Mohon tunggu...
Purwanto (Mas Pung)
Purwanto (Mas Pung) Mohon Tunggu... Guru - Pricipal SMA Cinta Kasih Tzu Chi (Sekolah Penggerak Angkatan II) | Nara Sumber Berbagi Praktik Baik | Writer

Kepala SMA Cinta Kasih Tzu Chi | Sekolah Penggerak Angkatan 2 | Narasumber Berbagi Praktik Baik | Kepala Sekolah Inspiratif Tahun 2022 Kategori Kepala SMA | GTK Berprestasi dan Inspirasi dari Kemenag 2023 I Penyuluh Agama Katolik Non PNS Teladan Nasional ke-2 tahun 2021 I Writer | Pengajar K3S KAJ | IG: masguspung | Chanel YT: Purwanto (Mas Pung) | Linkedln: purwanto, M.Pd | Twitter: @masguspung | email: bimabela@yahoo I agustinusp134@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bisakah Sekolah Mendidik Siswa Bersikap Jujur Tanpa Melukai?

10 Februari 2016   14:20 Diperbarui: 11 Februari 2016   11:46 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tampak dari raut wajahnya, ia sedang kesal. Duduk dilantai dengan punggung membungkuk, menulis refleksi disecarik kertas dengan pena ditangan yang dipegang kuat seolah melampiaskan ketidakpuasan. Pasalnya refleksi ini sebagai “hukuman” akibat dia tidak mengerjakan PR sementara banyak temanya yang tidak mengerjakan PR tidak harus menerima “hukuman” karena tidak mengangkat tangan saat guru bertanya siapa yang tidak mengerjakan PR. Hanya 3 siswa inilah yang mengangkat tangan. Inilah yang membuat dirinya kesal dan marah. Dia merasa telah diperlakukan tidak adil.

Pelajaran Bagi Kita

Kejujuran masih ada pada generasi muda. Tentu sikap 3 siswa ini perlu mendapat apresiasi-lepas dari kelalaian tidak mengerjakan PR-karena dengan kesadaran diri mereka mengakui tidak mengerjakan PR dihadapan para temannya.

Mereka tahu konsekuensi ketika tidak mengerjakan PR, bukan hanya menulis refleksi yang ditandatangani orang tua, juga penambahan score negative. Dan ini sesuatu yang merugikan dari akumulasi pengukuran prestasi sampai akhir tahun pelajaran. Disaat dunia modern seperti sekarang ini mengabaikan kejujuran, masih ada anak-anak yang berani memegang teguh kejujuran. Tentu ini menjadi kabar gembira.

Derita karena orang lain tidak bertanggung jawab atas perbuatannya.

Pada sisi lain ditampilkan ruang yang sangat berbeda, para siswa yang tidak “berani” angkat tangan kendati mereka tidak juga mengerjakan PR. Sikap ini mewakili realitas yang sangat dominan didalam masyarakat kita. Anda akan menyebut dengan istilah apa? Tidak jujur? Tidak gentle? Takut? Munafik? bla bla bla…dan seterusnya. Dan ini menjadi kekuatan besar didalam masyarakat. Kita bisa lihat para tersangka tindak korupsi selalu berupaya mengingkari tindakannya dengan berbagai alibi dan logika yang diputar balik.

Bagi mereka kejujuran-mengakui tindakan-berarti derita. Sementara naluri mempertahankan hidup akan menghindari derita, termasuk derita yang merupakan konsekuensi dari sebuah tindakannya sendiri. Karena derita membuat dirinya sakit. Dalam kasus diatas 3 siswa ini rela menerima sakit. Sakit itu dirasakan lebih menyakitkan manakala mereka menyaksikan orang-orang lain yang berbuat sama terbebas dari hukuman. Ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa sikap tidak gentle atau tidak jujur selalu membuat orang lain sakit atau lebih sakit. Menghindari sakit yang seharusnya ditanggung bisa menyebabkan orang lain lebih sakit.

Derita karena bias makna refleksi.

