“Setiap masa memiliki tokohnya sendiri dan setiap tokoh memiliki masanya sendiri”. Demikian juga dengan tokoh yang satu ini. Nama F.W. Raiffeisen. Dia dikenal secara luas bukan karena kancah perpolitikannya, melainkan karena KEPRIHATIN-nya terhadap orang-orang miskin.
F. W. Raiffeisen adalah seorang wali kota dari beberapa kota di Jerman. Paling tidak tercatat sebagai wali kota dari tiga kota di Jerman. Ia dikenal luas justru karena keperpihakannya kepada orang miskin dan terlantar sebagai akibat dari krisis ekonomi yang melanda Jerman pada tahun abad 19. Krisis ekonomi yang melanda Jerman diperparah oleh revolusi industry, banyak pabrik mem-PHK para pekerja, ekstensifikasi tenag akerja berubah menjadi intensifikasi. Masyarakat miskin tidak lagi memiliki pekerjaan. Bahkan untuk melangsungkan hidup, masyarakat miskin tidak lagi memiliki makanan. Masalah sosial pun bagai jamur dimusim hujan. Tingkat pengangguran yang tinggi diiringi dengan tingkat kejahatan. Nilai kemanusiaan makin tergerus. Setiap orang digerakkan oleh insting untuk mempertahankan diri. Para kaum kaya menggunakan situasi ini untuk memupuk kekayaan dengan memberi pinjaman kepada orang miskin dengan bunga yang sangat besar. Mereka tidak lebih dari lintah yang hidup didarat mengisap darah orang miskin.
Rasa kemuanusiaan F. W. Raiffeisen tergerak. Sebagai wali kota, ia berusaha mencari jalan keluar untuk membantu masyarakat miskin. Dengan berbagai cara ia menggumpulkan orang-orang kaya yang mimiliki “hati” untuk membantu orang miskin. Orang miskin diberi bantuan makanan. Mereka bertahan hidup sepanjang ada bantuan. Cara ini tidak bertahan lama. Kemudian F. W. Raiffeisen memberi mereka pinjaman. Apa yang terjadi dengan pinjaman yang diberikan kepada orang miskin? Uang habis tidak berdampak pada kualitas kehidupan mereka. Pada titik tertentu F. W. Raiffeisen sampai pada kesimpulan bahwa yang bisa menolong orang miskin ya hanya dirinya sendiri. Tercetuslah gagasan membentuk koperasi bernama Credit Union (CU). Inilah cikal bakal lahirnya CU yang berkembang luas hingga saat ini termasuk di Indonesia.
Roh CU yang didirikan F. W. Raiffeisen terletak pada kesadaran “saling membantu satu sama lain” (saving each other). Pada tataran refleksi ini ia meyakini bahwa orang miskin adalah manusia yang bermartabat. Martabat kemanusiaannya terletak bukan pada menerima bantuan melainkan memberikan bantuan. Adalah pangangan yang keliru bahwa orang miskin itu hanya mau menerima bantuan; orang miskin bisa memberi bantuan. Keyakinan ini didasarkan pada kodrat manusia yang bermartabat, dan martabat kemanusiaan itu terjewantahkan manakala ia bisa memberi kepada orang lain. Bagaimana hal ini diwujudkan?
Ia dengan beberapa kenalan orang kaya yang masih memiliki hati untuk orang miskin mulai mengumpulkan orang miskin. Orang miskin mengumpulkan uang dan dari uang yang terkumpul itu dipinjamkan kepada anggota lain. Inilah prinsip swadaya. Inilah cara yang mengangkat martabat orang miskin. Para anggota yang adalah orang miskin merasa memiliki harga diri dan martabat. Perasaan ini memotivasi mereka bahwa mereka bisa melakukan sesuatu yang mulia untuk membebaskan diri mereka sendiri dari kemiskinan.
F. W. Raiffeisen sadar bahwa kemiskinan itu selalu dekat dengan tiadanya akses pendidikan/pengetahuan. Mereka bisa mengumpulkan dana untuk dipinjamkan kepada sesamanya. Namun, orang miskin yang meminjam uang masih sering jatuh dalam kemiskinan karena mereka tidak tahu bagaimana menggunakan uang secara bijaksana. Disinilah F. W. Raiffeisen menyadari pentingnya pendidikan bagi orang miskin, yakni pendidikan bagaimana menggunakan uang pinjaman itu. Inilah prinsip kedua CU yang didirikan, pendidikan. Bahkan pendidikan inilah yang bisa dan harus merubah cara berpikir orang miskin. Cara berpikir yang berubah akan berdampak pada perubahan perilaku (moral) Begitu pentingnya pendidikan ini, sehingga tanpa pendidikan orang akan terus jatuh dalam kemiskinan ekonomi dan kemiskinan martabat.
Dalam proses pengentasan kemiskinan dan pendidikan yang terus dilakukan kepada anggota, CU ritisan F. W. Raiffeisen menekankan pentingnya solidaritas sesama anggota. Prinsip saling membantu tidak akan pernah terjadi manakala solidaritas ditinggalkan. Solidaritas yang sehat adalah solidaritas yang lahir dari hati yang berbela rasa (Nouwen). Tindakan sosial yang dilakukan atas dasar hati yang merasakan perasaan yang sama kepada orang yang dibantu. Dari perkumpulan CU ini para anggota bukan hanya mampu menolong dirinya sendiri tetapi juga menolong orang lain. Tiga prinsip tersebut mendasari kehidupan CU hingga saat ini.
Cara Pandangan CU: Membantu Orang Lain
CU rintisan F. W. Raiffeisen telah merambah ke seantero jagad, termasuk Indonesia. Gerakan CU menjadi massif karena disetiap tempat dan masa selalu ada keadaan yang memprihatinkan, kemiskinan. Namun, Tuhan selalu sama dahulu, sekarang dan yang akan datang. Kepada masyarakat miskin dimana pun dan kapan pun selalu diutus tokoh-tokoh “pembebas” termasuk di bumi pertiwi ini. Guna mempertahankan eksistensi CU dan menumbuhkembangkan, tentu dibutuhkan tata kelola yang baik dan benar. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah mengobarkan spirit CU sebagaimana dihidupi F. W. Raiffeisen. Tanpa spirits yang sama, dipastikan CU akan jatuh pada praktek bisnis pengumpulan uang yang didasari spirit “mammon”. Spirit CU sebagaimana dihidupi oleh F. W. Raiffeisen adalah “membantu” orang lain. Spirit ini harus terus dihidupi dan dikobarkan dalam setiap insan CU (Pengurus, Pengawas, Staf dan Anggota). Membantu orang lain, adalah cara yang sangat jitu untuk mengembangkan CU menjadi besar dan berkualitas. Mengembangkan CU menjadi besar dan berkualitas hanya akan terjadi jika semua insan CU nya hidup bermartabat. Dan itu akan terjadi berdasarkan cara pandang “Membantu Orang Lain”. Apa yang harus dilakukan pengurus? Jawabannya: Membantu orang lain. Apa yang harus dilakukan pengawas? Jawabannya: Membantu orang lain. Apa yang harus dilakukan Staf CU? Jawabannya: Membantu orang lain. Apa yang harus dilakukan anggota? Membantu orang lain. Bagaimana “membantu orang lain bisa menjadi cara jitu untuk mengembangkan CU menjadi besar dan berkualitas?”……Tunggu refleksi berikutnya. Salam CU!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H