Ilustrasi - Sejumlah siswa SMA mendiskusikan soal-soal dalam kelompok. (Kompas/Iwan Setiyawan)
Dulu saya pernah mengalami masa-masa menjadi seorang siswa, dan saat ini saya sudah menjadi guru. Baik dalam fase saya menjadi siswa maupun menjadi guru, tentunya pernah mengalami masa-masa bersentuhan dengan metode presentasi dalam kegiatan belajar mengajar. Pada tulisan ini kita akan membahas tentang polemik penerapan metode presentasi dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah baik dari pandangan siswa maupun guru.
Presentasi terkadang menakutkan dimata para siswa. Manakala guru berkata, “Sekarang buat kelompok, minggu depan kalian presentasi ya tiap kelompok!” Maka yang terpatri pada hampir semua peserta didik adalah: Ngomong di depan kelas, bikin power point (Microsoft power point ini umumnya program paling tenar yang biasa digunakan siswa untuk presentasi), bagi-bagi tugas kelompok, yang pandai mendapat tugas ngomong di depan kelas, yang malas cukup mencatat atau pegang tetikus. Semua sudah menjadi kebudayaan umum dan sangat sulit kita hindari.
Dalam kesehariannya tugas presentasi bagi siswa kerap kali dipilih oleh guru karena dapat menilai siswa secara kognitif, afektif, dan psikomotor. Mulai dari penilaian kerja kelompoknya, penilaian produknya (umumnya dalam bentuk makalah dan file power point yang akan dipresentasikan), kecakapan bicara di depan kelas, kekompakan tim, kemampuan menjawab pertanyaan, hingga perilaku siswa saat presentasi dilakukan. Komplit memang dan satu hal lagi sangat ringan karena guru tinggal duduk manis, sesekali bicara, mengambil nilai, sementara siswa yang mengeksplorasi kelas selama kegiatan presentasi.
Sementara dari sudut pandang siswa, tugas presentasi adalah hal yang merepotkan. Bagaimana tidak? Kadang sulit mengkondisikan kelompok untuk bisa bekerja sama. Dari mulai menyamakan waktu, sekolah sudah sampai sore, belum mengerjakan tugas rumah mata pelajaran lain, hari minggu kadang ada acara keluarga, belum waktu untuk hiburan. Ingat anak sekolah juga butuh hiburan, kita saja yang kerja di kantor kadang butuh jalan-jalan dan ambil cuti.
Belum lagi sekelompok lima orang, yang dua kerja, yang satu plonga-plongo, yang dua malas cuma nitip nulis nama (pengalaman saya banget ini sih waktu sekolah dulu). Lalu apa yang harus dipresentasikan? Materi baru yang benar benar asing dan belum pernah saya pelajari (kalau sudah pernah artinya saya tidak naik kelas). Guru dengan enteng berkata, “Baca buku dong, buka internet dong, sumber belajar kan banyak, jadi siswa harus aktif, siswa harus bisa menggali ilmu pengetahuan sendiri” (Sengaja saya pertebal, itu kata-kata pamungkas paling mainstream senjata beberapa guru saat ini, saya tahu ini dari murid-murid bimbel yang sering banget curhat sama tutornya).
Dalam hati siswa ingin menjerit, “Lha sekolah buat apa? Sudah bayar, pake seragam harus sama kita nurut, senin sampai sabtu masuk sampai sore kita nurut, giliran dikasih tugas di suruh belajar sendiri, nyari materi sendiri, ngajarin temen sendiri, sekalian aja nulis di rapor sendiri.” Itulah curhatan siswa, maklum masih jadi siswa ya pemikirannya masih sebatas itu. Kalau anda pikir pemikiran seperti itu tidak dewasa, terbelakang, tidak modern, pemalas, berarti pikiran anda yang belum layak jadi orang dewasa yang harusnya memahami yang lebih muda.
Hal ini bisa terjadi karena kesalahan dalam alam pemikiran para guru mengenai metode presentasi yang baik dan benar untuk diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar. Bagaimana sih harusnya para guru memanfaatkan keberadaan sarana teknologi informasi seperti komputer, proyektor, software presentasi semacam power point dan sebagainya untuk menunjang pembelajaran? Ada baiknya kita lihat ketentuan berikut:
1. Tugas presentasi itu luas, tak hanya berbicara menggunakan power point.
Secara definitif presentasi itu sendiri adalah suatu sarana komunikasi untuk menyampaikan pesan dengan cara menjelaskan atau menguraikan suatu materi secara lisan dan sistematis dengan harapan akan berlaku efektif baik pembawa presentasi maupun penerima. Presentasi tak hanya dengan power point. Menceritakan pengalaman liburan ke Candi Borobudur itu bisa disebut presentasi. Para siswa berbicara di depan kelas bagaimana tentang pekerjaan Ayah mereka itu presentasi. Para siswa menceritakan tentang bagaimana pengalaman mereka menanam cabai sambil membawa tanaman cabainya di depan kelas itu presentasi.
Presentasi itu membuat para siswa belajar berbicara di depan kelas. Guru menentukan sistematikanya, apa yang harus dibicarakan di awal, di tengah, dan di akhir agar apa yang dibicarakan efektif dan sistematis. Bahkan guru memberi contoh terlebih dahulu secara komplit agar siswa bisa menyimak, merekam, kemudian berinovasi, dan menampilkan “Ini lho presentasi saya”.