Mohon tunggu...
Bima ArdiAlfarizi
Bima ArdiAlfarizi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Amankah Konsumsi Antibiotik?

14 Juni 2022   20:02 Diperbarui: 14 Juni 2022   20:06 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Amankah Konsumsi antibiotik?

Klein, E., Boeckel, T.V., Martinez E., and others. (August, 2019). What If People Use Too Much

Antibiotics. Biomedical Science Journal For Teens.

Antibiotik sering kali dianggap sebagai 'obat dewa' yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Obat

ini bisa membantu kita dalam menghilangkan infeksi dari bakteri. Pada tahun 1930-an antibiotik sudah

dipercaya untuk mengobati infeksi bakteri. Bahkan sekarang, antibiotik bisa menyelamatkan jutaan

nyawa dari infeksi bakteri umum seperti pneumonia dan TBC. Antibiotik juga dapat membantu operasi

agar berjalan lebih aman. 

Namun sebenarnya, tidak semua penyakit harus menggunakan antibiotik sebagai jalan medis. Antibiotik

hanya digunakan pada kondisi penyakit tertentu saja. Penyakit seperti batuk dan pilek seharusnya tidak

diperlukan sebuah antibiotik. Karena sistem imunlah yang nantinya akan mengembalikan kondisi tubuh

kita seperti semula. Namun, sekarang ada yang salah dalam penggunaan antibiotik. Fatalnya, kesalahan

dalam penggunaan antibiotik ini dapat menyebabkan resistensi antibiotik yang berakibat memperparah

penyakit, kecacatan, hingga kematian.

Resistensi adalah suatu keadaan di mana kuman tidak dapat lagi dibunuh dengan antibiotik. Pada saat

antibiotik diberikan, sejumlah kuman akan mati. Tapi kemudian terjadi mutasi pada gen kuman sehingga

ia dapat bertahan dari serangan antibiotik tersebut. Kuman yang tidak bisa bertahan dari serangan

antibiotik ini akan mati, tapi kuman yang mengalami mutasi akan bertahan hidup dan melawan antibiotik

itu. Dan akhirnya, kuman tersebut menginfeksi individu lain sehingga antibiotik tersebut tidak akan

mampu mengatasi infeksi tersebut.

Dalam sebuah observasi diperoleh data konsumsi antibiotik tahunan untuk 76 negara dari tahun 2000

hingga 2015. Namun, bagaimana cara untuk membandingkan semua bentuk antibiotik yang dikonsumsi?

Untuk melakukan ini, telah diubah semua antibiotik yang berbeda (baik pil atau cairan) menjadi jumlah

standar yang dikonsumsi satu orang dalam sehari. Unit ini disebut defined daily dose (atau DDD).

Kemudian, kami membagi jumlah total DDD di suatu negara dengan total populasi untuk mendapatkan

DDD per kapita. Dengan cara ini, kita dapat membandingkan konsumsi antibiotik antara berbagai negara

dan melihat perubahan dari waktu ke waktu. Telah dibagi menjadi beberapa kelompok negara

berdasarkan pendapatan, berpenghasilan tinggi, berpenghasilan rendah dan menengah;

1. Masyarakat dengan penghasilan rendah cenderung berurusan dengan tingginya penyakit

menular dan rendahnya konsumsi antibiotik. Hal ini pasti disebabkan oleh terbatasnya akses

terhadap pengobatan yang ada.

2. Sebaliknya, masyarakat dengan penghasilan tinggi, masalahnya bukan lagi tentang akses, tapi

tentang penggunaan yang tidak perlu dan resep yang besar.

Dikembangkan juga model matematika untuk memprediksi konsumsi global pada tahun 2030 untuk tiga

skenario berbeda, yaitu:

1. Pertumbuhan dasar:

Konsumsi per kapita semua negara tetap pada tingkat saat ini (DDD per orang) tetapi populasi

negara tersebut meningkat (yang secara alami akan menyebabkan peningkatan konsumsi).

2. Skenario pesimistis:

Tidak ada kebijakan yang diberlakukan untuk mengurangi konsumsi global. Konsumsi terus

meningkat pada tingkat yang sama seperti dari 2010 hingga 2015.

3. Skenario optimis:

Kebijakan konsumsi diberlakukan. Negara-negara mengurangi konsumsi atau memperlambat

pertumbuhan konsumsi sehingga semua negara mengkonsumsi jumlah yang kira-kira sama

dengan negara median pada tahun 2020.

Namun, kita dapat membantu melawan resistensi antibiotik. Kita hanya perlu memastikan penggunaan

antibiotik sesuai dengan kebutuhan dan porsinya. Sebagian besar masalah disebabkan oleh penggunaan

antibiotik yang tidak perlu. Ingat, bahwa obat-obatan ini tidak bekerja untuk semua infeksi. Misalnya,

untuk sebagian besar batuk dan pilek, antibiotik tidak akan membuat kondisi kita jauh lebih baik karena

sistem imunlah yang nantinya akan mengembalikan kondisi tubuh kita seperti semula. Ditambah lagi,

batuk dan pilek merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus bukan bakteri. Jadi, tidak diperlukan

sebuah antibiotik untuk mengatasi masalah tersebut. Kita bisa membantu mencegah penyebaran infeksi

yang resistensi dengan mengikuti beberapa aturan yang sederhana seperti;

1. Mencuci tangan, dan bersihkan tubuh secara teratur, terutama setelah berolahraga.

2. Tutupi dan bersihkan luka.

3. Jangan berbagi barang pribadi, seperti pisau cukur dan handuk.

4. Dengarkan dokter jika mereka mengatakan kita memiliki virus dan tidak perlu antibiotik. Minum

antibiotik jika diresepkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun