Mohon tunggu...
Bima BudiKharisma
Bima BudiKharisma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Because Life, Never Teach Us to Give Up

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sekolah Alam Bengawan Solo dan Keunikannya

15 Agustus 2021   13:36 Diperbarui: 15 Agustus 2021   13:41 1105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa SABS Saat Memasak Makanan/dokpri

Menurut ranking PISA (Programme for International Student Assessment), sebuah lembaga survei yang mengukur kualitas pendidikan berdasarkan tiga indikator yaitu Literasi, Matematika, dan Sains, ranking kualitas pendidikan di Indonesia konsisten berada di 10 terbawah. Ini yang mengkhawatirkan dan membangkitkan kepedulian kami terhadap pendidikan di Indonesia dengan cara mendirikan sekolah alam ini.

Begitulah yang diutarakan Suyudi, Ketua Yayasan Taruna Teladan yang merupakan sekaligus pendiri Sekolah Alam Bengawan Solo. Menurut Suyudi, dari awal memang penerapan konsep pendidikan di Indonesia kurang tepat. Masih banyak orang yang belum mengetahui apa makna sekolah yang sebenarnya. Semisal contoh pada istilah sekolah itu sendiri, yang berasal dari Bahasa Latin: skhole, scola, scolae atau skhola yang memiliki arti: waktu luang atau waktu senggang.

Sehingga belajar seharusnya tidak terpaku hanya di sekolah karena memang merujuk dari pengertian kata sekolah sendiri adalah waktu luang, bisakah kita bertumpu pada waktu luang saja? Belajar bisa dimanapun dan kapanpun, ini yang belum menjadi sebuah kesadaran masif di Indonesia. Namun berbeda jika kita mengulik Sekolah Alam Bengawan Solo. Sekolah Alam Bengawan Solo atau dikenal dengan 'SABS' ini merupakan salah satu sekolah yang berbasis alam di Indonesia.

Sedikit mengulas tentang sejarah dari sekolah alam di Indonesia, Sekolah Alam Indonesia adalah sekolah alam pertama yang muncul di Indonesia. Didirikan pada tahun 1998, dengan sebuah nama Sekolah Alam dan bertempat di Jalan Damai, Ciganjur, Jakarta Selatan. 

Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya sekolah alam, pada tanggal 1-3 Juli 2011 diadakan Jambore Sekolah Alam di Lembang, yang pada kegiatan ini melahirkan Jaringan Sekolah Alam Nusantara (JSAN). Jaringan Sekolah Alam Nusantara adalah sebuah wadah dan jejaring bagi para guru dan pegiat alam se-nusantara, yang saat ini tidak kurang dari 57 sekolah alam bergabung dalam jaringan tersebut. Termasuk didalamnya Sekolah Alam Bengawan Solo.

Sekolah Alam Bengawan Solo sendiri terletak di desa Panjangan RT 1 RW 1, Gondangsari, Juwiring, Klaten, Jawa Tengah. Adapun untuk alasan penggunaan nama Bengawan Solo karena memang sekolah ini berdiri tepat di pinggir Kali Bengawan Solo. Ketika kita berkunjung kesana, kita dapat melihat langsung aliran sungai Bengawan Solo yang tidak pernah kering.

Sebuah kesempatan pun dirasakan oleh Bima Budi Kharisma, mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Ahmad Dahlan yang mengikuti program Kampus Mengajar tahap 1 yang dapat terjun langsung di Sekolah Alam Bengawan Solo. Program Kampus Mengajar ini merupakan salah satu kegiatan dalam rangkaian Merdeka Belajar Kampus Merdeka terobosan Mentri Pendidikan Indonesia, Nadiem Anwar Makarim, B.A., M.B.A.

Di dalam program Kampus Mengajar ini, memiliki beberapa tujuan, yaitu perbantuan pembelajaran, perbantuan teknologi, dan perbantuan administrasi sekolah. Program ini tercetus untuk menyikapi keresahan yang dirasakan pendidikan dasar di Indonesia yang paling terdampak selama pandemi Covid-19.

