Rasanya miris, sayang sekaligus jengkel. Itulah perasaan yang saya rasakan ketika melihat orang menyisakan makanan. Setiap saya pergi ke restoran atau ke resepsi pesta pernikahan, saya selalu menjumpai orang menyisakan makanan. Menyisakan makanan cermin orang tidak mensyukuri kehidupan. Di Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi untuk  membangun rasa bersyukur dilaksanakan pembiasaan makan bersama.
Pembiasaan ini dilaksanakan setiap hari Jumat. Para siswa antri membawa kotak nasi masing-masing. Mereka dilayani oleh siswa yang akan mengambilkan nasi, sayur dan lauk sesuai dengan porsi masing-masing. Mereka menggunakan bahasa isyarat untuk menyampaikan porsi makanan. Porsi banyak ditunjukkan dengan jempol, porsi sedang dan sedikit ditunjukkan dengan kelingking.
Dengan cara ini semua siswa akan mendapatkan makanan sesuai dengan porsinya. Tidak ada yang berlebih sehingga membuang makanan atau yang tidak mendapatkan makanan sehingga kelaparan. "Mencukupkan diri dengan apa yang dibutuhkan, bukan apa yang diinginkan".
Para siswa mendapatkan penjelasan bahwa makan bukan hanya memenuhi kebutuhan biologis melainkan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Orang-orang yang terlibat terwujudnya makanan seperti petani, pedagang, petugas yang memasak di doakan pada doa syukur sebelum makan.
Setelah berdoa makan, para siswa makan sesuai dengan budaya tata krama makan. Pada saat makan tidak boleh bicara. Jika harus bicara, dilakukan seperlunya saja. Makan sambil bicara akan menyebabkan makanan yang di dalam mulut bisa keluar. Selain tidak sopan, hal itu juga tidak sehat untuk orang lain.
Aturan lain tentu saja makanan yang diambil harus dihabiskan. Master Cheng Yen menasihati agar kita "makan sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang". Kenapa makan sebelum lapar? Orang yang makan pada saat lapar cenderung mengambil makanan sebanyak-banyaknya. Orang lapar cenderung "tamak" atau rakus. Kondisi seperti ini yang menyebakan orang mengambil makanan melampaui porsi yang dibutuhkan. Akibatnya, jatah orang lain akan diambil, dan menyebabkan makanan tersisa.
Tidak menyisakan makanan adalah bentuk kita mesyukuri berkat Tuhan. Menyisakan makanan adalah tindakan yang tidak menghargai kehidupan dan merenggut hak orang lain. Membuang makanan adalah bentuk kejahatan, karena di belahan bumi lainnya banyak anak kekurangan makanan. Banyak orang tidak bisa makan karena tidak punya makanan.
Dalam kegiatan ini para siswa dilatih untuk saling melayani, dan mencukupkan dirinya sesuai dengan yang dibutuhkan (bukan yang diinginkan), berlatih menghargai (mengingat) orang lain. Orang lain juga membutuhkan makanan. Tidak berebut makanan karena setiap siswa tahu bahwa porsi makanan yang disediakan cukup untuk semua siswa jika setiap siswa mengambil sesuai dengan kebutuhannya.
Setelah makan bersama selesai, setiap siswa mencuci tempat makan masing-masing. Di sini siswa berlatih untuk menjaga kebersihan diri dan bertanggung jawab terhadap peralatan makan. Melalui pembiasaan makan bersama ini para siswa belajar menghidupi nilai-nilai budaya humanis.
Budaya humanis adalah budaya sekolah, yang didalamnya menghidupi nilai-nilai kehidupan. Dengan budaya humanis para siswa belajar menjadi pribadi yang memiliki sopan santun, tata krama, budi pekerti dan karakter mulia kepada Tuhan, sesama dan alam semesta. Manusia itu makhluk pembelajar. Tidak serta merta punya keterampilan melainkan harus belajar, termasuk keterampilan bersyukur: harus berlatih salah satunya melalui pembiasaan makan bersama. (Purwanto-kepala SMA Cinta Kasih Tzu Chi. IG:masguspung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H