadi. Secara pribadi, saya berharap sekali perusahaan teknologi yang sudah besar ini memberi contoh, menjadi pendengar yang baik, supaya para startup yang masih kecil tertular budaya menjadi pendengar yang baik. Karena bagaimanapun merekalah masa depan ekonomi Indonesia, sehingga sudah panggilan jiwa saya untuk menjaga dan mengingatkan mereka di masa pertumbuhan, supaya tidak layu sebelum berkembang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun