Judul di atas adalah pernyataan seorang tokoh ketika ditanya oleh seorang penyiar tv swasta mengenai hiruk pikuk Kabinet Joko Widodo Jilid II. Jokowi adalah pemimpin yang berani mengeksekusi segala program yang oleh presiden sebelumnya sebagai gagasan saja.Â
Misalnya pembangunan infrastruktur Indonesia bagian Timur, soal pindah ibukota, soal UU KPK dan masih banyak lagi. Karena keberanian mengeksekusi itulah, Joko Widodo tipe seorang pemimpin yang berani ambil resiko. Saya berpikir seorang pemimpin yang mau membuat perubahan harus berani mengambil reksiko, termasuk resiko dikritik, ditolak dan bahkan dihianati.
Dalam semangat yang sama dan dalam porsi yang bebeda semua pemimpin apapun bidang dan levelnya, harus berani mengambil resiko. Berani mengeksekusi program yang bertujuan untuk perbaikan. Sayangnya tidak semua orang yang berlebel "pemimpin" berani ambil resiko seperti itu. Seperti peristiwa yang belum lama ini saya alami.Â
Seorang kepala sekolah -dan ini bisa menjadi pembelajaran siapa saja-mempunyai program yang sangat menarik untuk perbaikan kualitas pembelajaran di sekolahnya. Ia merencanakan mengevaluasi efektifitas pengajaran guru di kelas. Sebagai kepala sekolah, ia banyak mendapatkan masukan dari siswa perihal guru mengajar di kelas.Â
Ia merencanakan membuat survey kepada seluruh siswa bagaimana guru-guru mengajar. Rencana ini disosialisasikan kepada para guru. Ada tiga pendapat diatara para guru. Ada guru yang setuju dengan catatan, banyak yang diam (ini biasanya sama dengan tidak setuju, atau tidak peduli), dan pendapat ketiga tidak setuju. Kepala sekolah mulai ragu dan menunda pelaksanaannya. Jika itu hanya gagasan akan sangat indah, tapi pelaksanaan adalah beresiko.
Menyamakan Frekuensi
Bagi saya, pada era seperti sekarang ini  jika kita masih enggan atau menolak untuk dinilai, adalah sesuatu bentuk kurang percaya diri. Di semua perusahaan besar, penilaian pelanggan itu sangat penting untuk eksistensi perusahaan. Demikian halnya dengan sekolah. Pelanggan internal adalah siswa. Siswa berhak menyatakan guru mana yang berkualitas dan guru mana yang tidak berkualitas. Tidak perlu kita marah ketika siswa memberi penilaian rendah kepada kita.Â
Saya yakin, siapapun kita entah guru atau bukan, harus siap dinilai oleh pelanggan. Perkembangan teknologi yang sangat canggih dicuriagai dan malah diyakini akan  menggantikan tenaga kerja manusia. Dan orang yang pertama diganti adalah orang yang tidak mempunyai kemauan belajar yang tinggi. Seorang yang bukan pembelajar akan menjadi orang pertama yang menolak untuk dinilai.Â
Kalau siswa saja mau dinilai oleh guru mengapa kita tidak mau dinilai oleh siswa. Ada yang menyatakan karena siswa belum mampu objektif. Apakah memang benar siswa tidak mampu objektif. Kalau siswa kita mampu bersikap objektif berarti guru telah gagal mendidik para siswa.
Penilaian terhadap guru baik itu melalui supervisi atau melalui survey sejatinya cemin bagi kita untuk mengetahui keguruan kita, mengetahui kualitas pengajaran kita, mengetahui tingkat efektifitas kita.Â
Karena itu, marilah kita mengembangkan sikap dan semangat terus belajar dan belajar, dan kerelaan atau kesukaan untuk dinilai dan diberi masukan demi perkembangan kompetensi kita sebagai guru. Guru seperti inilah yang disebut seorang yang layak digugu dan ditiru. Seorang disebut pemimpin bukan karena indahnya gagasannya tetapi karena keberaniannya mengeksekusi program demi perkembangan. (Purwanto-Kepala SMA Cinta Kasih Tzu Chi Jakarta)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H