Mohon tunggu...
Bima Zafier
Bima Zafier Mohon Tunggu... Mahasiswa - Baru lulus SMA

interested in philosophy, politics, law, socio-cultural

Selanjutnya

Tutup

Politik

Liberalisasi Media Sosial: Anteseden Instabilitas Politik

23 Juli 2024   02:00 Diperbarui: 23 Juli 2024   09:54 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
[Ilustrasi oleh Robit.id]

Di media sosial, segala informasi bisa saja beredar dengan cepat. Ketika informasi yang beredar bermuatan politik, maka menuai berbagai reaksi di masyarakat. Misalnya: Gugatan terhadap aktivis yang mengkritik pemerintah sebagai ujaran kebencian yang diatur dalam Undang-Undang Teknologi Informasi Elektronik (UU ITE). Hal ini kemudian memicu kontroversi publik di media sosial. Beberapa pihak mengamininya karena ini merupakan upaya mengembalikan nama baik negara. Namun, sebagian pihak lain menilai gugatan terhadap aktivis tersebut membatasi kebebasan berpendapat dan merusak prinsip demokrasi. Sehingga masyarakat melihat hal tersebut sebagai tindakan untuk membungkam oposisi dan mempertahankan kekuasaan. Dengan demikian, stabilitas politik suatu negara menjadi terganggu akibat adanya kontroversi tersebut.

Memobilisasi massa

Media sosial sebagai wadah individu/kelompok yang mempunyai kepentingan memungkinkan untuk mengorganisir orang/kelompok lain dengan mudah. Kemudahan ini dapat memperkuat gerakan sosial dan politik, namun juga dapat menimbulkan ketegangan dan konflik bila tidak dikelola dengan baik. Sebagai contoh, kemunculan buzzer dalam politik yang fungsinya adalah menjunjung politisi yang mereka dukung dengan mem-branding sang politisi supaya terlihat baik, menaikkan elektoral dengan cara mengumpulkan/mengorganisir sekumpulan orang untuk dijadikan relawan dengan bayaran tertentu.

Echo chambers dan Polarisasi

Algoritma media sosial sering kali memprioritaskan konten berdasarkan preferensi pengguna, sehingga memperkuat bias informasi dan polarisasi politik. Politisi kemudian dapat menggunakan hal ini untuk menyebarkan informasi yang beragam dan mengubah opini publik, seperti kampanye hitam atau menyerang kandidat lain. Hal ini biasa dilakukan untuk menurunkan elektoral kandidat lain, sementara media sosial terus menampilkan hal-hal serupa kepada pengguna untuk memperkuat polarisasi. Dampaknya, stabilitas politik bisa terganggu dan perpecahan politik bisa menjadi lebih buruk. Jurgen Hbermas dalam Teori Ruang Publik mengembangkan konsep ruang publik sebagai tempat bagi warga negara untuk secara bebas dan bijaksana menangani masalah-masalah publik. Namun, Hbermas mengeluarkan peringatan tentang kemungkinan distorsi, seperti penyebaran propaganda dan hoax, yang dapat menghalangi diskusi yang masuk akal.

Dengan adanya media sosial, memungkinkan terjadinya instabilitas politik. Maka dari itu, dalam menghadapi liberalisasi media sosial, penting bagi pemerintah untuk membuat undang-undang yang masuk akal yang melindungi kebebasan berpendapat sekaligus mendikte kewajiban situs dan pengguna media sosial, agar terwujudnya hal yang sehat, lingkungan digital yang adil dan tidak memihak dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip fundamental demokrasi. Penting juga bagi kita untuk memilah setiap informasi yang beredar di media sosial, dengan tidak menyebarkan hoaks yang menggiring opini sehingga ruang diskusi yang tercipta tetap sehat dan berimbang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun