Mohon tunggu...
Bimo LP
Bimo LP Mohon Tunggu... -

Jangan kau tanya siapa aku. Tanyakanlah siapa dirimu.....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jero Kutut

28 Oktober 2013   21:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:54 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dekat dinding selokan yang penuh lumut. Terlihat disana seekor tikus hitam, besar. Bulunya tak lagi lengkap. Di beberapa bagiannya terlihat tak lagi memiliki bulu. Mungkin rontok karena usia. Atau bisa juga akibat perkelahiannya dengan tikus-tikus besar lainnya. Mulutnya rapat mengapit secuil ikan asin, yang mungkin dicurinya dari satu meja makan di sebuah rumah mewah.

Sebentar ia menghilang ke dalam selokan. Sebentar kemudian ia muncul lagi. Dengan keadaan agak basah. Tubuhnya jadi semakin dekil, kotor, menjijikan. Ikan asin di mulutnya sudah hilang. Mungkin sudah dilahap, atau sekedar disimpannya disarang sebagai timbunan persediaan. Yang jelas, kumisnya yang jarang-jarang itu kini mulai bergerak-gerak. Hidungnya juga, bergerak turun naik berkali-kali dengan cepat. Seperti mencari sinyal. Tanda-tanda kelengahan yang bisa dimanfaatkan. Ia diam tak bergerak. Sama sekali. Sebelum akhirnya melesat menjauh dari dinding selokan. Berlari cepat dengan kaki-kaki mungilnya, meninggalkan jejak-jejak hitam air selokan. Menghilang di balik pintu bambu, milik sebuah rumah yang bahkan tak memiliki cukup ruang untuk meluruskan kaki.

Tak lama, ia muncul lagi. Kali ini dengan sebongkah tempe di mulutnya. Tempe yang mungkin sengaja diawet-awet untuk makan malam sekeluarga. Tapi persetan, pikir si tikus. Lagi ia berlari dengan kaki mungilnya. Dengan bongkah tempe di mulutnya. Dan berhenti di dekat dinding selokan yang penuh lumut. Terlihat mulutnya mulai memamah tempe itu. Segigit demi segigit. Sampai habis tak terlihat lagi. Hanya dua pipinya yang melembung sembari terus mengunyah.

Air selokan yang tercampur hitamnya lumpur tiba-tiba saja beriak. Padahal sedari tadi tenang. Riaknya makin lama makin deras. Gelombangnya semakin tinggi. Dan, tsunami! Tsunami yang bukan dari laut, tapi dari selokan, dari got! Tsunami yang menenggelamkan semuanya. Merendam semua orang. Menghanyutkan apa saja. Dan warna-warna yang seharusnya warna-warni kini berubah. Berubah hitam. Dengan beberapa kotoran yang mengambang. Kotoran anjing, kotoran monyet, kotoran babi, kotoran manusia, juga kotoran tikus.

Dan diatas gedung mewah yang mencakar-cakar langit. Di lantai tujuh puluh tujuh, lantai tertinggi yang aman-aman saja dari tsunami selokan. Seekor tikus besar terlihat. Tikus itu nampak mirip betul dengan tikus besar yang tadi ada di dekat dinding selokan. Tubuhnya berguncang. Kejang-kejang. Kepalanya menggeleng-geleng keras. Cericitannya terdengar nyaring sekali sebelum seluruh tubuhnya ditutupi asap hitam. Blaaaamm!!! Dan terlihatlah sesosok tubuh berpakaian rapi, dengan jas lengkap dengan dasinya, tampak tertawa terbahak-bahak. Perut tambunnya bergetar hebat.

Kalau diperhatikan lebih jeli lagi, ada sesuatu yang menjuntai dari balik celana panjangnya yang hitam mengkilat berbahan sutra. Panjang. Tebal. Seperti tambang, tapi bukan. Menggeliat-geliat, tapi bukan ular. Ekor! Ya, ekor. Seperti ekor tikus!

**********

Jauh sebelum banjir yang menghitamkan dunia. Di Neraka lantai tiga belas. Lampion api bergelayutan menebar busuk yang nikmat, menyahaya sungai nanah yang bergolak dalam panas yang meneduhkan.

Seekor anjing budug tampak bernafsu menjulur-julurkan lidahnya. Menindih tubuh seekor kelelawar bermata tiga yang ketiga matanya terpejam sambil mendesah. Tubuh mereka rapat. Kemudian renggang. Rapat lagi. Renggang lagi. Sampai si anjing budug melolong panjang, juga si kelelawar mata tiga yang mengejang-ngejangkan sayapnya. Dan mereka rebah, lemas. Berbaring berdampingan berluluran keringat.

Kata anjing budug ini perintah Tuhan. Tapi mana ada Tuhan perintahkan untuk bercinta lain spesies. Maka menurut kelelawar mata tiga ini adalah perintah Iblis. Hasutan Iblis yang membisikan nafsu di antara mereka, hingga beberapa bulan kemudian keluarlah seekor tikus dari dalam rahim si kelelawar mata tiga. Ini kutukan, menurut kelelawar mata tiga. Tikus ini anak Iblis. Tak seharusnya seekor kelelawar melahirkan seekor tikus. Bukan, dia anak Tuhan. Justru karena tidak seharusnya itulah ia menjadi anak kesayangan Tuhan, anjing budug berpendapat begitu. Dan penduduk Neraka pun terbagi dua. Seekor tikus, dari sel sperma anjing budug yang membuahi indung telur kelelawar mata tiga, memecah belah Neraka.

Seluruh penghuni Neraka hampir saja terlibat kerusuhan massal andaikata Tuhan tidak cepat bertindak. Didatangi-Nya Neraka lantai tiga belas, ditimang-timang sebentar tikus yang terlahir dari nafsu dua spesies bejat. Lantas berfirman, bahwa tikus ini adalah makhluk haram yang tak pantas ada di neraka. Apalagi Neraka lantai tiga belas, Neraka paling mulia yang tak pernah tersebut dalam kitab-kitab manapun.

Anjing budug melolong, menangis. Kelelawar mata tiga tertawa, ketiga matanya sampai berair. Dan Tuhan melempar tikus ke sebuah tempat yang nampak lebih indah dari neraka, tapi tak lebih bermartabat. Sebuah kitab menyebutkan satu tempat itu bernama Dunia. Dimana Setan terlihat rupawan, dan Iblis tersenyum manis.

**********

Di Dunia, ratusan milyar tahun cahaya dari Neraka lantai tiga belas, seorang wanita muda mengejan dengan perutnya yang mengembung besar. Dia menarik napas panjang, lalu mengejan lagi dengan keras. Wajahnya merah. Jeritannya tertahan. Sakitnya makin jadi. Dan barulah berakhir saat Dokter menimang sesosok bayi berlumur darah dengan ari-ari yang menjuntai-juntai.

Bayi itu lahir tanpa Ayah. Bukan, bukan kisah Isa yang dilahirkan Maryam tanpa persetubuhan dengan lelaki. Wanita itu seorang sundal. Yang tanpa sengaja membiarkan seorang pria berdasi menanamkan benih dalam liang peranakannya. Ia tak mau. Tak ada perempuan yang mau. Tapi seperti itulah lelaki. Tak ada laki-laki yang benar-benar jujur dalam tiap kata-katanya. Ia hamil, dan pria berdasi itu meninggalkannya untuk kembali berleha-leha di atas kursi empuknya.

Jero Kutut, tak ada akta yang secara hukum mensahkan namanya. Tapi tak ada hal lain yang bisa lebih sahih dibandingkan nama pemberian seorang Ibu terhadap anaknya. Si bayi tumbuh jadi seorang bocah. Si bocah tumbuh jadi remaja. Dan aneh, selalu terlihat kejijikan di mata Jero Kutut remaja yang kadang hitam sepenuhnya tanpa putih setitik pun.

Di televisi tersiar keadaan didalam ruang sidang para anggota dewan yang terhormat. Terlihat, atap ruangan itu mewah berhias lampu kristal yang anggun bersinar. Kursi-kursi yang mereka duduki pun nyaman, lebih nyaman dari sofa empuk ruang VIP di rumah sakit swasta. Dan mereka, anggota-anggota dewan kehormatan itu, dengan perlente dan imej yang selalu berusaha mereka jaga, duduk dengan pongah di singgasana mereka masing-masing. Seolah tak ada yang bisa melengserkan mereka.

Jero Kutut menyaksikannya. Ia remaja cerdas yang selalu ingin mengetahui perkembangan kabar-kabar terbaru di sekitarnya. Tapi mendadak matanya berubah hitam. Tanpa bola mata, tanpa dinding pula. Hanya hitam. Tubuhnya bergetar hebat. Dan tumpahlah cairan putih kental dari mulutnya. Muntah. Banyak sekali. Seperti tak habis-habisnya. Sudah tiga kali Ibunya bolak-balik membuang muntahannya yang tak muat tertampung sebuah ember besar.

Selesai muntah, semuanya kembali normal. Matanya pulih. Tubuhnya pun tak lagi bergetar. Ia bilang, ia lihat tikus. Banyak, besar-besar, tikus raksasa. Berdiri diatas dua kaki. Mereka bisa bicara seperti manusia. Dan jika mereka bicara, dari sela mulut mereka akan terlihat sekumpulan gigi runcing yang kehitaman. Juga liur yang bergelayutan. Dan dari gigi-gigi itu, keluar belatung-belatung gemuk yang memenuhi rongga mulut mereka. Memenuhi ruang mewah tempat mereka bersarang. Sebab itulah ia tak henti muntah. Karena katanya lagi, salah seekor belatung gemuk tiba-tiba saja merayap keluar dari layar televisi. Dan baunya, busuk bukan main. Itu kasus pertama.

Kasus kedua terjadi selang bertahun-tahun kemudian. Hari itu, hari dimana Jero Kutut beranjak hampir dewasa. Sudah berhak mengantongi selembar kartu tanda kependudukan. Berbincanglah ia dengan seorang pria agak tua, kurus, lagi pendek. Bapak Kepala Desa, atawa Pak Kades. Menyenangkan berbincang dengan Pak Kades. Cerdas, berpengetahuan luas, humoris, dan layaknya orang-orang tua lain, ia bijaksana. Banyak petuah-petuah bijak yang disampaikannya pada Jero Kutut, dan anak-anak muda lainnya.

Jero Kutut pun merasakannya. Obrolannya hangat. Mengalir lancar tepat ke tujuan. Dan tepat di hilir pembicaraan mereka, sirup jeruk yang dihidangkan Bu Kades belum lama tadi tiba-tiba berubah jadi nanah. Putih, kental, beraroma bangkai. Muntah Jero Kutut nyaris tumpah, tapi ditahan. Tak mau ia mengotori rumah Pak Kades yang bijaksana.

Dialihkannya pandang ke luar jendela. Tapi tak bisa, jendela tak memberikan pemandangan yang lebih baik. Di kaca jendela menempel makhluk aneh, seukuran anjing. Rambutnya gimbal penuh kutu busuk, taringnya mencuat kemana-mana, matanya merah, lidahnya menjulur tapi buntung. Di punggung dan kepalanya beterbangan lalat-lalat hijau besar. Dan lagi-lagi, aromanya benar-benar menusuk.

Muntahnya sudah keluar. Tapi ditelannya lagi. Ia coba palingkan semua itu dengan berusaha membuka percakapan lagi dengan Pak Kades. Tapi belum sempat ia memulai, matanya kembali menghitam dan muntahnya tak lagi tertahan. Ia kabur, lari sekencang-kencangnya, menjerit-jerit sambil membiarkan muntahnya berantakan kemana-mana. Orang-orang kebingungan melihatnya. Ada apa dengan anak ini? Perkara pubertas kah?

Bukan. Ia lari karena yang tadi, dalam penglihatannya, duduk di hadapannya bukan lagi Pak Kades yang tua dan bijaksana. Bukan lagi sosok kharismatik yang cerdas dan humoris. Tapi seekor tikus raksasa yang sedang menyeringai memamerkan gigi-giginya yang berantakan. Dan dari seluruh lubang di tubuh tikus itu merayap keluar banyak hewan melata. Dari matanya keluar cacing. Dari hidung keluar kalajengking, kecoa, dan banyak serang-serangga aneh lainnya. Lalu dari telinga, mulut, dan anusnya, merayaplah keluar banyak sekali ular dengan lidah yang menjulur-julur.

Jero Kutut anak terkutuk, orang-orang bilang. Tak hanya dua tiga kali, tapi seringkali ditengah-tengah percakapannya dengan seseorang tiba-tiba ia muntah dan langsung lari ketakutan sambil menjerit-jerit. Mereka jelas tersinggung, ditatap dengan tatapan jijik saja jelas membuat tersinggung. Apalagi ditambah kabur sambil menjerit-jerit. Jeritannya selalu sama. Belum pernah beda. Tikus!

Tikus yang ada di mata Jero Kutut bukan tikus-tikus biasa. Lebih mirip monster. Mereka besar, menyeramkan, bau, aneh dan menjijikan. Tiap orang berbeda-beda. Tikus jelmaan Pak Anwar misalnya, perutnya berongga-rongga hingga usus dan isi perut lainnya tumpah terseret-seret. Tikus Bu Betty lain lagi, mata kirinya keluar, kepalanya bolong. Dan dari bolongan itu menyembur cairan hitam kental tak habis-habis. Tikus Pak Priyo lebih aneh lagi, hanya tulang yang yang dagingnya hampir habis digerogoti belatung. Jalannya menggeliat ditanah seperti ular. Dan dari jejak geliatannya itu akan telihat hangus seperti bekas terbakar.

Sejauh ini, hanya Ibunya saja yang dilihatnya masih berwujud manusia tanpa bayang-bayang tikus. Juga dirinya. Dalam sehari, puluhan kali ia berkaca. Tiap berkaca, bisa satu jam dihabiskannya untuk memaku bayangannya. Bukan untuk bersolek. Jero Kutut bukan seperti remaja kebanyakan yang menghabiskan waktu berjam-jam di depan cermin hanya untuk menata gaya rambut. Ia hanya khawatir. Khawatir memiliki tikus jelmaannya sendiri. Seperti orang-orang di luar sana.

Seorang tua yang katanya pintar, tinggal di rumah petak pinggir kali, suatu kali berceracau pada orang-orang yang datang kepadanya. Diilhami asap kembang sekian rupa yang dibakar, dan air bening yang diciprat kemana-mana. Ia bilang, seorang remaja yang hampir dewasa terlahir oleh kutukan Tuhan. Ia adalah makhluk Neraka yang tak diterima disana. Maka dibuang ke Dunia. Tak ada penjelasan ilmiah. Dan semua orang percaya.

Api dinyalakan. Obor disulut. Golok, parang, pacul, bilah kayu, disandang. Orang-orang siap dengan senjata masing-masing. Berarakan ke rumah Jero Kutut yang sedang menangis di pelukan Ibunya.

Si orang tua pintar berjalan paling depan. Mulutnya bermantra. Agar tak tertular kutukan katanya. Ekspresi orang-orang dibelakangnya tak terbantahkan. Alis bagian dalam tertarik ke bawah. Mata membelalak. Bibir atas dan bawah saling menekan. Mereka marah. Bertahun-tahun rupanya mereka hidup berdampingan dengan makhluk kutukan Tuhan. Tak dapat dibiarkan. Makhluk itu harus dibunuh. Jero Kutut harus dikembalikan ke Neraka.

Jero Kutut sesenggukan. Ibunya terus mengelus punggung dan kepala Jero Kutut. Elusan yang menenangkan. Dia tanya ke Ibu, apa betul dia makhluk kutukan Tuhan? Ibu jawab, Bukan. Dia tanya lagi, lalu dia apa? Makhluk kesayangan Tuhan, jawab Ibu. Masih ragu dengan jawaban Ibu, Jero Kutut mempertanyakan semua yang dialaminya. Mata hitam, pemandangan tikus-tikus aneh, muntah, apa mereka bukan kutukan? Ibu diam. Agak lama. Lalu bilang, bukan. Mereka anugerah. Tak ada orang yang punya. Kecuali Jero Kutut.

Jero Kutut menelusupkan kepalanya lebih dalam ke pelukan Ibunya. Di luar orang-orang sudah berteriak marah. Menyuruh Jero Kutut keluar. Menyerahkan diri untuk dikirim kembali ke Neraka. Pelukan Ibu Jero Kutut semakin erat. Tak peduli ancaman orang-orang itu yang akan membakar rumah mereka.

Pagar terkunci. Tapi mudah saja didobrak. Kini orang-orang yang marah itu sudah ada di halaman rumah. Obor semakin kencang nyalanya. Sebuah dilemparkan. Jatuh didekat pintu. Sebuah lagi dilemparkan, kali ini jatuh di atap. Api mulai membesar. Atap runtuh sedikit-sedikit. Ibu Jero Kutut menangis. Tapi Jero Kutut tidak. Ia tenang. Dekapan Ibunya memberikan ketenangan.

Diluar, kemarahan makin jadi. Obor-obor dilempar ke segala penjuru rumah. Api jelas menjalar kemana-mana. Jero Kutut melepaskan peluk Ibunya. Dia tatap wajah sang Ibu yang basah oleh air mata. Dia mau bilang ke Ibunya, tak perlu menangis. Tak ada yang perlu ditangisi. Mati memang jalan terbaik baginya untuk terbebas dari semua derita.

Jero Kutut menatap Ibunya. Dengan mata yang pelan-pelan mulai menghitam. Mulutnya menganga. Tubuhnya terlonjak, dan ia menjauh dari Ibunya. Dari tadi ia terbuai dalam pelukan seekor tikus! Tikus botak yang tak memiliki bulu. Dari pori-pori lebarnya menguntai cacing-cacing merah berlendir yang menggeliat. Tikus itu menangis. Airmatanya darah. Menyembur deras. Membasahi dinding, lantai, juga langit-langit. Jero Kutut muntah. Ia lari ke kamarnya sambil memuntahi segalanya. Kamarnya belum dilalap api. Ia kunci pintunya. Lalu melipat dengkul di pojokan kamar.

Ibunya pun kini punya jelmaan tikus. Apa semua orang pada dasarnya adalah tikus? Dan tak ada yang bisa mengingkari itu. Meski kita semua tikus, apa tak ada yang menjelma tikus baik rupa? Tikus putih mungkin. Tak semua tikus buruk, kan? Atau jangan-jangan kita semua adalah tikus dari Neraka lantai tiga belas?

Mendadak terendus aroma bangkai. Yang tak tahu dari mana asalnya. Jero Kutut bangkit. Mencari sumber bangkai yang entah kenapa amat dinikmatinya. Di depan kaca, Jero Kutut terpaku. Sebelum menjerit kencang. Ia lihat seekor tikus buruk rupa. Paling buruk dari yang lain yang pernah dilihatnya. Tikus itu kurus. Tulangnya menonjol mengecap dari balik kulit yang mengkerut-kerut. Kutil-kutil bernanah tumbuh subur di sekujur tubuhnya yang tanpa bulu, seperti Ibunya. Kepalanya tak utuh. Bolong-bolong, seperti tercabik cakar harimau. Sepasang paku terlihat menancap di lubang telinganya. Ular-ular berbisa mendesis tak keruan keluar dari mulutnya, juga anusnya.

Hanya matanya yang terlihat normal. Hitam seluruhnya, tanpa dinding putih. Dan semut-semut merah raksasa merambat keluar dari dua lobang hidungnya. Merayapi wajahnya. Menggerogoti sampai hampir habis, lalu merayap ke mata. Jero Kutut histeris. Semut-semut ganas itu merubung matanya. Dilahap pelan-pelan. Sampai tak terlihat lagi olehnya Ibunya yang tewas jadi abu. Sampai tak terlihat lagi api yang mulai merambati tubuhnya. Sampai tak terlihat lagi apa-apa. Hanya seekor anjing budug yang lidahnya melet-melet, dan kelelawar mata tiga yang terbang tak tentu arah. Terdengar suara, yang mungkin suara Tuhan,

Inilah asalmu. Neraka lantai tiga belas. Kau datang setelah terbuang.”

**********

Banjir hitam masih melanda. Semakin dalam. Hampir menenggelamkan Neraka lantai tiga belas. Seluruh penghuninya geger. Neraka kebanjiran! Dan Tuhan tak pernah cerita perihal ini.

Air selokan terus meninggi. Memadamkan api-api yang berkobar. Mengambangkan mayat-mayat penuh dosa. Iblis, Setan, dan kelelawar mata tiga beterbangan agar tak tenggelam. Sementara mereka yang tanpa sayap, berlarian mencari dataran yang lebih tinggi. Termasuk si anjing budug. Lidahnya terlihat makin panjang. Air liurnya menetes-netes. Banjir selokan semakin menghitamkan Neraka lantai tiga belas. Sampai pada akhirnya tak ada yang bisa selamat. Mereka semua tenggelam. Tenggelam. Dalam Neraka. Dalam hitam.

Kecuali satu. Seekor tikus buruk rupa. Tikus yang kurus, yang belulangnya mengecap jelas dari kulitnya yang subur oleh kutil-kutil penuh nanah. Tikus itu dahulu adalah makhluk buangan. Ia dibuang dari Neraka lantai tiga belas karena dianggap tak pantas menghuni kemuliaanya. Dan kini ia kembali bersama hitam yang memadamkan nyala Neraka lantai tiga belas.

Ia tidak tenggelam. Bukan ia bisa berenang. Ia alergi air. Kutil-kutilnya akan semakin parah bila terkena air, apalagi air selokan. Ia hanya menemukan satu jalan tersembunyi. Menuju satu tempat dimana ia bisa diterima. Lebih dari itu, ia bisa berkuasa disana. Menertawakan mereka-mereka yang ditenggelamkan hitam. Menertawakan mereka yang dulu membuangnya. Menertawakan semuanya dari singgasana pualam di sebuah tempat bernama Neraka lantai tujuh belas. Dimana para tikus berkuasa. Sementara Iblis dan Setan menanggalkan tanduk dan sayap mereka untuk berlutut di kaki para tikus. Lalu Tuhan, Ia hanya tersenyum menyaksikan tingkah anak-anak bandel itu.

Bimo Logo Pribadianto

Bekasi, Februari 2013

*Cerpen ini termaktub dalam antologi "Fragmen" terbitan UKM Penulis sebagai 13 cerpen terbaik se-Jawa-Bali dalam lomba Pameran Karya UM 2013. Versi digitalnya sudah bisa didapatkan di gramediana.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun