Moh Amir Sutaarga, nama yang mungkin terdengar asing bagi banyak orang. Pria kelahiran Rangkasbitung, 5 Maret 1928, merupakan orang yang sangat berjasa bagi dunia permuseuman di Indonesia. Ia dikenal juga sebagai Bapak Meseum Indonesia
Hanya segelintir orang saja mungkin yang tahu nama Mohammad Amir Sutaarga atau MAS. Barangkali namanya sangat jarang sekali muncul dalam lembar sejarah Indonesia. Apalagi dalam buku-buku teks sejarah di sekolah. Saya pun mengenal sosok MAS dari karya-karyanya yang dijadikan buku “babon” ketika saya mengikuti mata kuliah Museologi dulu.
MAS adalah sosok yang sangat berkontribusi dalam sejarah perkembangan lembaga museum di Indonesia. Beliau menjadi peletak dasar-dasar ilmu permuseuman, seperti merintis undang-undang permuseuman, meletakkan dasar pemajuan museum, membina ketenagaan permuseuman, mengembangkan jumlah museum, dan membentuk Badan Musyawarah Museum. Beliau pula lah yang menginisasi pengelolaan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen sekarang Museum Nasional kepada Pemerintah Indonesia pada 1962.
Sebagai seorang pribumi yang lahir di zaman Hindia Belanda, MAS sering terlibat aktivitas perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia terlibat aktif dalam kemiliteran. MAS bergabung dengan Divisi Siliwangi dengan pangkat Letnan Dua pada 1947. Ia bergeriliya bersama pejuang-pejuang lainnya. Sampai pada 1948, MAS berhasil ditawan Belanda selama beberapa bulan di Yogyakarta. Setelah bebas ia masuk Taman Siswa di Jakarta dan lulus pada 1950.
Menurut Nunus Supardi, pada 1950-1952 MAS kuliah di Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia. Pada 1953 ia mengambil kursus B-1 Jurusan Sejarah.
MAS ke Jakarta karena ajakan van der Hoop, seorang ilmuwan di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW). Pada 1952 van der Hoop mengangkat MAS menjadi redaktur penerbitan. Beberapa tulisan MAS yang masih distensil dibukukan dalam judul Capita Selecta Museografi. Lewat buletin stensilan itulah MAS mulai menuangkan gagasan tentang museum dan pada 1955 MAS mendapat beasiswa dari BGKW untuk belajar museum di Belanda.
Dari April 1955 sampai Juni 1956 MAS mempelajari hakikat museum di Eropa Barat. Ia sempat menjadi voluntir pada Rijksmuseum voor Volkenkunde, Leiden. Selepas dari Eropa, pada 1958 MAS memasuki Jurusan Antropologi UI dan lulus pada 1963. Sambil menuntut ilmu, dia aktif di Museum Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI) BGKW. Dia bahu-membahu memperkenalkan dunia permuseuman dan kepurbakalaan dengan R. Soekmono, arkeolog pertama bangsa Indonesia, yang waktu itu menjabat Kepala Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional.
Selain menjadi pejabat pemerintahan, MAS juga pernah tercatat sebagai Dosen pengajar di Universitas Indonesia (UI) pada 1983. Ia ditugaskan UI untuk menyusun program Museologi di jurusan Arkeologi. Sampai pada 1993 MAS resmi pensiun dari statusnya sebagai pengajar. Meskipun demikian MAS masih mendedikasikan ilmunya bagi perkembangan permuseuman. Ia sering memberikan materi-materi diskusi dan masih sesekali aktif menulis tentang permuseuman.
Sepak terjang Amir Sutaarga dalam memajukan dunia permuseuman Indonesia menarik perhatian Komunitas Jelajah. Untuk menghargai jasanya, dalam gelaran Museum Awards pada 2012, Amir Sutaarga diberi anugerah Life Time Achievement di bidang permuseuman. Sekitar setahun setelah menerima penghargaan, Amir Sutaarga meninggal pada 1 Juni 2013, dalam usia 85 tahun. Berkat sumbangsihnya yang luar biasa bagi kebudayaan dan permuseuman Indonesia, Amir Sutaarga pun dijuluki sebagai Bapak Permuseuman Indonesia.