Beberapa waktu lalu (7/12/22), kejadian terorisme di astana anyar sempat menggemparkan masyarakat sekitar. Bagaimana tidak, kejadian terorisme yakni bom bunuh diri ini menimbulkan banyak korban dan pelaku terorisme meninggal dunia. Tercatat seorang anggota polisi gugur dan 10 lainnya terluka. Konon, hal yang memicu bom bunuh diri ini adalah ketidakterimaan pelaku atas KUHP.Â
"KUHP = Hukum syirik/kafir. Perangi para penegak hukum setan. QS 9:29" begitu tulisan yang tertulis di kertas yang pelaku tempelkan didepan motornya.
Ayat Al-Qur'an yang pelaku cantumkan dikertas tersebut memicu dugaan kuat terpaparnya pelaku oleh paham radikalisme yang seringkali disalahgunakan  dan disalahpahami oleh oknum untuk dijadikan senjata doktrinasi. Ayat tersebut memiliki arti :
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang telah diberikan Kitab, hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk." (Qs. At-taubah ayat 29)
Konteks ayat tersebut sering disalah artikan oleh para teroris untuk melakukan aksi terorisme. Padahal konteks ayat ini turun berkenaan dengan perang tabuk (menurut tafsir ringkas Kemenag RI). Â Kita harus lebih cermat lagi dalam mengkaji Al-Qur'an, jangan sampai salah mengartikan.
Terorisme seringkali dikaitkan dengan paham radikalisme, mengapa demikian? Karena tidak dapat disangkal bahwa radikalisme sendiri merupakan buah-buah lahirnya teroris. Sebelum mengupas hal ini lebih jauh, apa itu teroris? Radikal? Terorisme? Radikalisme?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, terorisme diartikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik); praktik tindakan teror.
Secara etimologi, radikal berasal dari kata latin, radix atau radici yang berarti akar. Kata akar (pohon),diperluas kembali maknanya sehingga memiliki arti pegangan yang kuat, keyakinan, pencipta perdamaian dan ketenteraman. Lalu kata tersebut dapat dikembangkan menjadi kata radikal, yang berarti lebih adjektif. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian radikal adalah dalam bidang politik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan). Â Sementara itu, radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.
Para ahli pun mengemukakan pendapatnya mengenai apa itu radikalisme:
- Dawinsha mengemukakan bahwa defenisi radikalisme adalah sikap dari jiwa yang membawa kepada tindakan yang bertujuan melemahkan dan mengubah tatanan kemapanan dan menggantinya dengan gagasan baru.
- Menurut Horace M Kallen Radikalisme memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaran ideologi atau program yang mereka bawa. Dalam gerakan sosial, kaum radikalis memperjuangkan keyakinan yang mereka anut.
Radical yes, but not radical.
Radikal itu bukanlah sebuah kata yang selalu merujuk pada hal-hal negatif.
Bukan sebuah kata yang bermakna buruk lagi hina sehingga dipakai untuk mencemooh, mengejek, Â dan menghina orang lain. Sejatinya, radikal merupakan istilah yang umum. Ketika diri anda menginginkan sebuah perubahan dari dasar, itulah yang disebut perubahan yang radikal. Yang seharusnya menjadi persoalan adalah, ide apa yang menjadi dasar perubahan tersebut? Apakah ide-ide yang negatif? Atau ide-ide yang positif? Semuanya tergantung pada diri kita sendiri.
Tidak mungkin ada asap jika tidak ada api. Peribahasa ini dapat dikaitkan dengan paham radikal. Paham radikal tidak mungkin bisa muncul begitu saja didalam diri manusia, pasti ada penyebab munculnya hal tersebut.
Dilansir dari Binus University, Radikalisme muncul dari respon rasa frustasi dan pemberontakan terhadap ketidakadilan sosial yang disebabkan oleh lemah dan mandulnya kinerja lembaga hukum. Lembaga hukum di Indonesia yang masih carut marut, tebang pilih dalam penanganan kasus, putusan pengadilan dalam menjatuhkan vonis hukum yang tidak adil, serta keberpihakan hukum dapat menjadi stimulus penyebab paham radikalisme berkembang. Kegagalan pemerintah dalam menegakkan keadilan akhirnya direspon oleh para kalangan radikal dengan tuntutan penerapan syari'at Islam. Dengan harapan, bila menerapkan aturan syari'at kelompok yang merasa terzalimi ini akan mampu menegakkan keadilan, namun tuntutan penerapan syariah pasti diabaikan oleh negara terutama Indonesia karena tidak sesuai dengan paham bernegara, sehingga mereka frustasi dan akhirnya memilih cara kekerasan dalam menyampaikan tujuannya.
Lalu apakah ada upaya pemerintah dalam mengatasi kejahatan  terorisme?
Dilansir dari kompasiana, Indonesia memiliki strategi yang universal untuk memerangi atau mengatasi kejahatan terorisme. Dalam hal ini pemerintah menggabungkan antara 2 pendekatan yakni soft approach dan hard approach. Pada hard approach Indonesia mengesahkan UUNo 15 Tahun 2003 mengenai Penanggulangan Terorisme serta UU No 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana. Â Indonesia juga mengesahkan sebuah Peraturan Bersama yang berkaitan dengan Pencantuman Identitas Orang dan Kelompok dalam Daftar Terduga Teroris dan melakukan pemblokiran dana milik orang atau kelompok yang diduga sebagai teroris. Sedangkan pada soft approach Indonesia melaksanakan program deradikalisasi dan kontra-deradikalisasi.
Counter Attack juga merupakan salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi kejahatan terorisme. Upaya ini dinilai sangat efisien dalam mengatasi terorisme karena Counter Attack ini tidak memerlukan waktu yang lama untuk menunggu dalam rangka melakukan pencegahan ataupun serang balik terhadap aksi terorisme. Counter Attack juga dapat membuat teroris merasa takut karena Tim Khusus Anti Terorisme cukup berani melakukan perlawanan dengan cara baku tembak secara langsung, berbeda dengan revisi UU dan kerjasama internasional yang memerlukan waktu yang cukup lama untuk menghasilkan sebuah kesepakatan.
Terorisme merupakan suatu kejahatan yang merugikan banyak pihak, paham radikalisme lah yang menyebabkan hal ini terjadi. Seringkali orang merujuk kata radikal pada hal-hal yang negatif padahal tidak selamanya hal ini merujuk pada yang negatif, semuanya tergantung ide yang ada pada diri kita. Radikalisme muncul dari respon rasa frustasi dan pemberontakan terhadap ketidakadilan sosial yang disebabkan oleh lemah dan mandulnya kinerja hukum dan hal ini sering kali dikaitkan dengan agama, sebab rata-rata teroris menjadikan agama sebagai alasan untuk melakukan tindak kejahatan terorisme. Seperti yang kita tahu alasan pelaku melakukan bom bunuh diri karena kecewa dan tidak terima akan KUHP. Ditinjau dari penyebab pelaku melakukan hal tersebut, Sebaiknya pemerintah mempertimbangkan terlebih dahulu bagaimana harusnya suatu undang-undang itu akan ditetapkan. jangan hanya mengutamakan kewenangan dari pemerintahan tetapi pemerintah juga harus menyesuaikan bagaimana kondisi dan kebutuhan rakyat saat ini agar hal semacam ini tidak terulang kembali. Dan harapannya, semoga pemerintah lebih tegas untuk mengatasi kejahatan semacam ini agar tidak timbul aksi terorisme-terorisme lainnya. Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H