Amankah Konsumsi antibiotik?
Klein, E., Boeckel, T.V., Martinez E., and others. (August, 2019). What If People Use Too Much
Antibiotics. Biomedical Science Journal For Teens.
Antibiotik sering kali dianggap sebagai 'obat dewa' yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Obat
ini bisa membantu kita dalam menghilangkan infeksi dari bakteri. Pada tahun 1930-an antibiotik sudah
dipercaya untuk mengobati infeksi bakteri. Bahkan sekarang, antibiotik bisa menyelamatkan jutaan
nyawa dari infeksi bakteri umum seperti pneumonia dan TBC. Antibiotik juga dapat membantu operasi
agar berjalan lebih aman.Â
Namun sebenarnya, tidak semua penyakit harus menggunakan antibiotik sebagai jalan medis. Antibiotik
hanya digunakan pada kondisi penyakit tertentu saja. Penyakit seperti batuk dan pilek seharusnya tidak
diperlukan sebuah antibiotik. Karena sistem imunlah yang nantinya akan mengembalikan kondisi tubuh
kita seperti semula. Namun, sekarang ada yang salah dalam penggunaan antibiotik. Fatalnya, kesalahan
dalam penggunaan antibiotik ini dapat menyebabkan resistensi antibiotik yang berakibat memperparah
penyakit, kecacatan, hingga kematian.
Resistensi adalah suatu keadaan di mana kuman tidak dapat lagi dibunuh dengan antibiotik. Pada saat
antibiotik diberikan, sejumlah kuman akan mati. Tapi kemudian terjadi mutasi pada gen kuman sehingga
ia dapat bertahan dari serangan antibiotik tersebut. Kuman yang tidak bisa bertahan dari serangan
antibiotik ini akan mati, tapi kuman yang mengalami mutasi akan bertahan hidup dan melawan antibiotik
itu. Dan akhirnya, kuman tersebut menginfeksi individu lain sehingga antibiotik tersebut tidak akan
mampu mengatasi infeksi tersebut.
Dalam sebuah observasi diperoleh data konsumsi antibiotik tahunan untuk 76 negara dari tahun 2000
hingga 2015. Namun, bagaimana cara untuk membandingkan semua bentuk antibiotik yang dikonsumsi?
Untuk melakukan ini, telah diubah semua antibiotik yang berbeda (baik pil atau cairan) menjadi jumlah
standar yang dikonsumsi satu orang dalam sehari. Unit ini disebut defined daily dose (atau DDD).
Kemudian, kami membagi jumlah total DDD di suatu negara dengan total populasi untuk mendapatkan
DDD per kapita. Dengan cara ini, kita dapat membandingkan konsumsi antibiotik antara berbagai negara
dan melihat perubahan dari waktu ke waktu. Telah dibagi menjadi beberapa kelompok negara
berdasarkan pendapatan, berpenghasilan tinggi, berpenghasilan rendah dan menengah;
1. Masyarakat dengan penghasilan rendah cenderung berurusan dengan tingginya penyakit
menular dan rendahnya konsumsi antibiotik. Hal ini pasti disebabkan oleh terbatasnya akses
terhadap pengobatan yang ada.
2. Sebaliknya, masyarakat dengan penghasilan tinggi, masalahnya bukan lagi tentang akses, tapi
tentang penggunaan yang tidak perlu dan resep yang besar.
Dikembangkan juga model matematika untuk memprediksi konsumsi global pada tahun 2030 untuk tiga
skenario berbeda, yaitu:
1. Pertumbuhan dasar:
Konsumsi per kapita semua negara tetap pada tingkat saat ini (DDD per orang) tetapi populasi
negara tersebut meningkat (yang secara alami akan menyebabkan peningkatan konsumsi).
2. Skenario pesimistis:
Tidak ada kebijakan yang diberlakukan untuk mengurangi konsumsi global. Konsumsi terus
meningkat pada tingkat yang sama seperti dari 2010 hingga 2015.
3. Skenario optimis:
Kebijakan konsumsi diberlakukan. Negara-negara mengurangi konsumsi atau memperlambat
pertumbuhan konsumsi sehingga semua negara mengkonsumsi jumlah yang kira-kira sama
dengan negara median pada tahun 2020.
Namun, kita dapat membantu melawan resistensi antibiotik. Kita hanya perlu memastikan penggunaan
antibiotik sesuai dengan kebutuhan dan porsinya. Sebagian besar masalah disebabkan oleh penggunaan
antibiotik yang tidak perlu. Ingat, bahwa obat-obatan ini tidak bekerja untuk semua infeksi. Misalnya,
untuk sebagian besar batuk dan pilek, antibiotik tidak akan membuat kondisi kita jauh lebih baik karena
sistem imunlah yang nantinya akan mengembalikan kondisi tubuh kita seperti semula. Ditambah lagi,
batuk dan pilek merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus bukan bakteri. Jadi, tidak diperlukan
sebuah antibiotik untuk mengatasi masalah tersebut. Kita bisa membantu mencegah penyebaran infeksi
yang resistensi dengan mengikuti beberapa aturan yang sederhana seperti;
1. Mencuci tangan, dan bersihkan tubuh secara teratur, terutama setelah berolahraga.
2. Tutupi dan bersihkan luka.
3. Jangan berbagi barang pribadi, seperti pisau cukur dan handuk.
4. Dengarkan dokter jika mereka mengatakan kita memiliki virus dan tidak perlu antibiotik. Minum
antibiotik jika diresepkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H