Berangkat dari program inilah, Bima mengetahui keunikan-keunikan yang barangkali hanya dapat ditemukan di Sekolah Alam Bengawan Solo. Mulai dari hubungan murid dengan guru yang tidak memanggil 'Pak Guru/Bu guru' melainkan 'Mas/Mbak Fasil', pembelajaran yang berbasis project yang menjadikan pembelajaran tidak melulu di dalam kelas, pembelajaran enterpreneur sejak dini, dan masih banyak lagi.

Menurut wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, Niko Putra Sadewa, alasan siswa memanggil dengan panggilan 'Mas/Mbak' terhadap tenaga pendidik di SABS tersebut bukan tanpa alasan. Hal itu dilakukan agar menghilangkan gap yang biasa terjadi diantara guru dengan murid, agar siswa lebih dekat dan terbuka dengan para pengajar. 

Dan memang membuahkan hasil, banyak siswa dengan latarbelakang permasalahan masing-masing dapat teratasi di SABS. Mulai dari siswa yang merupakan korban broken home, siswa yang menjadi korban parenting  yang kurang baik, dan masih banyak lagi dapat teratasi dengan Mas/Mbak fasil Sekolah Alam Bengawan Solo.

Memang sekolah ini bukan sekolah biasa, dengan keunikan yang ada, sekolah ini tidak kalah jika dibandingkan dengan sekolah yang berakreditasi B, bahkan diatasnya. Hanya saja Sekolah Alam Bengawan Solo memang lebih memilih memiliki akreditasi C, karena dengan begitu mereka lebih leluasa dalam berinovasi dan dapat lebih berfokus dengan siswa tanpa harus pusing memikirkan akreditasi.

Siswa SABS Saat Memasak Makanan/dokpri
Siswa SABS Saat Memasak Makanan/dokpri

Dari semua model dan strategi pendidikan yang diterapkan, ada satu hal yang menurut Bima sangat unik dan tidak ditemukan di sekolah biasa, yaitu program Live-In yang diperuntukkan bagi siswa. Live-In ini adalah sebuah program yang memiliki tujuan untuk memberikan pengalaman baru dan melatih kemandirian siswa untuk dapat bertahan hidup tanpa bantuan orang tua.

Program Live-In tersebut diperuntukkan bagi siswa kelas 6 yang mengharuskan mereka untuk tinggal di sekolah selama 3 hari bersama rekan kelompok, yang disetiap kelompoknya berisi 5 siswa yang sudah ditentukan secara acak. Selama tiga hari tersebut, siswa tidak diperbolehkan jajan makanan termasuk masak makanan instan untuk bertahan hidup. 

Mereka hanya diperbolehkan membawa bahan mentah, uang 50 ribu, dan memasak sendiri untuk makan. Dari uang dan bahan yang ada, mereka juga diminta untuk berjualan di sekolah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Semua kegiatan sehari-hari benar-benar dilakukan secara mandiri, tidak terkecuali mencuci pakaian.

Sebuah program yang memiliki banyak manfaat, dan justru program seperti inilah yang dibutuhkan oleh siswa. Tidak terbatas pada teori, tetapi siswa dibekali kemampuan yang mumpuni. Dari penerapan program Live-In ini, diharapkan setelah lulus nanti siswa sudah memiliki kemampuan untuk bertahan hidup, tentu dengan skil-skill yang sudah dibekalkan kepada mereka. 

Sudah sepantasnya hal-hal positif seperti ini dapat ditiru sekolah-sekolah lain. Tidak hanya untuk membekali dan mempersiapkan siswa secara akademik dan non akademik, tetapi muara dari kualitas pendidikan yang baik adalah lahirnya generasi bangsa yang tangguh, pantang menyerah, dan dapat diandalkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun