Mohon tunggu...
Bima Priyambodo
Bima Priyambodo Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Artikel Utama

Si Imut Makhluk Sosial

29 Maret 2015   17:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:50 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sangat sering kita dengar khususnya dalam pelajaran ilmu pengetahuan sosial ketika kita duduk di bangku SMP maupun SMA, “manusia adalah makhluk sosial”. Kata-kata tersebut seolah tak bisa dipisahkan dari manusia yang hakikatnya adalah makhluk sosial, bagaikan paku besi yang sangat tajam dan tertancap pada diri manusia. Meskipun terkadang ada beberapa orang yang hidup menyendiri, ia tetap akan membutuhkan orang lain dalam kehidupannya seperti ayah, ibu dan saudara-saudaranya. Yang menjadi pertanyaan, sejak kapankah manusia menjadi makhluk sosial?. Ada pendapat yang menyatakan bahwa sejak lahir, manusia sudah menjadi makhluk sosial. Benarkah demikian?

Tanpa disadari, manusia telah menjadi makhluk sosial sejak ia berada di usia dini. Walaupun individu yang paling penting bagi dunia anak kecil adalah orang dewasa yang merawat mereka, hubungan dengan saudara, sepupu, dan teman bermain menjadi penting di masa anak usia dini (Papalia & Feldman, 2014). Anak usia dini sudah dapat berhubungan dengan anak seusianya, meskipun hanya sekedar bermain dan bertengkar.

Pada awalnya, seorang anak hanya berkomunikasi dengan orang disekitarnya seperti ayah dan ibunya. Kemudian, seorang anak yang memiliki saudara akan lebih senang jika bertemu dengan saudaranya karena mereka memiliki banyak sekali kesamaan. Dalam hal ini, jenis kelamin juga mempengaruhi tingkat hubungan anak usia dini. Persaudaraan berjenis kelamin sama, khususnya perempuan lebih dekat dan bermain bersama lebih damai daripada pasangan anak laki-laki dan perempuan (Kier & Lewis, 1998). Setelah berhubungan dengan orang disekitar dan saudaranya, seorang anak akan mulai mendapatkan teman. Disinilah masa yang paling penting dalam perkembangan sosial anak. Tidak dapat dihindari bahwa seorang anak akan mendapat teman  dengan kepribadian yang berbeda, adat yang berbeda bahkan moral yang berbeda karena perbedaan agama orang tua mereka sehingga dari sinilah seorang anak mulai belajar berteman dengan baik, memahami orang lain, berbagi dengan orang lain dan menyelesaikan masalah.

Pada anak usia dini, sering pula terjadi konflik antar teman sebayanya. Karena pada masa ini, seorang anak belum begitu mampu mengontrol emosi atau perasaan dengan baik. Anak usia dini hanya mampu menunjukkan beberapa perasaan saja seperti rasa bersalah, malu dan bangga. Mereka belum mampu memahami perasaan orang lain dan mengontrol perasaannya. Tetapi, ada juga beberapa anak pada usia dini yang sudah mampu mengatur emosinya dan mengatasi rasa marahnya. Anak seperti ini mampu meminimalisir konflik yang terjadi antar teman sebayanya, anak seperti inilah yang disukai teman sebayanya.

Ternyata benar bahwa “manusia terlahir sebagai makhluk sosial”, pernyataan ini sudah banyak dibuktikan oleh para ahli dalam bidang sosial maupun psikologi. Tak heran jika salah satu sila dari pancasila, dasar Negara Indonesia berisi tentang kehidupan sosial “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun