"Rakyat bergejolak, dunia pun bergejolak". Itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan sekilas keadaan Mesir saat ini. Sejenak mengulas peristiwa masa lalu, kita tahu bahwa negara yang merdeka pada 23 Juli 1953 ini memiliki kesamaan nasib seperti bangsa kita, Indonesia. Sama-sama dijajah oleh bangsa Eropa, sama-sama memiliki akar budaya yang kuat serta sama-sama memiliki penduduk mayoritas muslim. Yang membedakan hanya usia Mesir lebih muda 8 tahun dari Indonesia. Tak salah jika The Founding Father negeri piramida ini, Gamal Abdul Nasser, mengatakan bahwa "Saya adalah murid Bung Karno". Sederhana memang ungkapan tersebut, namun mengandung makna yang dalam sekali sebagai suatu traktat yang mengikat hubungan kekerabatan antara Indonesia dengan Mesir.
Hubungan erat yang telah dipupuk semenjak 50 tahun yang lalu menunjukkan bahwa Mesir merupakan mitra terbaik Indonesia dibidang apapun. Dalam hal diplomatis, Mesir termasuk negara-negara pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia setelah India. Dibidang agama, pengiriman santri-santri terbaik untuk belajar di Universitas Al-Azhar dan Iskandariyah telah lama terjalin bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Dalam ranah ilmu pengetahuan, Mesir juga tak mau ketinggalan. Dibuktikan dengan adanya integrasi ilmu sains barat dan Al-Quran menunjukkan bahwa Mesir bukanlah negara yang konservatif. Tidak salah jika dunia memberi predikat negeri yang berpenduduk 76 juta ini sebagai "Gerbang Penghubung Timur dan Barat".
Asimilasi 2 hal kontras, yakni budaya timur dan barat, bertahun-tahun menyatu menjadi suatu budaya baru dan kompleks di Mesir. Perkembangan menuju ke arah global juga terus dibangun pada daerah-daerah sentral di negara tersebut. Tidak dapat dipungkiri konflik internal dan ideologi sering terjadi. Bahkan konflik-konflik ini juga telah merambah ke arah krisis multidimensi. Puncaknya terjadi pada akhir Januari 2011, dimana mayoritas masyarakat Mesir turun ke jalan menuntut pemerintah untuk turun. Sampai 18 hari, aksi ini masih diwarnai insiden kekerasan dan akhirnya sang diktator, Husni Mubarak, turun dari jabatannya sebagai presiden Mesir pada 11 Februari 2011 (vivanews.com, 2011).
Ironis memang, apalagi semenjak revolusi Mesir bergulir, perekonomian dunia juga menjadi kacau. Hal ini ditengarai tertutupnya akses perdagangan di laut merah serta terhentinya produksi minyak dunia yang mengakibatkan harga minyak melambung. Tetapi bagi Indonesia, hal tersebut bukanlah suatu ancaman besar. Mengapa demikan?
Telah kita ketahui bersama bahwa Mesir adalah salah satu barometer perekonomian minyak dunia. Sedangkan Indonesia masih pada urutan kelima atau keenam (Republika, 2009). Jika kita mengulas ulang tragedi Mesir, kita akan menemukan celah harapan bagi bangsa ini. faktor utamanya yakni, selama setahun kedepan Mesir akan menata ulang seluruh sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi. Disisi ekonomi inilah, seluruh komponen makro ekonominya juga akan mengalami kemunduran walaupun hanya 0,1 persen. Atas hal tersebut, Indonesia juga diperkirakan menjadi negara alternatif pertama investor asing di bidang ekonomi perminyakan. Jadi secara tidak langsung bangsa kita juga diuntungkan dalam hal sosial-ekonomi untuk mendayagunakan seluruh sumber daya alamnya agar dikenal lebih jauh oleh masyarakat dunia.
Dipandang dari kacamata yang berbeda, beberapa pengamat justru menafsirkan berbeda atas krisis Mesir saat ini. Situasi semacam itu dikhawatirkan kembali terulang pada bangsa ini seperti peristiwa reformasi 1998. Sebuah momen dimana Indonesia harus benar-benar mencari jati diri dari sebuah ideologi, Pancasila. Adanya gejolak masyarakat yang tidak terbendung akibat dari problematika sosial dan ekonomi bangsa yang kerap ditunggangi urusan politik. Kita menyadari akhir-akhir ini bangsa kita sedang dirundung masalah-masalah yang belum berujung akhirnya. Sebut saja kasus mafia pajak yang umurnya sudah setahun tak tuntas-tuntas. Belum lagi ditambah kenaikan harga cabai dan kedelai yang kian melambung. Ironis memang, negara agraris namun tidak bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri. Begitu pula konflik-konflik internal atas nama agama dan budaya.
Apabila pemerintah tidak tegas menghadapi semua masalah ini maka tak dapat dipungkiri kekuatan rakyat akan terhimpun kembali sebagai kekuatan makro terakhir. Seluruh komponen bangsa akan terpecah belah, mencari dukungan kemanapun bahkan menjatuhkan lawan dengan cara apapun. Bukan tidak mungkin nantinya jika pucuk pimpinan negeri ini juga akan digulingkan, sama seperti nasib Mubarak di Mesir. Tantangan terbesar pemerintah Indonesia bukanlah membungkus masalah besar dengan masalah baru, melainkan bagaimana menyikapi masalah dasar agar tidak menimbulkan masalah baru yang lebih rumit. Bukankah kita tidak menginginkan reformasi terjadi dua kali dalam 1 dekade?
Terlepas dari dampak positif ataukah negatif krisis yang ditimpa Mesir, mengingatkan kita bahwa semangat persaudaraan dan kebersamaan harus terjalin baik secara vertikal maupun horizontal. Hal ini juga merupakan refleksi bagi bangsa ini untuk selalu fokus ke depan meraih harapan dan tujuan tanpa memandang kembali kebelakang sebagai suatu ancaman besar. Biarlah suatu bangsa dibangun oleh masyarakatnya sendiri untuk mencapai harapan-harapan yang telah tertuang dalam konstitusinya. Sebaliknya jangan biarkan, suatu bangsa ditunggangi suatu partai politik atau rezim untuk menindas rakyat dan konstitusinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H