Seorang pemuda terlihat mengendap-endap pada malam hari. Ia menoleh ke kiri dan kanan, menunggu hingga kondisi aman. Bersama seorang teman, ia mulai mengayunkan spray paint mereka ke tembok jalanan.
Gambar belum jadi, datanglah polisi. Terjadi adu mulut di antara kedua belah pihak. Polisi menganggap kedua pemuda tersebut telah melakukan vandalisme, merusak sarana publik dan mengganggu keindahan.
Sementara kedua pemuda tadi bersikeras bahwa mereka tidak bermaksud merusak sarana publik dan justru sedang membuatnya menjadi lebih indah.
Begitulah sekilas gambaran aktivitas graffiti di Indonesia yang masih dipandang sebagai bentuk kenakalan remaja. Tidak hanya graffiti, tetapi poster, tagging, mural dan seni lukis jalanan lainnya juga dianggap sebagai bentuk vandalisme yang merusak dan mengganggu keindahan tata ruang kota.
Di Muntilan, Yogyakarta misalnya, polisi menangkap 8 pelajar yang dianggap melakukan vandalisme. Masih di kota yang sama, beberapa pemuda bahkan nekat membuat graffiti di pos polisi.
Sementara itu, seorang pemuda di hukum oleh polisi dengan disemprotkan spray paint ke mukanya. Padahal di Salatiga, ‘seni visual pinggiran’ macam graffiti menjamur dan terlihat di hampir setiap lokasi strategis.
Kaum muda lokal tetap dapat membuat graffiti baik pada siang maupun malam hari, tanpa harus takut aparat kepolisian akan menangkap mereka.
Pemahaman kita terhadap kaum urban muda seharusnya menempatkan graffiti bukan sebagai aktivitas kriminal, tetapi sebagai sebuah karya seni.
Karya seni yang secara semiotik mengandung pesan yang hendak disampaikan kepada khalayak umum. Nah, disinilah peranan penting tembok-tembok pada ruang publik kota dapat menjadi sebuah media komunikasi yang penting bagi kaum muda pembuat graffiti.
Seperti di Salatiga, seharusnya mereka disediakan ruang (space) sebagai tempat bereksperiman, bermain dan memamerkan hasil karya seni mereka. Bukannya dilarang dan bahkan ditangkapi. Karena pelarangan dan penangkapan justru penyebab utama dari vandalisme.
Ketika kaum muda tidak memiliki ruang untuk berkreasi, mereka akhirnya memilih lokasi-lokasi lain, seperti tembok pagar rumah warga atau fasilitas publik.
Bahkan ke lokasi berbahaya misalnya di pinggir jembatan, sungai atau bagian atas rumah. Akibatnya, mereka sering terlibat konflik terbuka dan adu mulut dengan pemilik dinding pagar atau dengan aparat kepolisian.
Seandainya ruang-ruang publik semacam taman kota, alun-alun dan sebagainya menyediakan, sedikit saja ruang untuk mereka, maka dapat dipastikan bahwa hal ini dapat meminimalisasi terjadinya vandalisme dan konflik terbuka.
Selain menyebabkan vandalisme, pelarangan graffiti adalah bentuk pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi.
Hal ini jelas diatur dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) bahwa
“setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini mencakup kebebasan untuk berpendapat tanpa intervensi dan untuk mencari, menerima dan berbagi informasi dan ide melalui media apapun dan tanpa memandang batas negara”.
Nah, dalam hal ini kaum muda juga punya hak untuk berbagi ide melalui medianya sendiri dalam bentuk graffiti. Karena kaum muda itu ingin didengar.
Usia 14-24 tahun adalah masa yang cukup labil dan gelisah (macam saya). Graffiti kemudian menjadi media untuk mengungkapkan perasaan yang menjadi kegelisahan mereka selama ini. Sebab tidak jarang, karya lukis di jalanan sarat akan kandungan kritik dan pesan sosial.
Karena itu, pemerintah seharusnya melihat graffiti sebagai potensi kaum urban muda untuk menyosialisasikan pesan pemerintah dengan kemasan yang lebih menarik.
Pada 17 Agustusan misalnya, minta mereka untuk membuat mural seorang pahlawan yang mengacungkan tangannya dan membawa bambu runcing dengan tulisan “ISI KEMERDEKAAN KITA DENGAN KERJA KERAS!” yang berukuran besar di pinggir jalan raya.
Atau minta mereka membuat kata-kata “EMANSIPASI ITU DILAKSANAKAN, BUKAN HANYA DIRAYAKAN” pada Hari Kartini. Dengan demikian graffiti dapat disisipi pesan-pesan nasionalisme dan kesetaraan gender dalam karyanya.
Banyak dampak positif, jika ruang publik kota terbuka dan mau menggandeng kaum urban muda. Hal ini dapat menghindari mereka untuk melakukan aktivitas pada malam hari.
Kaum muda tidak perlu repot lagi main kucing-kucingan dengan aparat sebab mereka dapat melakukan aktivitas tersebut pada siang hari.
Selain itu, mereka dapat tetap menjaga kesehatan karena terhindar udara malam tanpa menggangu proses belajar. Graffiti akan tetap menjauhkan mereka dari aktivitas negatif seperti pelacuran dan narkoba.
Bagaimana? Kita belum membahas bentuk kultur budaya kaum urban lainnya seperti papan seluncur (skateboard), sepeda BMX dan musisi jalanan loh ya.
Padahal banyak sekali pemain papan seluncur meninggal karena bermain di pinggir jalan. Selain itu, kebutuhan musisi jalanan untuk tampil juga kurang terakomodasi dengan baik. Semuanya karena selama ini kaum urban muda tersisihkan dari ruang publik kota.
Padahal, tembok kosong yang kaku di sudut-sudut kota dapat dimanfaatkan layaknya kanvas lukisan bagi kaum muda.
Pemerintah dapat menyediakan tembok milik instansinya atau berkerjasama dengan warga pemilik tembok agar bersedia menyediakan temboknya menjadi kanvas bermain bagi kaum urban muda. Sehingga mereka tidak lagi menggunakan tembok atau lokasi berbahaya lainnya.
Selain itu, ruang publik semacam taman atau alun-alun kota seharusnya menyediakan skate park, wadah khusus untuk pemain papan seluncur dan sepeda BMX.
Seperti Skate Park Looper Zone di Bogor. Hal ini dapat meminimalisir terjadinya kecelakaan lalu lintas akibat berseluncur di pinggir atau di jalan raya. Selain itu, pejalan kaki juga tidak akan terganggu.
Pentas musik kecil-kecilan perlu diadakan di taman kota agar musisi jalanan dapat bermusik, sehingga membuat kondisi taman menjadi lebih menyenangkan dan bahkan menarik perhatian lebih banyak pengunjung. Seperti Taman Musik Centrum di Bandung atau di sepanjang Jalan Malioboro di mana musisi jalanan dapat bermain dengan bebas.
Dampak jangka panjangnya adalah kontribusi positif terhadap roda perekonomian daerah, pemberdayaan pemuda dan tercapainya konsep pembangunan kota kreatif (creative city).
Paradigma kita selama ini perlu diubah. Sudah saatnya kaum urban muda diberikan panggung untuk tampil dan mementaskan hasil karya mereka. Sudah saatnya kita berhenti meminggirkan kaum urban muda dari ruang publik kota. Karena ruang publik itu untuk semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H