Hari ini saya merasa sangat produktif. Hehe memuji diri lah, biar makin semangat. Saya ga minta dipuji loh. Sejak pagi sampai jam 12 siang, saya merampungkan pengisian isntrumen supervisi BDR (Belajar Dari Rumah).Â
Tentu disertai analisis akar masalah, rekomendasi dan tindak lanjut. Setelah makan siang, seorang siswa datang ke ruangan saya. Tujuan siswa ini minta dimotivasi. Hehehe jadi motivator nih.
Hem persoalan generasi Z yang "menganggap sepele masa depan" Â Itu menurut persepsi mamanya. Karena siswa ini datang ke ruangan saya atas skenario mamanya.Â
Saya melontarkan pertanyaan, "Nilai bahasa Inggrismu  bagus banget," Dia menjawab singkat. "Itu bukan murni usaha saya. Saya dibantu koko dan cece saya."Â
Pikiranku bertanya, "Kenapa nih anak jawabnya begitu" Lalu saya bertanya lagi, "Menurutmu bagaimana pencapaianmu di tengah semester ini?" Dia menjawab, "lumayan rata-ratanya"
Kami kemudian terlibat dalam obrolan yang menarik karena siswa ini cerdas. Saya berusaha memotivasi agar dia makin keras berupaya karena pencapaian yang disebut rata-rata lumayan sebenarnya belum optimal.Â
Ya, menjadi optimal itulah topik kami. Itulah yang akan sangat penting. Kesuksesan ketika kita berusaha keras meraih yang paling optimal. Setelah hampir 90 menit kami menutup obrolan. Pertemuan ini adalah coaching sekaligus pemotivasian. Dan ini adalah keseharian saya.
Setelah siswa saya pulang, seperti biasa saya membuat refleksi harian. Untuk melihat makna atas apa yang saya kerjakan. Eh, tanpa sengaja saya menemukan refleksi yag saya tulis 5 tahun lalu.Â
Judulnya, "Tetaplah Gembira Sobat" Sebuah kisah nyata betapa guru harus mampu memotivasi diri sebelum mampu memotivasi orang lain. Sering ini tidak mudah seperti yang dialami teman saya 5 tahun lalu.
Tetaplah Gembira Sobatku
Sobat guru, bulan lalu aku bertemu dengan orang tua yang 10 tahun lalu anaknya adalah murid kita. Saya bertemu di halaman sekolah.Â