Mohon tunggu...
Bima Zafier
Bima Zafier Mohon Tunggu... Mahasiswa - Baru lulus SMA

interested in philosophy, politics, law, socio-cultural

Selanjutnya

Tutup

Politik

Liberalisasi Media Sosial: Anteseden Instabilitas Politik

23 Juli 2024   02:00 Diperbarui: 23 Juli 2024   09:54 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
[Ilustrasi oleh Robit.id]

Liberalisme merupakan ideologi atau aliran pemikiran yang mengedepankan persamaan hak dan kebebasan individu. Liberalisasi, sebaliknya, adalah proses atau aktivitas penerapan prinsip-prinsip liberalisme di bidang tertentu. Oleh karena itu, istilah "liberalisasi media sosial" dapat digunakan untuk menggambarkan kemampuan masyarakat yang tidak terbatas dalam berkomunikasi, mengakses informasi, dan lain-lain. Dalam karyanya "On Liberty," John Stuart Mill mengeksplorasi nilai kebebasan berpendapat sebagai sarana untuk menemukan kebenaran. Ia berargumentasi bahwa kemampuan untuk mengekspresikan pendapat secara bebas sangatlah penting karena memungkinkan orang untuk melihat kesalahannya dan merevisi pendapatnya.

Anteseden Instabilitas Politik adalah sesuatu yang menjadi pendahulu atau pemicu terjadinya ketidakstabilan dalam politik, yang dalam hal ini disebabkan oleh liberalisasi pada media sosial.

Berdasarkan data yang dilansir We Are Social, secara keseluruhan terdapat 139 juta pengguna media sosial di Indonesia pada Januari 2024. Jumlah tersebut setara dengan 49,9% dari total penduduk nasional.

Fenomena tersebut telah mengubah gaya hidup masyarakat dalam menjalankan berbagai aktivitas kehidupan, dan memberikan dampak yang signifikan, salah satunya terhadap stabilitas politik.

Bagaimana liberalisasi media sosial dapat memicu instabilitas politik?

Peningkatan Partisipasi Politik

Liberalisasi media sosial telah meningkatkan partisipasi politik. Media sosial adalah ruang yang menampung diskusi politik, berbagi pandangan, dan mengorganisir kampanye. Sebagai contoh, kontestan pemilu menggunakan sosial media untuk berkampanye, gimmick politik dan memengaruhi pemilih lainnya. Jika tidak ditangani dengan baik, peningkatan keterlibatan politik ini berpotensi memperburuk ketegangan dan bukannya mendorong demokrasi. John Dewey, seorang filsuf dan pendidik Amerika, menyoroti nilai pendidikan dan partisipasi warga negara dalam demokrasi. Demokrasi, dalam pandangan Dewey, bukan hanya sekedar sistem pemerintahan tetapi juga cara hidup yang berdasarkan pada wacana terbuka dan keterlibatan warga. Media sosial dapat menjadi instrumen yang berguna dalam situasi ini untuk mempromosikan pendidikan politik dan partisipasi warga negara. Namun Dewey juga mengingatkan bahwa pendidikan dan literasi kritis diperlukan agar partisipasi dapat memberikan dampak positif. Tanpa pendidikan politik yang tepat, meningkatkan partisipasi melalui media sosial dapat menjadi kontraproduktif.

Transparansi dan Akuntabilitas

Melalui media sosial, masyarakat dapat memantau dan mengkritik kinerja pejabat pemerintah, pejabat publik juga didorong untuk bertindak lebih transparan karena pengawasan publik yang intensif.

Penyebaran informasi yang mudah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun