Selasa 23 April 2024 kota Hualien gempa 6.2 SR. Bagi rombongan dari Indonesia gempa dengan kekuatan 6.2 SR sudah sangat menakutkan. Semalaman kami tidak berani masuk kamar hotel. Â Peristiwa ini membawa cerita menarik perihal praktik budaya humanis para pendidik sekolah Tzu Chi Hualien.
Sekolah Tzu Chi memiliki peserta didik yang tinggal di asrama lebih kurang 500 orang. Di asrama tentu mereka didampingi oleh para pengasuh. Pagi buta beberapa pendidik yang tinggal di luar asrama pergi ke asrama memastikan peserta didik yang tinggal di asrama dalam kondisi baik dan tidak kekurangan suatu pun. Perilaku guru memastikan anak-anak dalam keadaan baik adalah perwujudan semangat budaya humanis yang diajarkan oleh Master Cheng Yen bahwa guru harus menjaga anak-anak dengan baik.
Guru Harus Menjaga Anak-anak Dengan Baik
Menjaga anak-anak dengan baik tentu saja dilakukan oleh semua pendidik di sekolah, di kelas. Dan bahkan di luar kelas. Cerita pasca gempa dimana para pendidik pergi ke asrama adalah bukti nyata sikap peduli dan sayang kepada peserta didik.
Menjaga anak-anak dengan baik bukan hanya keamanan fisik peserta didik tetapi juga menjaga hati, perasaan dan pikiran mereka. "Menjaga dengan kebijaksanaan" kata Ibu Liu Kepala Sekolah Tzu Chi Hualien
Praktik menjaga anak-anak dengan baik menjadi praktik yang terus menerus kami laksanakan dalam pembelajaran dan pendampingan kepada peserta didik. Di sekolah kami (Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi) selalu memastikan menjaga anak-anak dengan baik ini terlaksana.Â
Dalam pembelajaran di kelas pendidik akan mendampingi dan mengajari peserta didik sampai mengerti. Dengan kesabaran dan strategi yang berbeda pendidik akan mengajari peserta didik yang belum mengerti. Dengan cinta yang tulus dan usaha keras, pendidik akan mengajari peserta didik. Inilah yang dimaksud dengan kebijaksanaan. Peserta didik mendapatkan kenyamanan dalam belajar. Tidak takut dimarah dan tidak takut mencoba. Pendidik dialami sebagai orangtua yang mengasihi.Â
Di luar kelas pun demikian. Pada suatu kesempatan saya sebagai kepala sekolah tidak mengizinkan tim lomba mengikuti babak lanjutan karena tidak ada satu guru pun yang bisa mendampingi mereka. Saat itu memang kegiatan sedang sangat padat. Terkait peristiwa ini saya menjelaskan kepada peserta didik yang akan lomba bahwa mengikuti perlombaan ini bukan semata untuk mendapatkan juara melainkan untuk mempraktikkan perilaku budaya humanis kita. Yakni pelatihan pengendalian diri dan pemahaman diri. Ajang lomba bukan semata kompetisi tetapi kontribusi pada praktik baik budaya humanis. Mereka pun memahami dan mengerti. Pemahaman dan pengertian seperti ini membuat mereka tidak sakit hati. Saya menjelaskan semua itu dalam rangka menjaga anak-anak dengan baik. Bukan terbatas pada fisik tetapi juga emosi, perasaan pikiran.
Kegiatan-kegiatan lain seperti ekstrakurikuler, kokurikuler pendampingan pendidik menjadi tugas utama dan pertama untuk memastikan peserta didik merasa nyaman dan aman. Melalui praktik budaya humanis seperti ini, relasi peserta didik dengan pendidik menjadi relasi kemanusiaan yang dilandasi oleh cinta kasih demi keseimbangan batin bukan relasi yang terjadi karena profesi yang fokus pada peran.
Kami sangat yakin bahwa ketika peserta didik mengalami rasa aman dan nyaman, mereka akan bahagia melakukan pembelajaran. Apakah ada hal lain yang lebih penting selain perasaan bahagia sebagai syarat untuk kesuksesan?
(Purwanto_Kepala SMA Cinta Kasih Tzu Chi_Sharing ini adalah tulisan keenam saya dalam rangka merefleksikan perjalanan pulang ke kampung halaman batin di Hualien Taiwan berjumpa dengan pendiri Yayasan Buddha Tzu Chi.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H