Saya sedikit bercerita tentang pengalaman yang mungkin pertama kali saya alami. Memang bukan pertama kali saya mengunjungi tempat yang terbilang hits di kalangan penikmat sunrise dan sunset ini. Namun baru pertama kali ini saya mengunjungi tempat ini dengan teman yang berjumlah 30 orang.
Pada awal keberangkatan memang sudah terlihat wajah berbinar dan semeringai semangat karena mungkin bagi mereka ini adalah pertama kalinya mengunjungi tempat berada di ketinggian lebih dari 2000 mdl. Puncak B29 memang berada di ketinggian 2900 meter diatas permukaan laut, bukan lah ketinggian bisa dikatakan rendah kan? Berangkatlah mobil truk yang mengangkut teman-teman semua, tapi saya memilih membawa motor untuk persiapan apabila ada sesuatu di atas sana.
Singkat saja, saya sampai di tempat pemberhentian sebelum kembali melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Dan saya teruskan perjalanan dengan mengendarai motor disertai membawa peralatan untuk mendirikan tenda. Dinginnya suhu sudah mencoba menusuk tulang, namun bagi saya bukanlah hal yang baru karena memang sudah beberapa kali saya sempat mengunjungi Puncak B29. Dalam perjalanan sudah terasa ada yang aneh dengan motor yang saya kendarai, tapi tetap mencoba acuh dengan itu. Dan kejadian yang mungkin sudah saya perkirakan memang terjadi. Motor macet! Perkiraan kampas kopling motor habis tidak salah, namun apa dikata kalau sudah terjadi.
Mencoba membantu tapi apa yang bisa saya lakukan. Berbicara saja kadang merasa malu. Dan mencari sleeping bag untuknya mungkin akan membantu untuk mengurangi dingin. Tak mengerti apakah itu berhasil atau tidak, yang penting sudah saya coba untuk membatu salah satu bidadari ini.
Hari semakin beranjak, suhu semakin menurun, dan angin semakin cepat berhembus. 3 tenda sudah berdiri, serta salah satu pondok dijadikan tempat untuk beristirahat. Karena ada beberapa bangunan diantaranya entah homestay atau apapun itu dan warung. Teman-teman menyebar mencari tempat terbaiknya untuk melindungi diri dari sengatan suhu yang mungkin sudah menusuk tulang.
Malam pun tiba dan saatnya untuk menyiapkan makan malam. Karena membawa persediaan ayam untuk dibakar, jadi tak sulit untuk menyiapkan hidangan malam. Ferry yang merupakan ketua pelaksana mencoba menghidupkan bara api, dan saya mencoba untuk membersihkan ayam yang akan dimasak. Saya lihat sang bidadari yang tadinya mengalami hipotermia sekarang sudah terlihat lebih baik dan sudah bercengkerama dengan bidadari-bidadari yang lain, tapi dia terlihat sedikit berbeda.
 Saya sudahi memandangnya dan fokus untuk membersihkan ayam akan dibakar. Setelah ayam bersih dan bara sudah siap, dibakarlah potongan ayam satu per satu hingga matang dan sampai semua siap untuk makan. Ketika makan pun teman-teman terlihat semangat tapi dia tampaknya tidak. Mungkin karena masakan yang dihidangkan kurang selera dengannya.
Makan malam pun telah selesai. Dengan perlahan teman-teman kembali ke tempat peristirahatan. Tapi kembali hadir moment ketika memang saya lah salah satu yang memegang lampu disuruh mengantar teman-teman. Dia meminta untuk diantarkan mencuci tangan dan mengambil air wudhu. Terasa berbeda ketika berjalan dengannya, tapi tak saya hiraukan karena memang cuaca dingin menyebabkan ini perbedaan hingga kembali saya antar ke tempat peristirahatan.
 Setelah semua beres dan suasana menjadi sepi, tampaknya teman-teman beristirahat untuk submit sunrise esok hari. Tapi Puncak B29 bukanlah tempat yang seperti bisa dibayangkan. Kabut dan badai tetap terjadi dan semakin menjadi-jadi saja. Saya yang hanya mengenakan celana pendek dan kaos beserta jaket sudah merasakan beberapa jarum terpaan kabut dan angin Puncak B29 mencoba menusuk tulang. Memang terasa tapi saya mencoba bertahan. Mencoba untuk terlelap namun begitu susahnya karena dingin mungkin lebih kuat daripada capek dan kantuk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H