Kemampuan memetakan masalah adalah awal dari keberhasilan karena membidik persoalan memungkinkan kita ambil solusi yang tepat. Prinsip ini berlaku dalam semua bidang kehidupan dan profesi. Karena itu, sebelum saya menentukan praktik baik sebagai solusi terlebih dahulu saya mendeskripsikan kondisi riil negatif.
Belum lama ini saya diminta berbagi ide dan praktik baik model tata kelola sekolah swasta. Tentu ini tidak mudah. Bagi saya yang tidak mudah adalah tantangan untuk kreatif.
Langkah pertama saya mengumpulkan data dari sekolah tersebut terkait dengan kondisi yang mereka alami. Partisipan berasal dari pengelola tingkat pelaksana harian yayasan dan kepala sekolah. Begini lebih kurang kondisi negatif yang mereka alami
Kepala sekolah cenderung reaktif. Mereka bertindak ketika ada masalah. Tambal sulam menjadi kebiasaan dominan. Sangat memprihatinkan (menurut pelaksana harian) karena kepala sekolah kurang koordinasi dengan yayasan dalam mengambil keputusan. Cenderung menyalahkan yayasan. Â Apatisme pun tidak dihindari. Keadaan seperti ini jangan bilang tidak mempengaruhi kinerja guru.
Guru mengajar monoton dan membosankan. Pembelajaran tidak membangun pengalaman belajar peserta didik. Inilah yang disebut pembelajaran yang tidak bermakna.
Dari pihak kepala sekolah dan guru melihat sumber persoalan ada di pihak yayasan. Yayasan tidak memahami dunia pendidikan sehingga keputusannya tidak berpihak pada guru. (disini ada sedikit yang harus diluruskan. Bukan berpihak pada guru tetapi pada nilai pendidikan) Karena itu mereka mengambil keputusan tanpa koordinasi dengan yayasan.
Itu kondisi bukan sumber masalah. Sumber masalah ada di dalam cara berpikir atau mindset manusianya. Menurut Arbinger cara berpikir yang menjadi sumber masalah itu disebut Mindset Inward. Yaitu mindset yang memunculkan perilaku membela diri dan mendahulukan diri sendiri dengan segala turunnya. Gejala yang dimunculkan pada mindset ini antara lain kinerja buruk, kurangnya komitmen atau keterlibatan, menyalahkan, kurang inisiatif, kurang inovasi, kepemimpinan yang buruk dan konflik. Perilaku dengan semua gejalanya itulah yang saya sebut kondisi riil. Tapi sumber masalahnya adalah mindset.
Mindset sebagai sumber masalah berarti solusi yang disentuh juga mindset. Arbinger menyebut Mindset Outward. Mindset outward menghasilkan perilaku yang mendahulukan hasil bersama. Gejala-gejala yang muncul dari cara berpikir ini antara lain kinerja unggul, komitmen dan keterlibatan yang sangat tinggi dan seterusnya yang menjadi kebalikan dari kondisi negatif mindset inward.
Nah lalu bagaimana pelatihan bagi pengelola (kepala sekolah/calon kepala sekolah dah harusnya juga pelaksana harian yayasan) dilaksanakan? Di sinilah narasumber harus kreatif mendesain pelatihan yang objektifnya mengubah paradigma dari mindset inward ke mindset outward. (ini juga menjadi projek pembelajaran yang sedang saya dalami)
Pada sharing berbagi praktik baik dengan topik model tata kelola sekolah Swasta saya mengajak peserta belajar, berlatih dan berefleksi mengelola sekolah. Pada setiap pelatihan ketercapaian tujuan sangat ditentukan oleh keterlibatan aktif peserta dalam membangun semangat belajar, berlatih dan berefleksi secara jujur dan sungguh-sungguh.
Tahap pertama, peserta secara bersama-sama menyusun satu peta yang sangat penting dan menentukan langkah berikutnya, yaitu menyusun profil tamatan yang sekolah. Inspirasi dari tahap ini peserta belajar dari kompetensi abad 21, kurikulum merdeka dan visi-misi sekolah/yayasan. Tahap ini tidak semudah yang dibayangkan. "Perumusan (profil) kualitas masa depan membutuhkan kontemplasi" kata seorang bijak. Â
Tahap kedua, peserta merefleksikan model kepemimpinan kepala sekolah. Model ini menjadi rujukan kemendikbud ristek sebagai model kepemimpinan kepala sekolah sesuai dengan Peraturan Dirjen GTK No. 6565/B/GT/2020 Tentang Model Kompetensi dalam Pengembangan Profesi Guru
Ada 4 kompetensi yang harus dimiliki kepala sekolah era digital saat ini.