Merebaknya pandemi Covid 19 telah "memaksa" manusia mengubah perilaku sosial. Dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran Covid 19, saat ini semua orang harus menjaga jarak, dan mengerjakan pekerjaannya dari rumah.Â
Termasuk didalanya adalah aktivitas pembelajaran, home learning. Hari hari itu saya terus disadarkan terhadap pentingnya manusia harus belajar mengubah hidup menjadi lebih baik. Nampaknya mengubah hidup menjadi lebih baik pun terasa belum cukup. Saya "meyakini" pasca Covid 19 akan ada era baru.
Ibarat perjalanan bangsa Israel dalam kisah perjanjian lama menuju tanah terjanji. Mereka yang masuk tanah terjanji adalah generasi yang betul betul baru. Pola berpikir dan bertindak yang baru. Masyarakat baru. Umat baru. Pertanyaan yang menggaung dibenak saya "Masyarakat seperti apa pasca Covid 19?"
Ketika pandemi Covid 19 menimpa masyarakat kota Wuhan, manusia dibelahan bumi lain termasuk Indonesia seperti tidak tergerak untuk mengubah kebiasaan hidup alias "tenang wae" Bahkan ada sekelompok orang yang berujar "percaya saja kepada Tuhan". Setelah apa yang jauh menimpa diri sendiri barulah merespon dengan merubah perilaku.
Sekarang tidak ada orang yang bisa bebas dari ancaman Covid 19. Sebagai mahkluk yang dikaruniai akal budi, kita bisa menyasar lebih dalam pesan yang dibawa oleh peristiwa ini. Pesan ini saya tangkap dari ujaran orang-orang bijak. Saya bisa sebut yang berjodoh dengan saya  antara lain Preeta Krishna dan Uskup Jakarta Prof. Dr. Kardinal Ignatius Suharyo.
Preetha Krishna, Filsuf India menyatakan dengan tegas " Alam akan MENGELIMINASI mahkluk yang tidak memberikan manfaat bagi keseluruhan". Bagi saya ini sangat serius. Dan ini sungguh membuat saya tidak bisa tenang.
Dengan nada yang lebih halus pesan tersebut disampaikan oleh Uskup Jakarta Prof. Dr. Kardinal Ignatius Suharyo pada saat merayakan Paskah 2020.
Beliau mengatakan dengan cukup hati hati bahwa Covid 19 merupakan akibat dari kesombongan dan ketamakan manusia yang merusak alam sehingga alam dengan caranya mencari keseimbangan. Karena kondisi kerapuhan daya tahan manusia maka pandemi Covid 19 menelan korban.
Lalu apa yang harus dilakukan oleh manusia? Inilah pertanyaan yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan mentaati PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar)
Preetha mencontohkan dalam sejarah banyak mahkluk hidup punah karena tidak bermanfaat bagi keseluruhan. Sebut saja Dinosaurus. Sedangkan Uskup Jakarta Prof. Dr. Kardinal Ignatius Suharyo menyerukan agar manusia mengubah pola hidup dengan cara "memelihara" alam semesta/lingkungan.
Lingkungan disini diartikan sebagai lingkungan sosial (antar manusia) dan lingkungan fisik seperti tumbuhan dan hewan atau cosmos lain. Me-RE-KONSTRUKTSI pola hidup bermanfaat bagi keseluruhan/semesta.
Bagaimana realisasinya?
Sebuah refleksi yang musti dilakukan setiap orang. Saya harus membentuk pola baru dalam kehidupan saya. Pola hidup yang bermanfaat bagi orang lain. Misalnya saya sebagai pendidik. Saya harus membuat pola (membiasakan) perilaku yang bermanfaat bagi siswa-siswaku.Â
Bermanfaat berarti kehadiran saya sebagai guru haruslah sungguh menginspirasi para siswa dan selalu dirindukan oleh mereka. Bersama saya, para siswa harus bahagia. Itu sederhananya. Sebagai orang tua saya harus membiasakan menjadi model dan contoh bagi anak anak.
Silakan saudara renungkan lebih dalam: pola hidup seperti apa yang akan Anda bangun agar memberi manfaat bagi orang lain. Berpikir sektarian dan sekmentasi kelompok pasti akan membuat Anda tereliminasi dari kehidupan ini.
Mari pandemi Covid 19 kita jadikan penyadar dan pengingat kembali bahwa sejatinya kodrat kita adalah bermafaat bagi alam semesta. Saya mulai dari diri saya. Anda mulai dari diri Anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H