Seperti di Salatiga, seharusnya mereka disediakan ruang (space) sebagai tempat bereksperiman, bermain dan memamerkan hasil karya seni mereka. Bukannya dilarang dan bahkan ditangkapi. Karena pelarangan dan penangkapan justru penyebab utama dari vandalisme.
Ketika kaum muda tidak memiliki ruang untuk berkreasi, mereka akhirnya memilih lokasi-lokasi lain, seperti tembok pagar rumah warga atau fasilitas publik.
Bahkan ke lokasi berbahaya misalnya di pinggir jembatan, sungai atau bagian atas rumah. Akibatnya, mereka sering terlibat konflik terbuka dan adu mulut dengan pemilik dinding pagar atau dengan aparat kepolisian.
Seandainya ruang-ruang publik semacam taman kota, alun-alun dan sebagainya menyediakan, sedikit saja ruang untuk mereka, maka dapat dipastikan bahwa hal ini dapat meminimalisasi terjadinya vandalisme dan konflik terbuka.
Selain menyebabkan vandalisme, pelarangan graffiti adalah bentuk pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi.
Hal ini jelas diatur dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) bahwa
“setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini mencakup kebebasan untuk berpendapat tanpa intervensi dan untuk mencari, menerima dan berbagi informasi dan ide melalui media apapun dan tanpa memandang batas negara”.
Nah, dalam hal ini kaum muda juga punya hak untuk berbagi ide melalui medianya sendiri dalam bentuk graffiti. Karena kaum muda itu ingin didengar.
Usia 14-24 tahun adalah masa yang cukup labil dan gelisah (macam saya). Graffiti kemudian menjadi media untuk mengungkapkan perasaan yang menjadi kegelisahan mereka selama ini. Sebab tidak jarang, karya lukis di jalanan sarat akan kandungan kritik dan pesan sosial.
Karena itu, pemerintah seharusnya melihat graffiti sebagai potensi kaum urban muda untuk menyosialisasikan pesan pemerintah dengan kemasan yang lebih menarik.