Lama kelamaan makin ramai orang yang berteduh di emperan toko dan hanya menyisakan sedikit tempat dimana aku duduk menunggu hujan.
Sesekali di pikiranku muncul umpatan-umpatan kepada hujan yang tak kunjung berhenti. Tapi sesaat setelah itu, aku merasa bersalah. Masa iya aku mengumpat hujan, apalagi penciptannya.
Yang jelas aku tak bisa melawan kehendak si pembuat hujan, karena aku terikat sebuah hukum yang ada di dunia. Jadi terserah si pembuat hujan, akan menurunkan hujan dimanapun Dia suka.
Aku jadi teringat peristiwa beberapa hari lalu, aku begitu getol mengumpat salah seorang pendukung partai politik yang mengancam tidak akan menyembah Tuhan. Â Buset!. Saat itu aku dan beberapa temankku mengatai dia goblok!
Sekarang aku malah mengumpat kepada hujan yang membawa berkah bahkan ada niatan mengumpat  kepada pencipta hujan. Berarti aku juga goblok, terlebih aku juga tidak membawa jas hujan!
Sebagai manusia aku seringkali mudah melemparkan kata goblok, anjing, tolol dan umpatan lain kepada manusia. Lupa kalau diri sendiri juga manusia yang seringkali salah.
***
Seorang wanita dengan sepeda motornya datang kearah ku. Ia ikut berteduh di emperan tokotempatku berteduh. Kebetulan emperan toko yang kupakai berteduh cukup luas dan terang.
Ia menanggalkan jas hujannya, ia mengenakan kaos panjang pink dengan celana kulit hitam. Sayup-sayup tercium aroma teh hijau.
Aromanya lama kelamaan menguat, menghamtam indera pembau dan memunculkan sosok pelayan kafe di benakku.
Benar saja ia pelayan kafe yang aku jumpai malam itu. Tiba-tiba badanku entah mengapa terasa panas, nafasku sedikit berat. Nampak gadis beraroma teh hijau tadi menyilangkan tangannya, ia mungkin merasa kedinginan.