Menurut Nontji (2002), bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah yang dimana terjadi pertemuan antara daratan dan laut, meliputi pasang surut, angin laut, intrusi garam, sedimentasi dan aliran air tawar serta daerah yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia.
Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 27 tahun 2007, dikatakan bahawa wilayah pesisir merupakan daerah peralihan atau pertemuan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat maupun laut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ekosistem pesisir merupakan pertemuan antara dua ekosistem yakni darat dan laut dimana ekosistem ini memiliki keanekaragaaman tersendiri dan kekayaan biota-biota di dalamnya.
Menurut Dahuri (2004) bahwa dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih ekosistem mulai dari yang bersifat alami ataupun buatan. Adapun ekosistem alami yang biasanya terdapat di wilayah pesisir antara lain adalah terumbu karang , hutan mangrove, padang lamun , pantai berpasir, estuaria, laguna serta delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, kawasan agroindustri serta kawasan pemukiman.
Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah ekosistem pesisir yang kompleks dimana didalamnya terdapat ekositem hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun serta estuaria.
Menurut hasil penelitian kerjasama UNEP dan LPP-Mangrove menyatakan bahwa kondisi hutan mangrove di Teluk Jakarta telah rusak berat dan sebagian telah berubah fungsi menjadi permukiman serta budidaya dan menurut Parawansa (2007) berdasarkan hasil uji vegetasi pada hutan mangrove di Teluk Jakarta bahwa hutan mangrove mengalami degradasi, kemudian kerusakan tersebut diakibat kan oleh perubahan fungsi lahan menjadi tambak, pemukiman, dan industri.
Apabila konversi hutan mangrove tidak dihentikan dan tidak diimbangi dengan kegiatan rehabilitasi, maka di khawatirkan akan mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir bahkan kepunahan biota laut yang akan merugikan lingkungan serta masyarakat pesisir Teluk Jakarta. Hal tersebut terjadi dikarenakan karena adanya kegiatan reklamasi untuk kepentingan khusus.
Proyek reklamasi Teluk Jakarta muncul dalam Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta Tahun 1985-2005 dimana perlu dilakukannya reklamasi dalam skala kecil pada Penjaringan, Pademangan, Ancol, Pluit (pantai mutiara) untuk pemenuhan akan kebutuhan lahan bagi penduduk Jakarta yang semakin bertambah setiap tahunnya.
Pada awalnya reklamasi Teluk Jakarta dilakukan dengan tujuan mengatasi keterbatasan lahan Jakarta untuk menampung jumlah penduduk yang semakin bertambah setiap tahunnya. Namun seiring berjalannya proyek reklamasi, tujuan reklamasi pun berubah menjadi usaha untuk mengatasi banjir di Kota Jakarta (Puspasari, 2017).
Padahal ekosistem pesisir khususnya ekosistem mangrove pada Teluk Jakarta sendiri memiliki fungsi alami yakni sebagai daerah pemijahan ikan, kemudian pada tahun 2014 kondisi kualitas air pada perairan Teluk Jakarta sudah melampaui nilai baku mutu air untuk kehidupan biota laut yang dimana hal tersebut diakibatkan oleh adanya proyek reklamasi Teluk Jakarta.
Adapun berdasarkan nilai-nilai variabel kimia (salinitas), fisika (kecerahan) dan biologi (fitoplankton dan makrozoobenthos) menunjukkan bahwa kondisi lingkungan perairan Teluk Jakarta dalam keadaan tidak stabil dan tercemar (Puspasari, 2017).
Tabel 1 Perbandingan Kondisi Fisik dan Biologi Teluk Jakarta Tahun 2014 dan 2016
Berdasarkan Tabel kondisi di atas dapat disimpulkan bahwa kualitas air Teluk Jakarta, pada 2014 sudah melampaui nilai baku mutu air laut untuk kehidupan biota laut menurut Permen Lingkungan Hidup No 51/2004 khususnya pada faktor salinitas dan semakin turun pada tahun 2016.
Kemudian pada faktor kecerahan sendiri pada tahun 2014 masih berada pada ambang batas kemudian mengalami peningkatan kekeruhan serta hilangnya hutan mangrove akibat reklamasi sehingga hal tersebut menurunkan peran ekologis Teluk Jakarta yakni sebagai daerah pemijahan dan daerah asuhan berbagai jenis biota perairan seperti ikan, udang dan lainnya, Hal ini akan berakibat buruk pada keberlangsungan ekonomi masyarakat pesisir Teluk Jakarta yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan.
Tabel 2 Perbandingan Laju Tangkap Ikan Tahun 2014 dan 2016

Dalam hal ini keputusan pemerintah dalam melakukan reklamasi dinilai tidak efisien karena dasar dari pembuatan pulau reklamasi dari awal adalah economic-oriented bukan environtment-oriented sehingga terjadi dampak negatif terhadap lingkungan yang mana juga memengaruhi sosial-ekonomi masyarakat Teluk Jakarta. Tepat pada tahun 2018 yakni gubernur DKI Jakarta telah mencabut 13 izin proyek dan terdapat 3 pulau reklamasi yang akan dimanfaatkan sebagai pantai.
Terdapat beberapa saran dari penulis terkait isu lingkungan pada Teluk Jakarta khususnya pada ekosistem pesisir untuk tercapainya keseimbangan dan kelestarian, dimana diperlukan kajian khusus sebelum dan sesudah pembangunan yang berkaitan dengan pesisir, dikarenakan ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang cukup komleks karena memiliki baku muku lingkungan hidup untuk biota laut dapat hidup.
Kemudian ketika terjadi kerusakan lingkungan pada ekosistem pesisir akan membutuhkan waktu yang cukup lama dalam proses pengembaliannya terutama ekosistem terumbu karang.
Dalam hal ini ekosistem pada Teluk Jakarta memiliki kompleksitas masalah lingkungan yang sudah sangat banyak dan memiliki peluang kecil untuk revitalisasi. Karena hal tersebut akan membutuhkan effort dan biaya yang besar. Oleh karena itu dalam memanfaatkan pesisir dibutuhkan pertimbangan dan kajian yang benar-benar baik untuk meminimalisir dampak serta kerugian yang akan didapatkan di masa mendatang.
Kemudian tidak hanya itu peran serta masyarakat juga diperlukan untuk menjaga ekosistem pesisir. Pemerintah sudah semestinya berperan aktif dalam pemenuhan sarana dan prasarana masyarakat pesisir Teluk Jakarta untuk pemenuhan kesejahteraan masyarakat agar tidak ada lagi hal-hal menyimpang yang dapat merusak ekosistem pesisir.
Referensi
Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 2004. Pengelolaan
Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Cetajan ketiga. Jakarta: Pradnya Paramita
Kamal E, Suardi ML. 2004. Potensi estuaria Kabupaten Pasaman Barat, SumateraBarat. Jurnal Mangrove dan Pesisir. 4 (3) : 42.
Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Djambatan : Jakarta.
Puspasari, R. (2017). Analisis Dampak Reklamasi Terhadap Lingkungan Dan Perikanan Di Teluk Jakarta. Kebijakan Perikanan Indonesia, 85-94.
Sachoemar, S. I. (2007). Kondisi Pencemaran Lingkungan Perairan Di Teluk Jakarta. Jurnal Air Indonesia, 1-14.
Undang-Undang (UU) Nomor 27 tahun 2007
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI