Mengarusutamakan masalah perubahan iklim melalui pencelupan iklim mengubah masalah dalam banyak mata pelajaran atau kursus. Meskipun tidak ada kursus khusus tentang perubahan iklim, pada dasarnya masalah tersebut dapat didiskusikan di banyak subjek yang melibatkan semua fase jurnalisme. Dikutip dari Carvalho dan Burgess, harus diperhatikan 3 fase jurnalisme di mana masalah utama dapat didiskusikan (Boykoff & Timmons, 2007). Pertama, berita tahap produksi, kedua, tahap wacana publik, dan ketiga, media konsumsi dan keterlibatan pribadi dengan masalah perubahan iklim Perjuangan untuk membangun jurnalisme perubahan iklim yang kuat di Indonesia masih terus berlanjut perjalanan panjang. Lebih banyak upaya dan tindakan komprehensif sangat dibutuhkan mencari model ideal pendidikan jurnalistik. Keterampilan tentang bagaimana Wartawan menangani fenomena berdasarkan perspektif keilmuan sangat penting.
Jurnalisme harus mengikuti perkembangan sains untuk menangkap fenomena penting di dalamnya masyarakat. Pada tingkat praktis, departemen media dan komunikasi dapat melakukannya undang para ilmuwan untuk melatih siswa tentang cara kerja logika sains. Mereka bisa pelajari alasan untuk fakta atau temuan dalam sains. Ciri-ciri khusus dan keunikan cakupan perubahan iklim perlu diakui oleh mahasiswa di lembaga jurnalistik. Meskipun, kondisi ideal untuk berhasil mengarusutamakan masalah perubahan iklim, khususnya faktor yaitu kompetensi khusus untuk meliput isu perubahan iklim, dan memperkuat struktur pendidikan jurnalistik untuk mendukung pemberitaan di bidang iklim masalah perubahan benar-benar perlu dipertimbangkan. Pendidikan media dan jurnalisme Sekolah jurnalisme mempersiapkan siswa untuk menjadi jurnalis 'nyata' dan bekerja di media institusi. Tapi dari perspektif ideal, pendidikan jurnalistik tidak hanya mempersiapkan siswa untuk berkontribusi di industri media, tetapi juga mempersiapkan mereka untuk memahami tentang media dan masyarakat sehingga mereka dapat berkontribusi secara positif.
Idealnya, jurnalis berasal dari sekolah jurnalisme di universitas atau akademi. Namun, banyak juga jurnalis yang berasal dari disiplin ilmu atau sekolah lain seperti hukum, ekonomi, filsafat, bahkan biologi. Perdebatan utama dalam pendidikan jurnalistik adalah apakah jurnalis perlu berpendidikan perguruan tinggi (universitas), apakah mereka perlu gelar seni liberal, atau apakah mereka membutuhkan pendidikan profesional yang menggabungkan seni liberal dan pelatihan praktis (Folkerts, 2014). Mencoba mengaitkan isu lingkungan tersebut dengan peran pendidikan jurnalistik, kedisiplinan memegang peranan penting sebagai jembatan untuk mempersiapkan siswa. untuk memasuki praktik jurnalisme. Beberapa tujuan pendidikan telah disebutkan di bagian utama penelitian tentang pendidikan komunikasi di negara-negara Asia Tenggara. Sana Ada tiga perspektif: ideal, industri media, dan karier di industri non-media (Hwa & Ramanathan, 2000). Penelitian di Indonesia telah menunjukkan tujuan pertama itu pendidikan komunikasi di Indonesia adalah membantu siswa mempersiapkan diri karir jangka panjang di industri media (Nasution, 2000, p. 59). Dari penelitian itu Menarik untuk dicatat bahwa tujuan utama yang dikemukakan oleh para pendidik di Indonesia bukan tujuan dari perspektif yang ideal, tetapi tujuan tersebut lebih menonjolkan praktik perspektif untuk mempersiapkan pekerjaan di industri media. Hasil ini sebenarnya bertolak belakang dengan peran pendidikan yang harus menonjolkan aspek yang lebih kritis dan ideal jurnalistik dan tidak hanya dari sisi praktis. Thomas Hanitzsch (2001) dilakukan penelitian tentang pendidikan jurnalistik di Indonesia dan menunjukkan beberapa 'kekurangan' itu terkendala kurikulum pendidikan jurnalistik, mulai dari yang kurang sinergis antara pendidikan dan industri, teknologi yang tidak memadai, hingga masalah pengajaran staf dengan kualifikasi minimal. Beberapa di antaranya tampaknya menjadi masalah dihadapi pendidikan jurnalistik di Indonesia hingga saat ini.
Pada umumnya kebijakan publik, termasuk kebijakan pembangunan pertanian bersifat strategis dalam arti menimbulkan dampak besar terhadap kesejahteraan ekonomi orang banyak, kondisi sosial dan keuangan negara sehingga mengandung dimensi politik yang strategis pula. Dengan sifat yang demikian, kebijakan publik sangat rentan terhadap penyalahgunaan untuk kepentingan ekonomi-politik pejabat atau kelompok pembuat kebijakan publik tersebut. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan hubungan antara pejabat pembuat kebijakan dan analis perumus opsi kebijakan tersebut. Di satu sisi, analis kebijakan merupakan bawahan kedinasan, yang berarti harus "loyal" terhadap atasan, dan pejabat pembuat kebijakan. Di sisi lain, analis kebijakan adalah aparatur negara yang harus mendahulukan kepentingan negara atau kepentingan orang banyak daripada kepentingan sendiri ataupun kepentingan atasannya. Dalam posisi dilematis demikian, seorang analis kebijakan haruslah senantiasa mempertahankan integritasnya yaitu setia kepada misi institusi negara dan bukan kepada pribadi pejabat pimpinan institusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H