Semesta ini adalah kelas bagi pembelajar. Setiap peristiwa adalah guru bagi seorang murid. Karena itu bagi seorang yang memiliki sikap reflektif tidak ada peristiwa atau kejadian dalam hidupnya yang akan berlalu sia-sia tanpa makna. Ya, belajar memaknai peristiwa untuk hidup yang lebih berkualitas.Â
Dalam sebuah pertemuan saya melihat ada satu kejadian yang memberikan pembelajaran kepada saya mengenai kehidupan yang bermakna.Â
Seorang peserta tampak sangat akrab dengan banyak peserta lain. Ia menjadi perhatian beberapa peserta, yang adalah sahabat-sahabatnya. Salah satu diantara mereka terlihat punya jabatan lebih tinggi dari yang lain. Setelah rapat baru saya tahu orang tersebut adalah yang "dituakan".Â
Yang membuat saya termenung sejenak, salah satu mereka dijadikan bulan-bulanan bahan tertawaan. Ya semacam di-bully. Anehnya bahan guyonan itu justru prestasi yang diraih orang tersebut. Saya menjadi bertanya diri, "kenapa orang yang berprestasi kok malah dijadikan guyonan?" Orang yang diejek dan ditertawakan itu tidak menimpali, hanya tersenyum.Â
Tapi terlihat senyumnya agak dipaksakan. Tapi dia tidak menimpali ejekan itu. Saya melihat ada rasa percaya diri yang sangat besar bahwa prestasi yang diraih bukan untuk sebuah pencitraan tetapi pelayanan yang lebih kepada pelanggan.
Setelah pertemuan itu usai, saya melihat masing-masing peserta membubarkan diri termasuk orang-orang yang menertawakan sahabatnya itu. Tapi pertanyaan besar mengganggu pikiranku, "Apa yang dirasakan oleh orang yang ditertawakan tadi? Apakah dia tidak merasakan sakit hati? Pertanyaan ini tidak menemukan jawabannya kecuali orang yang bersangkutan menjawabnya.Â
Saya sudah melupakan peristiwa itu sampai lebih dari satu minggu kemudian tanpa sengaja saya bertemu kembali dengan orang tersebut dalam sebuah pertemuan pembinaan kompetensi. Ketika waktu rehat saya duduk disampingnya dan ngobrol banyak topik dari topik serius sampai topik recehan.
Melalui obrolan ini, pertanyaan yang pernah singgah di benak saya waktu itu malah mendapatkan jawabannya.
Atas tertawaan teman-temannya, ia tidak mudah menerimanya. Namun ia berusaha menerima dengan ikhlas sebagai sebuah pembelajaran. Pembelajaran bahwa ditertawakan itu pengalaman yang tidak enak, apa lagi ditertawakan di depan banyak orang. Karena itu, ia tidak akan pernah menertawakan orang lain.Â
Dia mengatakan "saya selalu belajar dari perlakuan buruk orang agar saya tidak memperlakukan buruk kepada orang lain" Dengan kalimat yang berbeda tapi bermakna sama ketika ditempatkan pada peristiwa yang pernah saya lihat, ia akan mengatakan demikian, "saya belajar ditertawakan agar tidak menertawakan orang lain"
Dari sini saya belajar betapa orang itu sedang belajar rendah hati. Ia belajar percaya diri bahwa tuan atas hidupnya adalah dirinya sendiri. Ia sedang belajar untuk mengendalikan apa yang bisa dikendalikan dan belajar tidak mengendalikan apa yang diluar kendali dirinya. Hehehehe...ini prinsip yang ada di stoisme untuk hidup bahagia.
Dari sini saya belajar untuk menjadi rendah hati tidaklah mudah. Tapi itu sangat penting untuk hidup yang damai dan tentram karena mereka yang hidupnya damai dan tenteram adalah yang mau berbagi kepada orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H