Mohon tunggu...
Purwanto (Mas Pung)
Purwanto (Mas Pung) Mohon Tunggu... Guru - Pricipal SMA Cinta Kasih Tzu Chi (Sekolah Penggerak Angkatan II) | Nara Sumber Berbagi Praktik Baik | Writer

Kepala SMA Cinta Kasih Tzu Chi | Sekolah Penggerak Angkatan 2 | Narasumber Berbagi Praktik Baik | Kepala Sekolah Inspiratif Tahun 2022 Kategori Kepala SMA | GTK Berprestasi dan Inspirasi dari Kemenag 2023 I Penyuluh Agama Katolik Non PNS Teladan Nasional ke-2 tahun 2021 I Writer | Pengajar K3S KAJ | IG: masguspung | Chanel YT: Purwanto (Mas Pung) | Linkedln: purwanto, M.Pd | Twitter: @masguspung | email: bimabela@yahoo I agustinusp134@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Teknologi Komunikasi Internet Belum Menjadi Tulang Punggung Pendidikan di Sekolah

30 Januari 2016   10:05 Diperbarui: 30 Januari 2016   13:59 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Teknologi Komunikasi Internet Belum Menjadi Tulang Punggung Pendidikan di Sekolah| Ilustrasi: Shutterstock"][/caption]Orang mengatakan hidup saat ini sangat praktis karena setiap orang dapat dengan mudah mengakses informasi. Tentu berkat perkembangan Teknologi Informasi dan Komuniksi (TIK). Tetapi sebagian orang mengatakan yang sebaliknya, hidup makin sulit dan tantangan makin berat. Dilihat dari spirit inovasi sebuah penemuan selalu hadir dengan maksud memberi manfaat yang lebih besar bagi kehidupan dan perkembangan peradaban manusia, termasuk TIK. Pemanfaatan TIK telah masuk ke semua bidang kehidupan manusia.

Tidak bisa dibayangkan sebuah aktivitas atau sebuah komunitas bebas dari pengaruh teknologi ini. Malah saat ini hampir terjadi ketergantungan pada alat komunikasi ini. Hal ini terbuktikan begitu banyak orang merasa lebih panik ketika ketinggalan smartphone dibanding jika mereka ketinggalan dompet atau hal lain. Sebuah pertanyaan mendasar yang harus selalu kita tanyakan pada diri kita adalah bagaimana TIK bisa meningkatkan kualitas hidup sesuai dengan bidang Anda masing-masing?

Pada artikel ini saya akan merefleksikan TIK dalam konteks pendidikan dilembaga formal (semua satuan pendidikan). Tanpa bermaksud memberi penilaian terhadap sekolah tertentu, apalagi sebuah penghakiman, saat ini jika diperhatikan tidak ada guru yang tidak memiliki smartphone, malah terkadang seorang guru memiliki lebih dari satu smartphone sehinnga untuk membawanya saja harus menggunakan tempat khusus. Hal yang sama terjadi pada siswa, bukan hanya mahasiswa melainkan siswa tingkat dasar pun telah memiliki smartphone. Smartphone yang kaya akan fitur kekinian dengan aplikasi ratusan program yang dapat didownload dengan mudah dan murah, bahkan gratis. Indonesia adalah pasar gadget yang sangat potensial, dan setiap tahun mengalami kenaikan.

Hal ini berbanding lurus dengan pengguna internet di Indonesia yang terus meningkat. Data dari Kemenkominfo menunjukkan pengguna internet di Indonesia meningkat dari 74 juta orang pada tahun 2013 dan tahun 2014 menjadi 111 juta, dan tahun 2015 diprediksi separoh jumlah penduduk Indonesia mengakses internet. Berdasarkan pada data tersebut tahun 2016 pengguna internet di Indonesia akan makin tinggi. Dari jumalah itu tentu saja para guru dan para siswa.

 

Mengapa Pendidikan Seolah Berjalan Ditempat?

Perkembangan TIK tentu berpotensi memberi dampak positif pada pendidikan di Indonesia. Saya katakan berpotensi karena sampai saat ini pendidikan seolah berjalan di tempat. Perkembangan TIK lebih kentara pada bidang entertainment, marketing, perdagangan dan bidang lain, tetapi belum maksimal pada bidang pendidikan. Kenyataan ini didukung oleh beberapa kenyataan berikut:

Pembelajaran Tradisional. Banyak sekolah dan guru masih melakukan pembelajaran di kelas dengan model tradisional. Siswa mendengarkan dan guru ceramah. Komunikasi antara guru dengan siswa masih satu arah. Guru sebagai penceramah dan siswa sebagai pendengar. Pembelajaran seperti ini sangat membosankan siswa dan membuat guru lebih cepat merasa lelah.

Guru dan Siswa Konsumtif. Mentalitas konsumtif menjadi dampak negatif dari modernisasi. Guru dan siswa bagian dari modernisasi. Mentalitas konsumtif tersebut kentara sekali dari aplikasi yang ada dismartphone mereka, antara lain facebook, twitter, Instagram, games, musik dan video. Tentu aplikasi ini tidak dengan sendirinya konsumtif karena didalamnya terdapat konten edukatif. Sayangnya konten edukatif sering menjadi terabaikan. Facebook, twitter, Instagram menjadi sosial media yang digunakan untuk mengupdate stastus daripada sebagai media pembelajaran. Masuk ruang guru, atau saat istirahat, dan selesai jam pelajaran, smartphone dan notebook online dan yang dirambah adalah just for fun.

Mengudate status, menjawab inbox dan bermain games menjadi aktivitas pokok, bahkan saat dikendaraan atau juga ruang tunggu. Jauh dari budaya membaca artikel apalagi menulis artikel. Sosial media bagai bui tanpa jerugi bagi guru dan siswa. Kuota internet dan pulsa habis lebih dimanfaatkan untuk mengakses media social. Hal ini didukung hasil riset yang dilakukan oleh Perusahaan eMarketer yang merilis sebuha laporan tentang pengguna FB diseluruh dunia. Indonesia menempati peringkat ketiga tertinggi pengguna facebook setelah Amerika dan India. Anehnya sosial media ini makin menjauhkan mereka dari sosialitas.

“TIK belum menjadi tulang punggung pendidikan kita” kata Dr. Asnan Furitno. Diakui pemerintah dan lembaga swasta yang concern pada pendidikan terus membangun instalasi dan gerakan internet masuk sekolah/kampus. Berapa persen sekolah yang telah memiliki akses internet? Sekolah dikota besar tentu lebih beruntung karena perangkat computer dan internet sering sudah menjadi fasilitas belajar. Tetapi tidak demikian dengan sekolah-sekolah di wilayah timur Indonesia dan didaerah. Tetapi apakah dikota kehadiran internet di sekolah telah menjadi bagian integral dari proses pendidikan dan pembelajaran? Tentu ini menjadi hal yang berbeda.

Sebagai guru di Jakarta saya melihat keberadaan internet di sekolah belum mampu menjadi bagian integral pembelajaran. Ketika sarana ini telah tersedia, sang disainer pembelajaran dalam hal ini guru belum memaknai secara maksimal. Kadang terlihat PC dikelas dan jaringan internet hanya sebagai kepentingan promosi menarik siswa baru, bukan sebagai media pokok pembelajaran. Dulu pernah dikatakan hal itu disebabkan karena guru tidak mendapatkan pelatihan. Tapi saat ini pemikiran itu keliru, karena bukan karena tidak memiliki ketrampilan menggunakan TIK untuk pembelajaran melainkan tidak ada spirit untuk berani meninggalkan “kenikmatan”. Guru lama mengajar dengan model lama, ceramah, mencatat dan memperlakukan siswa seperti “tempayan” istilah Paulo Freire adalah kenikmatan bagi seorang guru. Banyak guru beranggapan yang namanya belajar itu yang harus tenang, siswanya mendengarkan ceramah guru.

Ribet dengan persiapan. Alasan ini pernah dimunculkan seorang guru pada salah satu sesi seminar. Mengajar menggunakan LCD, audio visual, materi dari internet dikatakan terlalu ribet mempersiapan. Dibalik ungkapan ini tersirat bahwa guru tersebut tidak mau melakukan hal baru. Mental tidak mau berubah. Ini didukung dengan ungkapan yang lebih dahsyat lagi “saya ngajar seperti ini dari dulu gak ada masalah, murid saya pada sukses, ada yang jadi dokter, insiyur, pengusaha”. Kemandegan. Status quo.