Rasa sakit yang dialami tiga siswa tersebut disebabkan karena bias makna dari istilah refleksi. Saya yakin pihak sekolah tidak menempatkan dan memaknai refleksi sebagai hukuman-ini dibuktikan setiap hari mereka membuat refleksi akhir setiap mata pelajaran.  Ketika refleksi dipahami sebagai hukuman maka akan menyakitkan, karena hukuman selalu berhakikat melukai. A.S.Neil, pendiri sekolah Summerhill mengatakan “hukuman akan selalu menjadi tindakan kebencian (act of hate)”.

Tugas guru untuk terus melakukan penyadaran bahwa refleksi ini tindakan positif bukan sebagai hukuman, jika toh dilakukan sebagai konsekuensi dari perilaku/ tindakan melanggar disilplin harus dipahami sebagai proses membangun pribadi yang bertanggung jawab. Hal ini hanya bisa dipahami manakala relasi siswa dengan guru sangat akrab dan terbuka. “Guru menjalin hubungan yang simpatik dengan anak didik sehingga akan menumbuhkan keterbukaan dan saling percaya” (Martin Heidegger)

Derita karena bias makna adil.

Rasa kesal dan marah karena merasa diperlakukan tidak adil mengingat teman-teman lain yang berbuat sama tidak mendapatkan perlakuan yang sama. Makna adil dipahami setiap orang harus mendapatkan yang sama. Dalam arti tertentu barangkali ini benar, tetapi dalam konteks diatas ‘adil’ dengan makna seperti itu harus dikritisi dan diluruskan.

Perasaan diperlakukan tidak adil memang menyakitkan, dan karenanya yang perlu diluruskan adalah makna ‘adil’ itu sendiri. Kencederungan manusia sejak zaman purbakala selalu manarik/menyeret orang lain untuk ikut serta manakala dirinya masuk dalam derita. Lihat dahulu ketika Adam ditanya Allah mengapa ia makan buah terlarang. Jawab Adam “wanita yang Kauberikan kepadaku yang memberikan kepadaku untuk dimakan”. Hal ini kecenderungan manusia yang bersalah.

Dan tentu ini harus diperbaiki dalam pendidikan karakter. Lebih baik penyadaran bahwa “menjadi bertanggung jawab atas tindakannya adalah lebih baik daripada berpolemik memaksa atau mempermasalahkan orang lain juga harus mengalami yang sama”.  Namun demikian sekolah harus mulai mengeksplorasi makna istilah adil dan keadilan dalam arti yang sesungguhnya, dan dalam konteks kehidupan konkret. Topik ini sangat tidak mudah.

Perhatian Orang Tua.

Proses pendidikan disekolah tidak berhenti ketika anak meninggalkan sekolah dan kembali ke rumah. Justru di rumah, pendidikan di sekolah mendapat media internalisasi dan aktualisasi. Orang tua tidak bisa hanya mengontrol apakah anak belajar atau tidak, mengerjakan PR atau tidak melainkan sejauh mana anak telah mengikuti proses disekolah dengan segala pergolakan hatinya. Orang tua tidak perlu memberi “hukuman” tambahan dengan marah dan bentakan ketika anak melakukan tindakan yang melanggar disiplin sekolah.

Apa yang disarankan martin Heidegger untuk dilakukan para guru, tepat juga untuk orang tua di rumah “menjalin hubungan yang simpatik dengan anak dan saling percaya”. Anak akan merasakan dukungan dan penghargaan dari orang tua karena telah jujur kendati ia telah tidak disiplin mengerjakan PR. Anak merasa yakin bahwa kejujuran itu penting dan harus dilakukan apapun konsekuensi dibelakangnya.

“Tidak apa-apa kali ini scoremu berkurang karena tidak membuat PR; tapi lain kali lebih disiplin dengan agenda sekolah. Terlepas dari semua itu, aku bangga padamu, Kak karena Kakak telah jujur” nasihatku sambil memeluk anakku.  Aku pun membuat tanda tangan dibagian paling bawah lembar refleksi itu karena salah satu dari 3 siswa yang menulis refleksi itu adalah anakku.Semoga kejujuran terus dibudidayakan di sekolah dan di rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun