Tampak dari raut wajahnya, ia sedang kesal. Duduk dilantai dengan punggung membungkuk, menulis refleksi disecarik kertas dengan pena ditangan yang dipegang kuat seolah melampiaskan ketidakpuasan. Pasalnya refleksi ini sebagai “hukuman” akibat dia tidak mengerjakan PR sementara banyak temanya yang tidak mengerjakan PR tidak harus menerima “hukuman” karena tidak mengangkat tangan saat guru bertanya siapa yang tidak mengerjakan PR. Hanya 3 siswa inilah yang mengangkat tangan. Inilah yang membuat dirinya kesal dan marah. Dia merasa telah diperlakukan tidak adil.
Pelajaran Bagi Kita
Kejujuran masih ada pada generasi muda. Tentu sikap 3 siswa ini perlu mendapat apresiasi-lepas dari kelalaian tidak mengerjakan PR-karena dengan kesadaran diri mereka mengakui tidak mengerjakan PR dihadapan para temannya.
Mereka tahu konsekuensi ketika tidak mengerjakan PR, bukan hanya menulis refleksi yang ditandatangani orang tua, juga penambahan score negative. Dan ini sesuatu yang merugikan dari akumulasi pengukuran prestasi sampai akhir tahun pelajaran. Disaat dunia modern seperti sekarang ini mengabaikan kejujuran, masih ada anak-anak yang berani memegang teguh kejujuran. Tentu ini menjadi kabar gembira.
Derita karena orang lain tidak bertanggung jawab atas perbuatannya.
Pada sisi lain ditampilkan ruang yang sangat berbeda, para siswa yang tidak “berani” angkat tangan kendati mereka tidak juga mengerjakan PR. Sikap ini mewakili realitas yang sangat dominan didalam masyarakat kita. Anda akan menyebut dengan istilah apa? Tidak jujur? Tidak gentle? Takut? Munafik? bla bla bla…dan seterusnya. Dan ini menjadi kekuatan besar didalam masyarakat. Kita bisa lihat para tersangka tindak korupsi selalu berupaya mengingkari tindakannya dengan berbagai alibi dan logika yang diputar balik.
Bagi mereka kejujuran-mengakui tindakan-berarti derita. Sementara naluri mempertahankan hidup akan menghindari derita, termasuk derita yang merupakan konsekuensi dari sebuah tindakannya sendiri. Karena derita membuat dirinya sakit. Dalam kasus diatas 3 siswa ini rela menerima sakit. Sakit itu dirasakan lebih menyakitkan manakala mereka menyaksikan orang-orang lain yang berbuat sama terbebas dari hukuman. Ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa sikap tidak gentle atau tidak jujur selalu membuat orang lain sakit atau lebih sakit. Menghindari sakit yang seharusnya ditanggung bisa menyebabkan orang lain lebih sakit.
Derita karena bias makna refleksi.
Rasa sakit yang dialami tiga siswa tersebut disebabkan karena bias makna dari istilah refleksi. Saya yakin pihak sekolah tidak menempatkan dan memaknai refleksi sebagai hukuman-ini dibuktikan setiap hari mereka membuat refleksi akhir setiap mata pelajaran. Ketika refleksi dipahami sebagai hukuman maka akan menyakitkan, karena hukuman selalu berhakikat melukai. A.S.Neil, pendiri sekolah Summerhill mengatakan “hukuman akan selalu menjadi tindakan kebencian (act of hate)”.
Tugas guru untuk terus melakukan penyadaran bahwa refleksi ini tindakan positif bukan sebagai hukuman, jika toh dilakukan sebagai konsekuensi dari perilaku/ tindakan melanggar disilplin harus dipahami sebagai proses membangun pribadi yang bertanggung jawab. Hal ini hanya bisa dipahami manakala relasi siswa dengan guru sangat akrab dan terbuka. “Guru menjalin hubungan yang simpatik dengan anak didik sehingga akan menumbuhkan keterbukaan dan saling percaya” (Martin Heidegger)
Derita karena bias makna adil.