Anda bisa mendaftar dan menemukan daftar tambahan kecenderungan dan perilaku yang menghambat ICT tidak diimplementasikan dalam pembelajaran disekolah (silakan ya untuk memperkaya kita). Menyadari semua itu, perlu adanya sebuah reformasi mental diantara palaku pendidikan, guru dan pengelola pendidikan.

[caption caption="Teknologi Internet Harus Menjadi Bagian Integral Pembelajaran di Sekolah| Ilustrasi: www.relatably.com"]

[/caption]Reformasi Mental Guru dan Pengelola

Mental selalu menjadi dasar bagi setiap perubahan. Pentingnya mental ini ibarat kantong anggur. Anggur baru harus ditempatkan dalam kantong yang baru jika anggur baru ditempatkan dalam kantong lama maka kantong itu akan hancur. Demikian juga revolusi pembelajaran melalui TIK, jika dilakukan dengan tidak mengubah mental guru dan pengelolanya niscaya secanggih apapun instrumen dan tool yang digunakan tetap saja tidak memberi perubahan yang maksimal. Berikut beberapa perubahan yang bisa dilakukan untuk membangun reformasi mental guru dan pengelola. Perubahan cara berpikir menyangkut hal berikut:

Pendidikan adalah proses belajar guru dan siswa bukan hanya untuk siswa. Ini berarti guru harus memandang proses pembelajaran yang dilakukan di kelas adalah proses belajar yang terjadi bukan hanya pada siswa melainkan juga pada diri sang guru. Dengan sikap seperti ini guru akan lebih rendah hati, tidak memandang siswa seperti kertas putih atau tempayan kosong yang harus diisi.

Ia tahu kapan harus bicara dan kapan harus diam mendengarkan siswa. Barangkali hal seperti ini tampak sederhana, tapi sesungguhnya tidaklah demikian karena menyangkut kemampuan “membaca” situasi dan keadaan psikologi siswa. Kemampuan ini menjadi salah satu kompetensi yang harus dimiliki guru untuk mampu mengelola kelas dengan baik (class room management). 

Guru bukan manusia serba tahu. Sikap ini akan mendorong guru bersikap rendah hati, dan selalu mencari tahu dari berbagai sumber lain, misalnya internet. Guru akan menyadari diluar dirinya terdapat ilmu pengetahuan yang lebih mendalam. Ia akan mendorong para siswanya lebih aktif mencari pengetahuan dari sumber lain selain dirinya.

Ia akan menjelajahi alat-alat baru. Inilah sikap pembelajar sejati. Tak pernah merasa puas dengan pencapaian yang ada. Ia akan mencari peralatan baru yang mempermudah siswanya mendapatkan pengetahuan. Keberadaan TIK akan digunakan untuk mengembangkan dirinya dan internet akan dimanfaatkan untuk memperluas cakrawalanya.

Ia akan terus belajar dari siapa saja, kapan saja dan dimana saja serta mengenai apa saja. Kesadaran ini adalah konsekuensi dari pola pikir sebagai manusia yang tidak pernah sempurna. Ia akan terus mengembangkan diri karena hanya dengan mengembangkan diri ia bisa menginspirasi para siswanya. Ia menyadari bahwa belajar tidak akan pernah berhenti.

Guru menyadari sebagai seorang pendidik yang tidak tergantikan oleh teknologi. Kesadaran ini membentuk dirinya menjadi seorang pribadi yang terus refleksi karena ia tahu ketika mengajar didepan kelas, bukan hanya pengetahuan yang ia transfer kepada para siswa tetapi juga nilai dan penghayatan.

Dengan perubahan sikap dan cara berpikir yang meliputi enam hal diatas, seorang guru dan pengelola akan melakukan reformasi mental. Dengan demikian guru akan melakukan revolusi model pembelajaran dengan TIK secara maksimal dengan value yang luhur. Ia menjadi guru yang terus menjaga tradisi luhur sekaligus guru yang eksis dengan teknologi. Dengan reformasi mental seperti inilah kehadiran TIK dapat menjadi media pokok pembelajaran sekaligus sumber ajar. Ia tetap kritis dan menjunjung tinggi pedagogis. Teknologi bukan lagi sekadar untuk kesenangan yang menghilangkan kebosanan tetapi media dan sumber ajar yang memudahkan guru menjadi guru sukses. SEMOGA!

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun