Aku takut kematian tiba-tiba datang kepdaku, apalagi aku mati nista. Kata orang-orang mati nista membuat ruh manusia menjadi gentayangan. Demi apapun aku tak mau mati dalam keadaan seperti itu!
***
Tak lama, seorang pramusaji kafe mendatangiku. Ia seorang wanita beumur dua puluhan tahun, rambutnya hitam dengan kuncir ekor kuda dan poni yang indah, wajah bulat dan mata yang tajam. Ia tersenyum kecil padaku.
“Satu gelas kopi gayo dan satu piring kue coklat? Atas nama Badranaya?.”
“ Benar mbak.”
Ketika ia semakin dekat denganku aku mencium aroma teh hijau dari dia. Aku sering benci dengan orang yang memakai parfum aroma teh hijau, akan tetapi malam ini entah kenapa aku suka sekali dengan aroma teh hijau.
Mata kami berpandangan dalam beberapa detik, waktu terasa berhenti, aku merasa 1 jam mematung memandangi dirinya. Setelah ia berlalu waktu pun kembali normal.
***
Hujan masih saja mengguyur Distrik Deluxe. Dan aku masih bertahan di emperan toko batik di Jalan Abimanyu. Ditengah hujan yang masih saja deras, kulihat hiruk pikuk keramaian Jalan Abimanyu, maklum saja ini belum tengah malam.
Disamping kiri ku nampak ada pasangan muda yang juga sedang berteduh sementara, kananku sebaliknya orang tua yang dari tadi duduk sendirian dengan rokok kreteknya.
Bukannya mereda, justru hujan malam itu di ditrik Deluxe malah semakin deras. Aku yang telah lama menunggu merasa cukup kesal. Ingin rasanya segera pulang dan merebahkan tubuh diatas ranjang, mengusir segala kelelahan ku karena bekerja sampai petang.