Mohon tunggu...
Bima Saputra
Bima Saputra Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Guru Ilmu Pengetahuan Sosial SMP Negeri 22 Bandar Lampung.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengintip Politik Balas Budi Belanda

5 Agustus 2023   08:35 Diperbarui: 5 Agustus 2023   09:38 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masifnya desakan untuk merubah kebijakan yang lebih manusiawi pada 1890-1900, membuat pemerintah Belanda memberlakukan kebijakan baru yaitu Politik Balas Budi, atau politik etis. Kebijakan ini sebetulnya berawal dari tulisan --nya van Deventer yang berjudul Een eereschuld, "A Debt of Honor/Suatu Hutang Kehormatan" di majalah de Gids (Nomor 63, tahun 1889). 

Dalam artikelnya itu, Deventer menuliskan bahwa selama ini Belanda sangat berhutang kepada Hindia atas semua kekayaan sumber daya yang telah didapatkan. 

Untuk itu, kesejaterahan rakyat Hindia merupakan prioritas utama yang tidak boleh dikesampingkan oleh pemerintah Belanda. Dan Belanda berkewajiban untuk membayar hutang itu melalui politik etis dengan trias atau triloginya, yaitu: (1) Irigasi, membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian, (2) emigrasi, menganjurkan rakyat pribumi, terutama penduduk Jawa dan Madura untuk melakukan transmigrasi ke daerah garapan yang telah disediakan pemerintah, (3) edukasi, mendirikan sekolah-sekolah untuk memperluas jangkauan pendidikan dan pengajaran di Hindia. Tulisan Deventer ini ternyata langsung mendapat respon dari pemerintah Belanda. 

Pemerintah Belanda menanggapi pandangan van Deventer tersebut dengan menyampaikan gagasan pembaharuan sebagaimana tercermin dalam pidato Ratu Wilhelmina yang berjudul Ethische Richting (Haluan Etis). 

Pidato ini dikemukakan oleh Ratu Wilhelmina pada 1901, dimana antara lain ditegaskan usaha-usaha untuk menanggulangi keadaan buruk perekonomian rakyat, yakni: (1) perlu diselidikinya kemunduran kesejaterahan rakyat Indonesia; (2) untuk memajukan usaha-usaha pribumi, perlu dihidupkan kembali usaha-usaha baik itu agraris maupun industri; (3) memberi pinjaman tak berbunga kepada rakyat Indonesia sebesar f 30 juta dengan jangka pengembalian 5 sampai 6 tahun; (4) menerima usulan-usulan sebagaimana dikemukakan oleh van Deventer untuk dapat memperbaiki tingkat kehidupan rakyat Hindia. 

Namun kenyataannya Pemerintah Hindia Belanda lebih memandang politik etis sebagai politik paternalistis, yakni bahwa pemerintah berkewajiban mengurus kepentingan anak negerinya tanpa mengikutsertakan anak negerinya tersebut. 

Tatkala dirumuskan, memang para elit politik liberal Belanda beranggapan bahwa pemberlakuan kebijakan politik etis itu merupakan kewajiban bangsa maju (kulit putih/Eropa) terhadap bangsa yang masih terbelakang (kulit bewarna/Indonesia). 

Dengan kata lain, diskriminasi masih tetap menjadi patron kebijakan politik etis. Bahkan secara tidak langsung muncul istilah, the white man's burden (beban orang-orang putih). 

Anggapan yang diskriminatif pada saat itu justru menimbulkan kecurigaan baru. Maka tak heran ketika bangsa Indonesia nantinya menanggap politik etis hanyalah sebagai dalih kolonial Belanda untuk melegitimasi penjajahan yang mereka lakukan. Kecurigaan itupun terbukti. Praktik perpolitikan bagi pribumi lebih digunakan untuk kepentingan efisiensi dan administrasi Kolonial daripada untuk pendidikan politik. Pun pertemuan dan musyawarah-musyawarah yang diselenggarakan di desa-desa, dimana usul-usul dan keputusan diambil berdasarkan permufakatan. Namun prosedur demikian nyatanya hanya sebagai formalitas saja. Usul-usul yang paling menonjol justru datang dari para Controleur dan pejabat Kolonial.

Sampai terbentuknya Volkstraad (Dewan Rakyat) pada 1916 praktik politik di tingkat desa (Dewan Lokal) nampaknya tidak memiliki vitalitas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun