Di era globalisasi saat ini teknologi semakin maju,dalam masa pandemic saat ini juga teknologi berperan sangat penting dalam kegiatan sehari-hari ketika di dalam rumah, baik dalam kegiatan pendidikan, pekerjaan, hiburan, social, dsb. Sosial media juga menjadi sesuatu yang sangat di butuhkan untuk saat ini, karena di dalam sosial media sendiri kita tidak hanya bisa berinteraksi dengan teman yang jauh tetapi kita bisa melakukan bisnis di sana, menjadi terkenal serta mendapat sponsor, dll.
Tetapi di dalam sosial media juga terdapat sisi negatifnya seperti banyak berita hoax yang bertebaran membuat masyarakat resah, penipuan seperti penipuan investasi, bullying yang merajalela, dan kecanduan akan sosial media. Pengguna aktif paling banyak di sosial media adalah para remaja. Remaja masa kini tidak bisa lepas dari smartphone yang membuat mereka sangat aktif dalam sosial media seperti Facebook, Twitter, YouTube, Instagram, dll.
Maka dari itu para remaja mendapat banyak informasi dari sosial media mulai dari yang baik sampai tidak. Mengakibatkan berubahnya pola pikir dari para remaja terutama psikologi remaja karena mereka sudah candu terhadap sosial media.
Para remaja sendiri masih suka membandingkan jumlah followers atau pengikut atau jumlah like postingan mereka dengan teman mereka sendiri atau orang lain. Mereka berfikiran bila jumlah pengikut mereka banyak maka mereka semakin dikenal dan disegani sehingga menaikkan status sosial mereka. Mereka (para remaja) rela melakukan apapun agar menjadi viral kemudian naik jumlah followers atau pengikut mereka. Bahkan sampai merugikan orang lain seperti prank sembako yang berisi sampah yang membuat penerima sembako marah dan melaporkan mereka ke polisi dan berdampak di penjara.
Bukan itu saja dampak sosial yang mereka terima juga tidak kalah mengerikan, seperti meng hate/menghina mereka di sosial media, menghina keluarga pelaku juga, di jauhi teman sebaya mereka, dan mendapatkan pamor jelek di hadapan masyarakat. Keviral an mereka akhirnya menjadi boomerang mereka yang bukan mendapatkan hal positif seperti bertambahnya pengikut, banyak sponsor/adsanse, dll, malah berubah menjadi petaka yang menghancurkan masa depan mereka.
Menurut data dari Alexa.com peringkat pertama sosial media yang paling banyak di akses oleh warga Indonesia adalah YouTube, dengan total pencarian 12,5 juta. Mengakibatkan platform YouTube paling berpengaruh dalam hal informasi, hiburan, life style kehidupan, dll. Para remaja sendiri cenderung suka meniru gaya YouTuber favoritnya yang mengakibatkan sulitnya beradaptasi bila di dunia nyata.
Para YouTuber yang biasanya di sukai oleh remaja Indonesia adalah YouTuber yang suka pamer kekayaan harta miliknya, prankster, suka teriak-teriak dan berbicara toxic atau kotor, dll yang membuat para remaja mengikuti apa yang mereka lihat di YouTube karena beranggapan "pasti keren kalau gaya ku seperti YouTuber ini".
Tak jarang mereka mempublish gaya atau tingkah laku mereka itu di sosial media khususnya YouTube agar mirip seperti YouTuber panutannya dan mendapatkan follower banyak serta sponsor. Tetapi nyatanya kebanyakan malah di hate komen oleh Netizen/Warganet dari Indonesia yang akan berdampak bukan dirinya saja tetapi lingkungannya seperti keluarganya juga akan terkena dampak komen buruk dari netizen Indonesia.
Dengan kondisi mental yang masih labil mengakibatkan remaja stress setelah terkena hate komen dari netizen serta di marahin oleh orang tua mereka. Dengan tekanan yang datang terus dari berbagai arah tak jarang para remaja mendapat gangguan kejiwaan bahkan sampai bunuh diri karena tidak kuat dalam mengatasi hate komen dari netizen.
Hate komen sendiri masuk ke dalam Cyberbullying. Cyberbullying adalah bullying/perundungan dengan menggunakan teknologi digital. Hal ini terjadi di media sosial, platform chatting, platform game, dll. Menurut Think Before Text, cyberbullying adalah perilaku agresif dan bertujuan yang dilakukan suatu kelompok atau individu, menggunakan media elektronik, secara berulang-ulang dari waktu ke waktu, terhadap seseorang yang dianggap tidak mudah melakukan perlawanan atas tindakan tersebut. Jadi, terdapat perbedaan kekuatan antara korban dengan pelaku. Perbedaan kekuatan dalam hal ini merujuk kepada sebuah persepsi kapasitas fisik dan mental seseorang (biasanya dari korban).
Cyberbullying merupakan perilaku berulang yang ditujukan untuk menakuti, membuat marah, atau mempermalukan mereka yang menjadi sasaran atau korban. Contoh cyberbullying yang sering terjadi di sosial media adalah menghina atau mengucilkan postingan yang di posting seseorang, membuka aib teman di sosial media, menyebarkan hoax sehingga terpengaruh akan berita hoax tersebut dll.