Mohon tunggu...
Bimo E. Ardhianto
Bimo E. Ardhianto Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa jurusan Madiun-Surabaya. Pemalu tapi (kayaknya) ndak memalukan. Suka dengan pemandangan alam, tapi tidak suka travelling. Salah satu anggota komisi fiktif penggiat kampanye masyarakat ideal.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

MOPD, Bingung, dan 'Asem'

27 Juli 2015   15:37 Diperbarui: 27 Juli 2015   15:37 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

JADI, hari ini adik-adik saya, semuanya sudah mulai masuk sekolah meninggalkan kangmas tercintanya yang masih menikmati masa liburan di rumah. Adik saya yang kedua, baru mulai masuk ke sekolah menengah atas mulai hari ini, dan itu berarti untuk beberapa hari ke depan dia akan menjalani sebuah perjuangan kelas—alias Masa Orientasi Peserta Didik. Saya menyebut perjuangan kelas karena Masa Orientasi Peserta Didik atau yang biasa disebut dengan MOS waktu saya baru lulus SMP itu setidaknya dalam kenangan masa lalu saya identik dengan usaha murid baru untuk bertahan dari tekanan seniornya—atau dalam bahasa teman saya, “pendisiplinan”. Tapi, itu kan dulu. Iya, dulu, ketika ada adik kelas yang mati dibunuh kakak kelasnya, ketika adik kelas masih dipermalukan di depan umum dengan dalih humor, dan ketika—ketika yang lain. Tapi, untungnya lambat laun hal itu mulai berubah.

Adik saya yang baru ikut MOS itu sekolahnya sama dengan sekolah saya. Salah satu sekolah yang tergolong favorit di kabupaten kami. Kalau jaman saya dulu, seingat saya, disuruh untuk membuat topi-topian dari kertas karton, kemudian plat nama dari kertas karton pula yang dibolongi dan kemudian ditali dengan tali rafia, lalu memakai tas dari bagor atau tas plastik besar yang biasa digunakan untuk menyimpan padi—walaupun ternyata ketika itu hanya saya dan satu orang teman lain yang memakainya, rupanya H-1 sebelum MOS ada pengumuman untuk menggunakan tas sekolah biasa, dan malangnya nasib kami, karena ndak punya alat komunikasi nirkabel yang canggih, tidak tahu info tersebut. Sementara MOS adik saya itu terlihat lebih berusaha untuk memperkuat nilai-nilai budaya yang dimiliki—dengan memakai baju batik sebagai seragam resmi, dan menggunakan tas jinjing kain (saya ndak tahu nama resminya apa) sebagai tas resmi para peserta MOS. Dan saya sebagai kakak yang berusaha untuk menjaga image pun menjadi driver resmi untuk mengantar dan menjemput adik saya, setidaknya untuk hari ini.

Dan sepertinya untuk hari ini, sebagaimana yang dilaporkan oleh adik saya, acara yang berlangsung masih berkutat seputar materi-materi yang disampaikan oleh orang-orang pilihan di sekolah itu tentunya. Ibuk yang berkata pada saya untuk menjemput adik saya jam 1, rupanya masih harus menunggu agak lama karena adik saya belum pulang-pulang juga. Rupanya, dia masih repot mencatat pangkat-pangkat atau jabatan-jabatan yang diemban oleh anggota OSIS yang rencananya esok hari akan dimintai tanda tangan olehnya. Sa’kelebat, saya jadi teringat ketika MOS dulu, saya dipanggil untuk berdiri sendirian di depan sendiri, karena saya waktu itu, sama sekali tidak mencari tanda tangan dari kakak kelas—dan untungnya, karena kakak-kakak OSIS yang baik hati sekali, saya tidak diapa-apakan, karena rupanya itu memang sengaja dilakukan untuk meningkatkan adrenalin, karena acara berikutnya adalah pensi, pentas seni. Fiuh, saya jadi lega. Tidak terbayang seandainya saja saya ikut jadi korban adik yunior yang tewas karena dianiaya kakak kelasnya—alamak.

Tapi, sebagai mantan peserta didik yang gagal mendapat tanda tangan kakak kelas ini, sebenarnya ya terpikir juga MOS itu harus bagaimana sih. Membaca beberapa ulasan mengenai MOS di Kompasiana, maupun halaman Facebook atau twit-twit di Twitter, setidaknya sebagian besar menyatakan untuk menghentikan tindakan bullying atau kekerasan atau tekanan baik fisik maupun psikologis dalam masa orientasi siswa. Nah, ini saya setuju betul. Bukan karena apa-apa, tapi sebagai mantan siswa sekolahan, saya ini dulunya penakut betul—selain juga pemalu, pengupil, dan pengantuk. Ejekan ataupun makian—walaupun diniati bercanda dari kakak kelas ataupun yang lainnnya—yang ditujukan kepada saya itu rasanya menghujani batin saya dengan pedang Excalibur milik Saber sampai luluh lantah. Sakitnya tuh di sini, pokoknya. Saya jadi takut pergi ke sekolah. Takut pergi dan bertemu dengan kakak kelas. Takut mengikuti organisasi. Perasaan saya tiap berangkat ke sekolah ndak menentu, adem panas. Nah, untungnya saya berhasil melewati perasaan itu karena kebetulan saya lebih takut pada bapak-ibuk saya kalau saya minta tidak sekolah, ini jauh lebih medeni sekaligus dosanya besar kalau sampai bapak-ibuk saya ngecap saya anak durhaka. Ealah, lha kok kebetulan beberapa hari yang lalu saya sempat membaca artikel dari orang lain, yang mendukung adanya bullying—namun konteksnya untuk OSPEK. Saya kepincut pada salah satu argumen bahwa dengan MOS yang keras, tak punya ampun dan disiplin banget itu, karakter yang pemberani dan kuat dari peserta didik dapat terbentuk. Begitu pula yang diujarkan oleh kakak kelas—yang sudah saya anggap sebagai kakak kandung sendiri, kalau dengan adanya penekanan fisik atau psikologis itu membuat kedekatan antar kelompok menjadi semakin kuat. Waduh, kalau begitu eman, seandainya saya yang penakut ini ikut banyak organisasi lalu kemudian ditekan dan diplonyoni, pasti saya jadi pemberani dan kuat. Tapi, apa iya begitu?

Waduh, saya jadi semakin bingung. Tapi ya ada benarnya sih, kalau tumbuh dalam lingkungan yang sulit, bisa menjadi sesuatu yang tangguh. Buktinya ketika dijajah kita berjuang betul, pemudanya berapi-api, punya semangat ganyang penjajah, punya gairah dan tujuan yang harus dicapai, yang memotivasi perjuangan yang kuat dan timbulnya karakter yang kuat—ini omongan “ngawur”, jangan dipercaya lho! Begitu pula jaman orde baru, yang saya dengar punya banyak mahasiswa yang ndobel jadi aktivis. Sementara sekarang, ketika sudah enak, apa yang terjadi dengan kita? Saya, yang bertumbuh kembang dalam lingkungan ba’da Orba ini walaupun punya niatan jadi aktivis, karena terlanjur tumbuh enak dalam kematangan ekonomi, rasa-rasanya sulit sekali untuk terjun ke lapangan itu. Yah, lha wong mbah saya saja kepingin saya untuk cepat kerja dan dapat duit.

Jadi, kembali ke MOS. Perlukah tekanan dan “pendisiplinan” itu? Di satu sisi, itu menyelamatkan orang-orang seperti saya dari ketakutan berlebihan untuk masuk sekolah. Di sisi yang lain, apakah itu nanti semakin membuat lingkungan kita terlalu enak dan membuat kepribadian yang berani dan kuat punya probabilitas lebih kecil untuk tumbuh dan berkembang? Atau kalau begitu dibuat saja MOS-nya itu dua jenis, yang satu ‘ramah’, satunya ‘keras’. Nah, yang penakut dan punya hati yang rapuh dan butuh kedekatan sosial dan emosi untuk bisa tumbuh dan berkembang ini biar ikut yang ramah, sementara yang oke-oke dan justru merasa tertantang menghadapi kakak kelas ikut yang ‘keras’. Tapi, apa ya harus begitu? Alah, saya jadi semakin pusing. Semakin bingung dengan MOS, juga dengan negara kita ini. Sedikit-sedikit harga naik, sedikit-sedikit kurs turun, sedikit-sedikit rakyat kecil mati. Lha mbok ya sedikit-sedikit pula itu para politikus nyumbang duit, jangan nyari duit saja. Nyari duit kan untuk orang yang nggak berduit, lha mereka yang sudah punya lumbung duit kenapa nyari duit terus? Alah, ini kok semakin membingungkan.

Ya sudah, sebagai penutup cerita, tadi waktu saya menjemput adik saya, kebetulan saya membawa buku Cak Nun yang berjudul Markesot Bertutur. Kebetulan lagi saya membaca bagian sosok yang membahas Dr. Soedjatmoko, lalu Affandi dan Khomeini. Saya jadi kepikiran, MOS macam apa yang bisa—sedikit-sedikit—melahirkan orang-orang seperti itu lagi ya? Nah, waktu itu kebetulan saya menatap pasangan remaja yang sedang pulang sekolah. Asem¸ mingin-mingini saja. Bukan karena boncengan bersamanya, tapi mereka kok enak betul—kayaknya—sudah tahu solusi dari permasalahan mereka. Yaitu masalah asmara, solusinya gendhakan.

Lha sementara orang-orang dunia pendidikan Indonesia itu, masalahnya banyak, solusinya mumetne.

Asem....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun