Pada 17 Agustusan misalnya, minta mereka untuk membuat mural seorang pahlawan yang mengacungkan tangannya dan membawa bambu runcing dengan tulisan “ISI KEMERDEKAAN KITA DENGAN KERJA KERAS!” yang berukuran besar di pinggir jalan raya.
Atau minta mereka membuat kata-kata “EMANSIPASI ITU DILAKSANAKAN, BUKAN HANYA DIRAYAKAN” pada Hari Kartini. Dengan demikian graffiti dapat disisipi pesan-pesan nasionalisme dan kesetaraan gender dalam karyanya.
Banyak dampak positif, jika ruang publik kota terbuka dan mau menggandeng kaum urban muda. Hal ini dapat menghindari mereka untuk melakukan aktivitas pada malam hari.
Kaum muda tidak perlu repot lagi main kucing-kucingan dengan aparat sebab mereka dapat melakukan aktivitas tersebut pada siang hari.
Selain itu, mereka dapat tetap menjaga kesehatan karena terhindar udara malam tanpa menggangu proses belajar. Graffiti akan tetap menjauhkan mereka dari aktivitas negatif seperti pelacuran dan narkoba.
Bagaimana? Kita belum membahas bentuk kultur budaya kaum urban lainnya seperti papan seluncur (skateboard), sepeda BMX dan musisi jalanan loh ya.
Padahal banyak sekali pemain papan seluncur meninggal karena bermain di pinggir jalan. Selain itu, kebutuhan musisi jalanan untuk tampil juga kurang terakomodasi dengan baik. Semuanya karena selama ini kaum urban muda tersisihkan dari ruang publik kota.
Padahal, tembok kosong yang kaku di sudut-sudut kota dapat dimanfaatkan layaknya kanvas lukisan bagi kaum muda.
Pemerintah dapat menyediakan tembok milik instansinya atau berkerjasama dengan warga pemilik tembok agar bersedia menyediakan temboknya menjadi kanvas bermain bagi kaum urban muda. Sehingga mereka tidak lagi menggunakan tembok atau lokasi berbahaya lainnya.
Selain itu, ruang publik semacam taman atau alun-alun kota seharusnya menyediakan skate park, wadah khusus untuk pemain papan seluncur dan sepeda BMX.